Thursday, October 17, 2013

Serba-serbi Thailand


Menetap selama empat bulan di Bangkok memberi cukup banyak tambahan pengetahuan dan pengalaman mengenai hidup di Thailand dan kehidupan masyarakat Thailand itu sendiri. Terutama di Bangkok.

Thailand masih negara serumpun dengan Indonesia. Negara tetangga. Banyak miripnya. Baru kali ini saya berjalan berkeliling di negara lain, tapi tidak merasa asing. Merasa seperti orang lokal. Orang lokal juga sering menyangka saya orang Thai. Seringkali supir taksi dan tuk-tuk atau tukang ojek sudah berbicara panjang lebar, untuk kemudian sadar bahwa saya orang Indonesia. Uoi... Indo...

Temperatur dan cuaca di Thailand seperti di Indonesia. Panas dan gerah. Jika hujan, turunnya deras, dan susah ditebak. Tiba-tiba cerah, tiba-tiba hujan. Jika hujan turunnya sore menjelang malam, siap-siap saja berhadapan dengan macet. Macet di Bangkok sama parahnya di Jakarta. Ketika puncak macet, lampu lalu lintas diatur waktunya secara manual oleh polisi. Menunggu lampu hijau bisa sangat lama. Berhenti total. Pernah naik tuk-tuk dan taksi saat pulang kantor, kondisi hujan dan macet, kendaraan hanya maju beberapa ratus meter padahal sudah setengah jam. Walaupun macet begitu parah, orang-orang Bangkok sangat jarang membunyikan klakson. Beda pola macet di Jakarta, yang walaupun jalanan padat kendaraan tetapi tetap bisa melaju walau perlahan. Dan tambahan lagi, jalanan di Jakarta jauh lebih bising karena pengendara yang tidak sabaran membunyikan klakson bersahut-sahutan.

Bangkok selangkah lebih maju dibandingkan Jakarta dalam menghadapi macet. Mereka punya sky train (BTS) dan subway (MRT). Walau belum menjangkau seluruh Bangkok dan belum mampu mengatasi macet, tapi setidaknya warga Bangkok punya pilihan transportasi publik yang sangat nyaman. Semua bus di Bangkok juga sudah ditangani lebih baik, tidak melaju ugal-ugalan, dan hanya berhenti di tempat pemberhentian bus. Yang masih ugal-ugalan di Bangkok itu supir tuk-tuk dan tukang ojek.
Banyaknya sungai di Bangkok dijadikan juga sebagai jalur transportasi alternatif untuk menghindari macet.

Soal makanan, orang Indonesia juga tidak sulit menyesuaikan dengan menu masakan Thailand. Masakan Thailand adalah kombinasi rasa manis dan pedas. Di meja tidak tersedia garam melainkan gula dengan cabe kering atau cabe asam.

Penjual makanan di sepanjang trotoar.


Warna-warni manisan dan cendol Thailand

Kelapa muda dengan es krim dan taburan kacang

Mangga dan nasi ketan. Kedengarannya kombinasi yang aneh, tapi setelah mencoba saya jadi suka. Beras ketannya yang enak dengan buah mangga yang manis dan lembut.

Cumi bakar.

Gorengan serangga dan kalajengking juga ada.
Kombinasi favorit setelah berkeliling di siang hari yang panas dan gerah.

Batasannya hanya untuk muslim yang harus pilih-pilih makanan yang halal. Menemukan makanan halal di Thailand juga tidak sesulit yang saya bayangkan awalnya. Selama di Bangkok, petchburi soi chet adalah tempat favorit bersama teman untuk mencari makanan halal. Karena di situ memang banyak warga Thai muslim. Dan tidak jarang ada yang bisa berbahasa melayu. Muslim Thai di Bangkok memang banyak yang berasal dari provinsi Thailand Selatan yang berbatasan dengan Malaysia.

Jalan Petchburi soi chet. Tempat nongkrong minum teh tarik dan martabak pisang. Ramai oleh remaja sekitar soi chet ataupun yang singgah karena kebetulan lewat.

Muslim Thailand saya lihat juga menikmati kebebasan menjalankan ibadahnya. Mesjid-mesjid tidak dilarang mengumandangkan azan dengan pengeras suara dari menara mesjid. Para muslimah juga bebas mengenakan hijab di tempat umum, sekolah, hingga pegawai instansi pemerintahan. Keberadaan dan pengakuan muslim oleh kerajaan Siam memang sudah sejak dulu. Muslim berasal dari para padagang Arab, Persia, India dan juga Indonesia, serta dari wilayah-wilayah melayu muslim di Selatan yang dikuasai Thailand. Label halal untuk beberapa makanan dan minuman juga bisa kita temukan di swalayan dan minimarket. Bank syariah untuk muslim pun ada di Thailand. Acara televisi yang membahas agama Islam pun lumayan sering, apalagi pada bulan Ramadhan. Pemerintah Thailand secara resmi mengangkat ulama terkemuka sebagai pimpinan umat Islam di Thailand dan memberinya gelar Chularajamontri. Hanya saja, dengan populasi muslim sekitar 10 hingga 15 persen, Thailand belum menjadikan hari raya idul fitri dan idul kurban sebagai hari libur nasional. Beda dengan Indonesia yang menjadikan Waisak sebagai hari libur nasional, walau penganut Buddha mungkin hanya 1 persen saja.

Warga Thailand, baik yang Buddha maupun Muslim begitu menghormati Raja Thailand yang saat ini berkuasa, Bhumibol Adulyadej yang bergelar Rama IX. