Sunday, November 20, 2011

Warna-warni Musim Gugur di Nikko - Jepang


Sesuai saran pengurus Hostel, dari Sumica Guesthouse, saya naik bus dari Halte depan stasiun Tobu Nikko dan berhenti di halte Nishi-sando. Dari sini saya berjalan kaki menuju Villa Kekaisaran yang sekarang dijadikan Museum. Villa Kekaisaran Tamozawa Nikko. Villa ini mulai dibangun pada 1899 sebagai tempat peristirahatan bagi pangeran Yoshihito. Pangeran Yoshihito menjadi Kaisar setelah ayahnya, Kaisar Meiji, meninggal dan kemudian lebih dikenal sebagai Kaisar Taisho. Luas total bangunan 4500 meter persegi dan memiliki 106 buah ruangan. Bagian Istana Akasaka yang merupakan tempat sementara Kaisar Meiji bertempat tinggal dan mengurus masalah kenegaraan, diawal-awal dia memindahkan ibukota dari Kyoto ke Tokyo, dipindahkan ke villa ini. Ketika perang dunia ke-2, pada 1944, Pangeran Akihito (Kaisar jepang saat ini) bertempat tinggal di sini selama setahun sebelum kemudian di evakuasi.





Mengikuti jalan kecil di samping komplek Villa ini, saya berjalan mengikuti petunjuk peta mencari lokasi Narabi-Jizo atau Bake-Jizo yang direkomendasikan juga oleh pengurus Hostel, yang saya tidak tidak tahu sebelumnya. Tapi karena waktu masih banyak saya sempatkan saja, lagian dari peta keliatan dekat dari lokasi Villa. Cuma butuh beberapa saat muter-muter dan sedikit nanya-nanya, akhirnya saya ketemu jalannya. Yang pertama, kuil Joko atau Jokoji. Yang jelas tidak ada hubungannya dengan mas Joko. Kuil ini berupa kompleks pemakaman umum. Yang menarik disini, patung-patungnya dipakaiin topi merah. Dari Jokoji, saya berjalan lagi menuju ke arah sungai. Senang melihat sungai-sungai di Jepang yang bersih dan tanggul-tanggulnya tertata rapi.
Kuil Jokoji


Sungai Daiya

Jizo adalah sebutan orang Jepang untuk dewa penjaga anak-anak dalam agama Buddha (mohon dikoreksi jika salah). Patung-patung Jizo yang ada di sini dibuat oleh murid-murid seorang pendeta Buddha yang terkenal di kawasan ini, namanya Tenkai (1536-1643). Awalnya berjumlah 100 buah patung hingga dikenal juga sebagai Hyaku (seratus)Jizo. Saat ini tersisa 74 buah patung setelah sempat tersapu oleh banjir. Karena ditempatkan teratur segaris jadi disebut juga Narabi (barisan) Jizo. Selain itu dikenal juga sebagai Bake (Hantu)-Jizo. Kenapa disebut hantu? Mungkin lain kali anda bisa mencoba buktikan, datang ke sini malam-malam, sendirian, tanpa penerangan.. Hohohoho...


Kaisar Taisho (1879-1926), putra Kaisar Meiji, dikenal sangat mencintai Nikko dan sering mengunjunginya. Terdapat semacam prasasti yang berupa kata-kata puitis sang Kaisar tentang rembulan di atas sungai Daiya.

Ngarai Kanman-ga-fuchi. Ngarai sempit berbatu dengan air yang deras ini terbentuk oleh lahar dari letusan gunung Nantai berabad-abad sebelumnya.

Tempat terakhir yang saya datangi sebelum kembali ke Tokyo adalah Jembatan suci Shinkyo di atas sungai Daiya. Salah satu jembatan kayu yang dianggap terindah di Jepang. Konon menurut legenda setempat, ketika pendeta Shoto dan murid-muridnya akan mendaki gunung Nantai untuk berdoa demi kesejahteraan negeri, mereka menghadapi kesulitan menyeberangi Sungai Daiya yang berarus deras. Sang pendeta kemudian berdoa, dan Sang dewata muncul dengan dua ekor ular naga yang melilit di tangannya. Sang dewata kemudian melepas kedua ular naga tersebut yang kemudian menjelma menjadi jembatan, hingga sang pendeta dan pengikutnya bisa menyeberangi sungai.

