Titik Nol – Makna Sebuah
Perjalanan
Penulis: Agustinus Wibowo
(ISBN: 978-979-22-9271-8)
Aku menjuluki Agustinus ‘Si
ceroboh yang selalu selamat’. Sepertinya di dahimu tertera besar-besar tulisan
3R –rob me, rape me, rescue me-
rampok aku, perkosa aku, tolong aku. (Lam Li, petualang wanita asal Malaysia,
sahabat Agustinus)
Dalam perjalanannya
bertahun-tahun melintasi Negara, dia pernah dirampok, atau barang-barang
berharganya dicuri oleh orang-orang yang baru dikenal atau tidak dicurigainya,
dia sudah mengalami pelecehan seksual lebih sering daripada yang dialami oleh
petualang perempuan; dia pernah berada dalam situasi-situasi
berbahaya dan mengundang maut. Namun dia selalu berhasil lolos dan tak pernah
kehilangan kepercayaannya kepada manusia, dan “kelemahannya” karena dengan lugu
serta mudah percaya pada orang -sahabat atau orang tak dikenal- entah bagaimana
menjadi kekuatannya, yang justru menolongnya keluar dari masalah pelik. Dia
selamat keluar dari zona perang, penyakit mematikan, dll, bukan karena dia
pintar atau waspada sepanjang waktu, tapi karena dia bisa menjalin ikatan
dengan penduduk setempat di tempat-tempat yang dikunjunginya, dan sering kali,
dia diberkahi kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal dan niat baik.
Melalui tulisannya, Agustinus
tidak hanya berhasil mengingatkan dirinya pada kenyataan dalam perjalanannya
sendiri, tapi ia juga membantu para pembaca merasa ikut terhubung dengan
orang-orang di negeri-negeri nun jauh di
sana yang dalam kenyataannya tak penah mereka temui.
Buku ini menuturkan kisah
Agustinus memulai petualangan yang dicita-citakannya, melakukan perjalanan
darat dari Beijing hingga ke Cape Town, Afrika Selatan. Sebuah Grand Journey. Perjalanan dimulai dengan kereta api kelas
ekonomi dari Beijing menuju Urumqi, ibukota provinsi Xinjiang. Dilanjutkan
menuju Kashgar, menembus Tibet yang dijaga ketat oleh polisi dan tentara Cina.
Saya bisa merasakan sedikit kekecewaan Agustinus ketika mendapati Tibet yang
sudah terkomersialkan. Kota Tibet berubah menyerupai kota-kota Cina lainnya.
Menembus Nepal, merasakan ‘Surga Himalaya’ versi obral. Berleyeh-leyeh di
Kathmandu hingga kehilangan dompet di tengah keramaian. Bagaimana dia
melaporkannya ke polisi dan hanya menerima janji investigasi yang tidak jelas.
Agustinus memasuki India, negeri
yang penuh kejutan, penuh tipu-tipu. Kejutan yang ditawarkan India itu laksana
gempa. Begitu banyak formula kata orang tentang perjalanan di India. Ada yang
bilang, datang ke India kita dipastikan akan mengalami horror 3S: Stolen, Sickness, Sex. Ada yang bilang
India itu singkatan I Never Do it Again
– sekali saja sudah bikin kapok. Ada yang bilang, India itu hanya memberi dua
opsi: benci total atau cinta total, tak ada yang tengah-tengah. Ada pula yang
bilang, setelah perjalanan di India kita jadi tipe manusia dengan dua
kemungkinan: orang sentimental berhati lemah yang trauma disuguhi kemelaratan
bertubi-tubi, atau sebaliknya, jadi orang yang kebal rasa, ketika pengemis dan
anak jalanan jadi makhluk tembus pandang tak kasat mata.
Paradoks India itu adalah fantasi
ala Bollywood di tengah kesemrawutan dan bau pesing. Pengalaman yang paling
menyeramkan adalah ketika Agustinus menderita hepatitis di India. Pengalaman
yang menjadi mimpi buruk setiap solo traveler.
Menembus Kashmir yang terkena
gempa untuk menjadi sukarelawan. Memasuki Tharpatar yang merupakan wilayah gurun
terpencil di Pakistan. Mendapati kericuhan di Lahore sebagai reaksi protes
terhadap kartunis Denmark yang menggambarkan sang Nabi. Setiap kali dia
berkenalan dengan warga Pakistan, dia akan berhadapan dengan pertanyaan yang
sama, apa agama kamu? Menjadikan Agustinus banyak berpikir dan memaknai agama.
“Agama itu asalnya harus dari
hati, dan kembali lagi ke hati. Dalam hati, kau temukan Tuhan. Kita berangkat
dari hati, mengembara mencari-cari sampai akhirnya kita berpulang lagi ke hati.
Hati adalah inti dari ajaran agama”
Perjalanan Agustinus mencapai
Afghanistan. Negara yang hampir tiap hari diwarnai dengan ledakan bom. Justru
di Negara yang paling tidak aman inilah dia banyak menghabiskan waktunya,
mendapatkan pekerjaan sebagai fotografer untuk mengumpulkan dana dan kemudian melanjutkan perjalanan
berikutnya hingga ke Afrika Selatan. Sampai akhirnya Agustinus menerima kabar
Ibunya yang menderita kanker. Panggilan hatinya untuk menjadi anak yang
berbakti membuatnya harus kembali ke Tanah Air, merawat Ibu dan dengan menguras tabungannya sendiri mengantarkan Ibu untuk mendapatkan pengobatan yang terbaik
di negeri leluhurnya, Tiongkok.
Agustinus menuliskan cerita buku
ini dengan mengibaratkan kisah seribu satu malam, Shahrazad si putri yang
cantik bercerita satu cerita setiap malam untuk memperpanjang hidupnya dari
ancaman hukuman mati sang raja. Agustinus terus bercerita tentang pengalaman
perjalanannya kepada sang Ibu, dengan harapan bisa memperpanjang pula hidup
sang Ibu yang telah menderita akibat kanker dan menjelang dijemput ajal.
Perjalananku bukan perjalananmu,
tapi perjalananku adalah perjalananmu. Masing-masing kita punya safarnama sendiri-sendiri, tapi hakikat safarnama itu adalah sama. Perjalanan
adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri.
Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari Titik Nol
kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali. Tiada kisah cinta yang tak berbubuh
noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan,
tiada perjalanan yang tanpa pulang.
Wassalam,
Takbir
No comments:
Post a Comment