“1. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? 2. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? 3. Dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, 4. Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, 5. Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (105:1-5)
Masyarakat Arab pra-Islam adalah masyarakat yang hidup secara berkelompok-kelompok (suku), umumnya berdasarkan pada hubungan kekeluargaan. Ada yang menetap dan ada juga yang berpindah-pindah. Wilayah Jazirah Arab, adalah wilayah kering dan gersang. Bertahan hidup di daerah keras seperti ini, tentunya bukan hal yang mudah. Suku Arab yang nomadic (berpindah-pindah) kadang menjadi perompak yang merampas barang-barang kafilah pedagang yang mereka temui. Saling serang antar suku-suku tersebut adalah hal yang biasa. Bahkan merompak kafilah pedagang, tidak mereka anggap sebagai kejahatan. Dengan alasan demi bertahan hidup. Ketika Raja Persia merespon surat dari Umar bin Khattab, yang berisi ajakan memeluk Islam, menyebut bangsa Arab, sebagai manusia pemakan kadal gurun. Bisa kita bayangkan susahnya bertahan hidup di daerah ini, di masa itu. Untuk menjamin keamanan sukunya, mereka juga mesti menjalin kerja sama dengan suku-suku Arab yang lain. Secara tidak langsung terjalin ikatan persaudaraan diantara mereka. Jika suku kawan diserang, wajib hukumnya bagi sekutunya untuk membela dan membalas serangan.
Selain itu, masyarakat Arab, punya kesamaan keyakinan, bahwa Ka’bah di Makkah adalah rumah Tuhan (Allah). Walaupun dalam praktiknya setiap suku menyembah tuhannya masing-masing, yang diwujudkan dalam bentuk patung, yang mereka anggap sebagai tuhan pelindung suku mereka. Allah waktu itu mereka akui sebagai Tuhan yang paling tinggi pemilik Ka’bah. Kedudukan Allah begitu tinggi sehingga mereka menganggap perlu perantara untuk menyampaikan permohonan mereka kepada-Nya. Ka’bah waktu itu berisi sekitar 360 patung berhala dari masing-masing suku. Setiap tahun suku-suku Arab ini berkumpul di Makkah untuk berziarah sekaligus sebagai ajang untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka. Ziarah tahunan mereka waktu itu, ritual-ritualnya tidak ditujukan buat Allah (walau Allah mereka akui sebagai Tuhan tertinggi), tetapi buat tuhan-tuhan mereka masing-masing.
Abrahah, seorang pemeluk agama Kristen, penguasa kerajaan Sheba di negeri Yaman, membangun sebuah Gereja yang megah dan Indah. Yang diberi nama Al-Qullays. Bahkan, penguasa Byzantine (pusat kekuasaan Kristen Romawi saat itu) pun memujinya. Abrahah berkeinginan, dengan membangun gereja yang megah itu dia dapat menarik perhatian masyarakat Arab yang mayoritas masih Pagan (penyembah berhala) dan supaya para peziarah Arab beralih mengunjungi gerejanya dibandingkan mengunjungi Ka’bah di Mekah. Yang menurut dia, tidak ada apa-apanya dibandingkan gereja megah yang dia bangun. Tapi, kenyataannya masyarakat Arab masih memilih Ka’bah sebagai tujuan utama ziarah mereka. Abrahah mengirim utusan (misionaris) kepada suku-suku Arab, untuk mengajak mereka berziarah ke Al-Qullays. Mengetahui tujuan para utusan itu, suku banu Kinana yang dikunjungi para utusan tersebut, merasa bahwa tuhan-tuhan mereka telah dilecehkan dengan menyebutkan bahwa Al-Qullays jauh lebih baik dari Ka’bah. Utusan itupun mereka bunuh. Berita bahwa utusannya dibunuh, membuat Abrahah sangat marah dan bersiap mengirimkan pasukannya menghancurkan suku Kinana. Dan bersumpah untuk ikut menghancurkan Ka’bah di Makkah. Mendengar rencana Abrahah tersebut, seorang dari suku Quraysh (suku yang tinggal di Mekkah) yang marah, pergi menuju Sana’a dan secara diam-diam memasuki Al-Qullays dan mengotorinya. Ada yang mengatakan, orang Quraysh ini, buang hajat di dalam Al-Qullays. Abrahah yang sangat marah, akhirnya memimpin langsung sekitar 40.000 pasukan dengan diantaranya adalah pasukan bergajah.