Catatan dan tips berkunjung ke Nikko:
Untuk menuju Nikko, saya sarankan untuk membeli World Heritage Pass 3600 JPY di Stasiun Tobu Asakusa. Cek di link ini http://www.tobu.co.jp/foreign/pass/w_heritage_pass.html. Letak stasiunnya sangat dekat dari Kuil Asakusa. Pass ini berlaku 2 hari, dan termasuk tiket pulang pergi naik kereta lokal Asakusa-Nikko. Kereta lokal maksudnya kereta ekonomi yang berhenti disetiap stasiun dan tempat duduknya rebutan. Jarak tempuh sekitar 2 jam 10 menit. Sobekan pass ini bisa ditukarkan di loket depan Rinnoji dengan tiket masuk ke komplek warisan dunia di Nikko (Rinnoji,Toshogu Jingu dan Futarasan Jingu). Dan juga termasuk pass unlimited ride bus dari Tobu group selama di Nikko. Cukup memperlihatkan voucher pass anda pada supir bus ketika mau turun. Atau kalau anda memilih untuk tidak membeli Pass, anda bisa menghitung sendiri biayanya kira-kira 1400 JPY one way dengan kereta Asakusa-Nikko, tiket masuk ke komplek warisan dunia Nikko 1000 JPY, dan 1 day pass untuk bus 500 JPY yang bisa anda beli di stasiun Tobu-Nikko.

Untuk penginapan dengan standar Hostel, saya cek beberapa dan harganya berkisar 2500-3000JPY untuk kamar dormitory. Saya sempat menginap sehari di Guesthouse Sumica (3000 JPY). http://nikko-guesthouse.com/en_index.html. Bisa booking dengan cukup mengirimkan email, tanpa bayar DP dengan kartu kredit. Lokasinya sekitar 50 meter dari Stasiun Tobu-Nikko.

Saya tidak sengaja menunggu musim gugur tiba untuk mengunjungi Nikko, hanya kebetulan. Tetapi menurut saya musim gugur waktu yang tepat berkunjung ke sini selain musim semi. Waktu di mana daun-daun hijau berubah jadi warna-warni.Pemandangan yang sangat menyenangkan bagi anak kampung seperti saya yang biasanya cuma liat daun hijau atau daun kering.




Wassalam,
タクビール

Monday, November 14, 2011

Situs Warisan Dunia di Nikko - Jepang


Nikko terletak kira-kira 140 KM sebelah utara Tokyo. Di sini terdapat situs yang merupakan salah satu dari 16 situs warisan dunia UNESCO yang berada di Jepang hingga saat ini. Toshogu Jingu, Kuil Rinno-ji, dan Futarasan Jingu yang letaknya berdekatan, diresmikan sebagai situs UNESCO pada tahun 1999.

Nikko mulai berkembang setelah kedatangan seorang pendeta Buddha yang bernama Shoto. Dia yang mengembangkan budaya dan kemudian menjadikan Nikko terkenal sebagai tempat suci. Konon, sang pendeta berjalan menuju Gunung Nantai di Nikko atas bimbingan dan petunjuk dari langit. Dia melewati berbagai rintangan yang berat hingga akhirnya berhasil mencapai puncak bukit pada tahun 782. Sebuah patung perunggu Biksu Shoto didirikan di depan Kuil Rinno-ji.

Rinno-ji adalah nama umum dari sekumpulan kuil yang ada dalam kompleks yang sama. Salah satunya yang terbesar (sedang direnovasi) adalah Sanbutsu-do. Sanbutsu bisa diartikan Tiga Buddha. Hon-do adalah istilah buat bangunan dengan ruangan besar atau hall. Didalam sini terdapat tiga patung berukuran besar. Patung Buddha yang diapit oleh dewi bertangan banyak dan sosok dewa berkepala kuda yang menjadi pelindung Buddha. Dilarang memotret dalam hall ini.


Dari Rinno-ji, saya berjalan lagi menuju Toshogu Jingu. Jingu yang didedikasikan buat Shogun Tokugawa yang pertama, Tokugawa Ieyasu. Tokugawa Ieyasu berhasil menyatukan Jepang pada 1603, dan menjadi pemimpin militer utama yang berkuasa penuh atas Jepang atau lebih dikenal juga sebagai Shogun. Dan menjadikan Edo atau Tokyo sebagai pusat pemerintahannya. Sebelum meninggal, Ieyasu berpesan agar di tahun pertama kematiannya, jasadnya disemayamkan di Gunung Kuno, yang merupakan kampung halamannya. Kemudian agar diabadikan dengan sebuah Jingu kecil di Nikko. Dia berharap diabadikan sebagai Dewa penjaga Jepang.


Ieyasu meninggal tahun 1616, pada usia 75 tahun. Dan sebuah Jingu di bangun di Nikko sesuai permintaannya. Nikko yang terletak di sebelah Utara Edo. Utara menurut kepercayaan orang Jepang sebagai arah yang kurang bagus, arah datangnya setan dan kejahatan, walaupun begitu, sesuai dengan keinginan Ieyasu yang akan melindungi Jepang dari segala mara bahaya dan kejahatan. Awalnya Toshogu Jingu hanya berupa bangunan kecil sesuai wasiat Ieyasu. Tetapi kemudian diperbesar dan diperluas sekaligus diperindah oleh Shogun ketiga Tokugawa, Iemitsu.



