Ketika pertama kali memberi tahu bahwa saya mendapatkan tawaran kontrak kerja di Jepang, beragam komentar saya terima dari keluarga dan teman. Adik sepupu saya, taunya di Jepang banyak Robot canggih, teman cewek titip salam buat Doraemon, teman cowok titip salam buat Miyabi. Nenek saya sendiri bilang, kamu tidak takut ke Jepang? Orang Jepang itu galak dan kejam. Dan mereka itu tidak sholat. Di jaman Jepang dulu, sangat sulit mendapatkan barang-barang kebutuhan hidup karena semua diambil oleh mereka. Gadis-gadis harus lari bersembunyi, jika tidak, maka akan diambil oleh tentara Jepang dan dijadikan Jugan Ianfu. Bukan hanya nenek saya, tetapi juga orang-orang tua yang saya temui ceritanya sama. Memori buruk masa Jepang begitu melekat dipikiran orang-orang tua kita.
Tetapi itu dulu. Orang Jepang di kepala saya adalah orang Jepang yang banyak diceritakan guru-guru SD hingga SMA. Cerita tentang segala kemajuan Negara Jepang. Anak-anak SD saja katanya sudah bisa bikin radio. Toko-toko tidak ada penjaganya karena semua sudah serba pakai mesin otomatis, walaupun begitu orang Jepang pantang mencuri. Orang Jepang sangat disiplin dan sangat menjaga kebersihan. Dan orang Jepang jalannya cepat. Orang Jepang yang saya kenal baik antara lain Sinichi Kudo, Tsubasa, Son Goku, Kenji, Kotaro, Oshin, dan Nobita dkk. Naruto udah ga kenal, dia itu angkatan adik saya yang paling bungsu.
Setelah urusan visa selesai. Akhirnya perusahaan mengirimkan tiket penerbangan dan telah menyewakan apartemen buat saya di Jepang. Selama di Jepang saya akan tinggal di kota Yokohama. Pusat kantor kami di Jepang ada di Yokohama. Setibanya di Jepang tidak ada yang menjemput. Dari kantor hanya diberikan catatan dan petunjuk jalan, bagaimana menuju Apartemen di Yokohama dari Bandara Narita, Tokyo. Serta alamat kantor dan peta gedung-gedung disekitarnya. Setiba di bandara Narita, saya sudah mulai sedikit terkesan dengan efisiennya staf imigrasi dalam melayani segitu banyak pendatang. Setelah lolos imigrasi dan customs bandara, saatnya mencari tahu bus yang menuju Yokohama sesuai petunjuk yang diberikan. Ternyata tidak susah karena begitu kita keluar dari customs, sudah terdapat deretan loket bus. Untuk ke Yokohama City Air Terminal (YCAT) biayanya 3500 Yen Jepang (JPY). Untuk manula 60 tahun ke atas atau yang berumur di bawah 26 tahun, harga tiketnya 2000 JPY. Lama perjalanan sekitar 1 jam. Di atas bus, ketika akan berangkat, supir bus mengingatkan kami untuk menggunakan sabuk pengaman. Baru kali ini saya naik bus pakai sabuk pengaman. Catatan buat saya lagi, orang Jepang serius soal keselamatan. Setiba di YCAT, sesuai petunjuk lagi, saya naik taksi menuju Apartemen dan memberikan peta dan alamat dalam bahasa Jepang yang telah dibuatkan untuk saya sebelumnya. Mengingat akan sangat jarang supir taksi di Jepang yang bisa bahasa Inggris. Tarif taksi di Jepang sangat mahal, 710 JPY pertama kali masuk. Dan naik 120 JPY per kilometernya setelah 2 kilometer pertama. Untungnya apartemen saya ternyata tidak terlalu jauh, hanya bayar 890 JPY hingga tiba di alamat tujuan.