Abrahah ingin menghancurkan Ka’bah sebagai pembalasan atas penghinaan yang dilakukan terhadap gereja miliknya. Tapi benarkah demikian? Di ayat kedua surah Al-Fill, Allah menyebutkan “Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia?”. Tipu daya bisa berarti sesuatu yang didalamnya berbeda dengan apa yang kelihatan diluarnya. Mengatur agar niat jahatnya tidak kelihatan dan menyiasati seolah-olah tindakan yang dilakukannya dapat dibenarkan. Jadi, tipu daya itu mempunyai konotasi yang negatif. Bagaimana jika, Abrahah sendiri yang mengatur, utusannya dibunuh dan gerejanya dinodai. Sehingga orang-orang dan rakyatnya mendukungnya untuk menuntut balas dendam, dan membenarkan usahanya menyerang Makkah untuk menghancurkan Ka’bah? Tetapi yang terjadi, seperti yang kita ketahui, Abrahah mengerahkan pasukannya menuju Makkah untuk menghancurkan Ka’bah. Sepanjang perjalanan menuju Makkah, beberapa suku Arab berusaha memberikan perlawanan, tetapi tidak mampu menghadang pasukan Abrahah. Hingga akhirnya Abrahah mencapai perbatasan kota Makkah. Ada riwayat yang mengatakan, ketika akan memasuki batas wilayah kota Makkah, gajah-gajah yang dibawa Abrahah tiba-tiba berhenti dan duduk berlutut, menolak untuk melanjutkan perjalanan memasuki kota Makkah. Tetapi jika gajah tersebut diarahkan ke arah yang lain, mereka tidak menolak untuk terus berjalan.
Abdul Muthalib, pemimpin yang ditunjuk oleh suku Quraysh untuk berbicara dengan Abrahah. Sebelumnya, Abdul Muthalib melepas unta-untanya diperbatasan kota, yang kemudian ditangkapi oleh pasukan Abrahah. Abdul Muthalib pun datang menghadap Abrahah, meminta supaya unta-untanya dikembalikan. Abrahah bertanya kepada Abdul Muthalib, “kenapa kamu datang dengan berani meminta unta-untamu, sementara kamu tahu bahwa aku dan pasukanku akan datang untuk menghancurkan Ka’bah. Kenapa kamu tidak bersiap-siap untuk melindungi Ka’bah?” Abdul Muthalib pun menjawab, “unta-unta itu adalah milikku, aku berhak untuk melindunginya. Sedangkan Ka’bah itu adalah milik Tuhan, Dia yang paling berhak untuk membelanya. aku dan kaumku tidak mampu untuk membelanya dari serangan pasukanmu.” Sekembalinya dari tempat Abrahah, Abdul Muthalib memerintahkan kaumnya untuk mengungsi, bersembunyi di bukit-bukit sekitar Makkah. Pagi harinya, ketika Abrahah bersiap memasuki kota Makkah untuk menghancurkan Ka’bah. Terjadilah seperti apa yang disebutkan pada ayat 3-5 surah Al-Fiil di atas. Allah mengirim serombongan burung yang membawa batu api yang terbakar dan membombardir Abrahah dan pasukannya, dan membuat mereka panik kocar-kacir. Banyak pasukannya yang mati termasuk gajah-gajahnya. Abrahah sendiri terluka sangat parah dan meninggal dalam perjalanan pulang ke Sana’a. Masyarakat Makkah yang menyaksikan kejadian itupun menyebut tahun itu sebagai tahun gajah. Masyarakat Arab waktu itu belum menerapkan perhitungan tahun, dan menandainya dengan kejadian besar yang terjadi dalam tahun tersebut. Tidak berapa lama setelah itu, anak pertama yang lahir di Makkah setelah kejadian pasukan bergajah, adalah cucu Abdul Muthalib. Dia membawa cucunya yang baru lahir itu ke hadapan Ka’bah dan memberinya nama Muhammad. Kejadian itu menurut mayoritas sejarawan, terjadi pada tahun 570 Masehi.
Wallahu alam,
Takbir
No comments:
Post a Comment