Tiga Monyet Bijak, "tidak mendengar yang buruk, tidak berkata yang buruk, dan tidak melihat yang buruk". Ukiran ini terdapat di salah satu bangunan dalam komplek Toshogu Jingu.

Berjalan menuju Futarasan Jingu, saya melewati jalan dengan deretan lentera dari batu. Futarasan Jingu sebagai tempat penyembahan Gunung. Leluhur bangsa Jepang sangat menghormati Gunung Tinggi, karena Gunung dianggap yang mengatur berbagai fenomena alam, seperti awan, halilintar, hujan, dan salju. Tempat air berasal. Mereka percaya bahwa para dewa tinggal di sana. Kepercayaan Bangsa Jepang menurut saya hampir mirip dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan kuno leluhur Bangsa Indonesia. Mereka percaya bahwa roh bersemayam di dalam pohon atau benda-benda keramat. Kepercayaan Buddha ternyata berjalan beriringan dengan kepercayaan kuno masyarakat Jepang, yang lebih dikenal dengan Shinto. Mayoritas masyarakat Jepang menganut kepercayaan Shinto sekaligus agama Buddha. Kepercayaan dan budaya Shinto mereka jalankan dikehidupan sekarang, dan agama Buddha sebagai pegangan yang berkaitan dengan kepercayaan mereka setelah mati. Shinto adalah kepercayaan tanpa kitab suci dan tanpa seorang rasul atau teladan sebagai pembawa ajaran.


Sekitar halaman Futarasan Jingu. Dari penjual suvenir, beberapa tenda di mana pengunjung bisa mencoba sajian mie kuah yang pembuatannya didemonstrasikan disitu, hingga upacara pernikahan dalam Jingu.


Beberapa tempat suci lainnya di sekitar Futarasan Jingu



Tempat terakhir yang saya kunjungi di hari pertama adalah Taiyun Musouleum atau makam dari Shogun ketiga Tokugawa Iemitsu yang lebih dikenal dengan nama gelarnya, Taiyun. Taiyun dikenal sangat memuja kakeknya, sang pendiri Shogun Tokugawa, Ieyasu. Hingga dia berpesan, agar di makamkan tidak jauh dari Jingu Ieyasu.


Udara di Nikko menjelang malam sudah sangat dingin, apalagi sekarang sudah memasuki musim dingin. Saya bergegas menuju Guesthouse Sumica yang sudah saya pesan sebelumnya, tidak jauh dari Stasiun Nikko. Dan tanpa diduga, disini saya berkenalan dengan Yoshiko-san, teman dari pengurus Guesthouse. Mbak Yoshiko ini yang asli berasal dari Nikko, pernah tinggal di Indonesia selama 2 tahun mengikuti program kerja sosial pemerintah Jepang. Dia bekerja di Panti Sosial Bina Grahita di Palu, Sulawesi Tengah. Betapa senangnya dia setelah mengetahui saya berasal dari Sulawesi Selatan. Katanya, kadang bertemu dengan orang Indonesia, tetapi jarang yang dari Sulawesi. Dia sempat menanyakan kondisi terakhir di Poso, yang dia ketahui dari berita terjadi keributan beberapa tahun yang lalu. Walaupun sudah meninggalkan Indonesia sejak 15 tahun yang lalu, dia masih ingat banyak bahasa Indonesia. Bahkan kami bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia dan hebatnya ingat beberapa bait lagu Indonesia Raya. Yang membuat saya geli ketika dia masih ingat beberapa logat bugis-makassar yang katanya dia baru tau kalau logat itu tidak digunakan di Jawa. Malamnya, mbak Yoshiko ini yang mengantar ke supermarket dan membantu saya memilih makanan yang setidaknya tidak mengandung Babi. Seharian, makan roti terus bikin lemas tidak bertenaga. Ketika tugasnya selesai di Indonesia dan pulang ke Jepang, mbak Yoshiko membawa oleh-oleh kaos kuning bergambar pohon beringin. Ketika itu Presidennya masih Soeharto.


"Perjalanan hidup manusia adalah sebuah perjalanan yang jauh
Tidak perlu tergesa-gesa
Tidak akan merasa kurang jika terbiasa dengan ketidaknyamanan
Sedikit jauh lebih bagus daripada berlebihan
Ingat kesulitan yang pernah dilalui ketika merasa hilang harapan
Sabar adalah dasar dari keselamatan yang langgeng
Kemarahan adalah musuh
Kerusakan akan datang jika selalu menang
Celaan kepada diri sendiri, bukan kepada orang lain"
(Tokugawa Ieyasu)




Wassalam,
タクビール