Keesokan harinya, saya berangkat kantor dengan menggunakan subway. Tempat tinggal saya dekat dengan Sakuragicho Stasiun dan kantor berada di dekat Shin-Yokohama Stasiun. Biaya subway dan Japan Railway (lebih dikenal dengan JR) jauh dekat tidak sama. Harga tiket berdasarkan jauhnya stasiun tujuan dari stasiun keberangkatan. Sistem informasi yang bagus dan sikap orang Jepang yang suka membantu, membuat saya dengan mudah mengerti sistem subway dan JR ini. Ketika berada dalam subway, saya melihat rata-rata pria menggunakan kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam. Awalnya saya berpikir mereka mungkin pegawai kantor pemerintah. Setelah tiba di kantor dan diberikan training singkat mengenai etika dan tatakrama dalam bekerja di Jepang, baru saya mengerti. Banyaknya pekerja non-Jepang ditempat saya bekerja mewajibkan perusahaan untuk perlu memberikan training tersebut. Ketidakpahaman kita tentang budaya dan kebiasaan orang Jepang, bisa mengakibatkan kerugian bagi kita dan perusahaan tempat kita bekerja. Di berbagai perusahaan IT, terutama yang berbasis di Eropa, sudah umum jika karyawannya bebas dalam berpakaian selama masih dalam batas sopan. Menggunakan T-shirt dan jeans adalah hal yang biasa. Tetapi di Jepang, itu bukan hal yang umum. Terutama jika rapat dengan client perusahaan kita. Diwajibkan menggunakan kemeja dan celana bahan, serta sepatu pantofel hitam. Dalam training tersebut kita diajarkan bagaimana cara memanggil nama orang Jepang yang sopan, dan sesuai dengan posisinya. Hendaknya agak membungkukkan badan jika bertemu dan berpisah atau jika hendak meminta sesuatu atau memohon maaf. Lepaskan jaket sebelum memasuki kantor. Lepaskan sepatu jika memasuki rumah. Pentingnya bertukar kartu nama (Meishi) bagi Orang Jepang. Jangan membuka mulut lebar-lebar (menguap atau tertawa) ditempat umum. Jangan menelepon atau menerima telepon ketika sedang rapat, dan ketika sedang di dalam kereta. Jangan duduk menyilangkan kaki dan membiasakan tangan dikantong (bagi pria) sambil berkacak pinggang di tempat umum. Kalau tidak, kita akan dianggap kasar dan tidak sopan. Jangankan orang-orang yang berasal dari Negara-negara barat, orang Cina dan Korea saja yang lebih dekat hubungan kebudayaannya dengan Jepang, tetap merasa perlu menyesuaikan diri lagi dengan kebiasaan tatakrama orang Jepang. Inilah Jepang, kata Fujishima-san sang trainer, kami memang beda dan terkesan sangat konservatif, tetapi setiap pendatang harus ikut budaya kami ketika berada di Jepang. Seperti halnya orang Jepang juga mesti beradaptasi dengan budaya bangsa lain jika berkunjung ke Negara yang bersangkutan. Inti dari training singkat tersebut adalah, bahwa orang Jepang sangat menjunjung tinggi sifat jujur dan rendah hati, serta sikap sopan santun. Dan hal itulah yang diharapkan dari kami selama berada di Jepang.
Hal lain yang saya amati seminggu ini antara lain, budaya antri mereka, budaya bersih, budaya sopan santun dan kebiasaan mereka membungkukkan badan. Kalo selama ini, terbiasa rukuk tujuh belas kali sehari, sekarang jadi tak terhitung. Walaupun kadang antrian kendaraan cukup panjang menunggu para penyeberang jalan lewat, padahal lampu hijau, kendaraan dibelakangnya juga tidak seenaknya membunyikan klakson. Seminggu ini saya belum pernah mendengar klakson mobil atau motor. Budaya kerja mereka, yang tergolong gila kerja. Hingga jam 8 malam kantor masih rame saja. Tetapi bukan berarti mereka tidak ada sisi buruknya. Saat akhir pekan, beberapa saya temui orang Jepang tidur di emperan toko atau trotoar masih lengkap dengan pakaian kerjanya, bukan karena dia gelandangan, tetapi karena sepulang kerja mereka tidak langsung pulang tetapi melewatkan malam di bar atau klub untuk minum-minum hingga mabuk. Sekali lagi, ini Jepang kawan.
Irasshaimase.
Wassalam,
Takbir
3 comments:
ga ada yg komen, setuju ini jepang.. :D..
Hello,Pak Ahmad
Saya berencana pergi ke Jepang. Boleh tidak saya minta advice ke bapak tentang itinerary saya selama di jepang dll? Maklum baru first time ke sana. Thank you.
Mungkin bisa baca dulu postingan saya yang ini
http://ahmadtakbir.blogspot.jp/2012/10/tips-traveling-di-jepang-menyusun.html
http://ahmadtakbir.blogspot.jp/2012/10/tips-traveling-di-jepang-memilih-waktu.html
Post a Comment