Three Cups Of Tea
Penulis: Greg Mortenson dan David Oliver Relin
(ISBN: 978-979-114-185-7)
Penulis: Greg Mortenson dan David Oliver Relin
(ISBN: 978-979-114-185-7)
“... (Di Pakistan dan
Afghanistan), kami minum tiga cangkir teh saat membicarakan bisnis;
pada cangkir pertama engkau masih orang asing; cangkir kedua, engkau
teman; dan pada cangkir ketiga, engkau bergabung dengan keluarga
kami. Sebuah keluarga yang siap untuk berbuat apapun-bahkan untuk
mati.”
Haji Ali, Kepala Desa Korphe,
Pegunungan Karakoram, Pakistan.
Buku ini merupakan catatan atau memoar
seorang pendaki gunung asal Amerika, Greg Mortenson, yang berhasrat
menaklukkan puncak gunung tertinggi kedua di dunia yang berada di
Himalaya, yaitu Karakoram 2 atau lebih dikenal dengan singkatannya
K2. Hasrat ini terutama diinspirasi oleh semangat hidup adiknya,
Christa, yang sejak kecil mengidap meningitis (radang selaput otak).
Greg sangat menyayangi adiknya ini, dan selalu berusaha
menyenangkannya. Hingga akhirnya Christa meninggal dunia pada usia 23
tahun.
Setelah kematian Christa, Greg
mengambil kalung batu ambar, dari sedikit peninggalan sang adik.
Benda itu masih mengeluarkan aroma asap api unggun yang mereka buat
pada saat terakhir kali Christa mengunjungi Greg di California. Greg
membawa kalung itu ke Pakistan, terbungkus dalam kata, bendera
doa Tibet, serta sebuah rencana untuk menghormati kenangan tentang
Christa. Greg adalah seorang pendaki, dan dia memilih untuk melakukan
penghormatan paling agung yang diketahuinya. Dia akan mendaki K2,
puncak yang dianggap paling sulit didaki di muka bumi oleh sebagian
besar pendaki gunung, dan meninggalkan kalung sang adik di sana, di
ketinggian 14.133 meter.
Bukan hanya gagal mencapai puncak, Greg
juga tersesat dan mengalami keletihan kronis. Setelah berjalan kaki
tertatih-tatih turun gunung selama tujuh hari, Greg tiba di Korphe,
desa yang bahkan tak pernah dilihatnya di peta. Di desa itu, dia
disambut oleh Haji Ali, Nurmadhar atau kepala desa. Dia diberi
tempat berteduh dan dirawat hingga benar-benar pulih. Greg baru sadar
dikemudian hari bahwa, teh manis yang selalu disuguhkan kepadanya
adalah barang mewah buat desa terpencil itu yang sulit mendapatkan
gula. Selimut merah tua indah membuat Greg merasa begitu terhormat
karena dia melihat selimut itu jauh lebih bagus dari yang dipakai
oleh tuan rumah sendiri, ternyata dulunya adalah benda terbagus dari
hantaran maskawin menantu Haji Ali. Greg tak bisa membayangkan bahwa
dia akan sanggup melunasi utang yang dirasakannya terhadap para tuan
rumahnya di Korphe. Hingga ketika dia berjalan-jalan di sekitar desa
dan melihat anak-anak yang duduk berlutut di atas tanah yang dingin
membeku, belajar di ruang terbuka tanpa seorang guru, yang ternyata
hanya datang dalam 3 hari selama seminggu, dan membiarkan anak-anak
tersebut mengerjakan tugas pelajaran di hari berikutnya.
Berdiri di samping Haji Ali, di atas
tubir dengan sawang membuka luas ke arah lembah, dengan pandangan
sejernih kristal pada keperkasaan pegunungan yang menyebabkannya
menyeberangi separuh bola dunia guna menguji diri, mendaki K2 untuk
meletakkan serenceng kalung di puncaknya tiba-tiba terasa amat remeh.
Ada hal lain yang jauh lebih berarti yang bisa dilakukannya untuk
mengenang adiknya.
Diletakkannya kedua tangannya di atas
pundak Haji Ali, seperti yang kerap dilakukan lelaki tua itu
kepadanya semenjak pertama kali mereka berbagi secangkir teh. “Aku
akan membangun sebuah sekolah untuk kalian,” katanya, belum
menyadari bahwa dengan kalimat tersebut, jalan hidupnya telah
berbelok menyusuri jalur lain, sebuah jalur yang jauh lebih berkelok,
lebih sulit, daripada belokan keliru yang telah diambilnya saat
meninggalkan puncak K2.
Buku ini berkisah bagaimana Greg, yang
hanya seorang petugas medis freelance, mengumpulkan dana dan
kembali ke Korphe untuk membangun sekolah yang dijanjikannya. Dari
satu sekolah yang kemudian bertambah menjadi sekitar lima puluh
sekolah dalam satu dekade. Di buku ini juga banyak membahas tentang
budaya masyarakat Pakistan terutama yang hidup di sekitar pegunungan
Himalaya.
Puncak K2
Wassalam,
Takbir
No comments:
Post a Comment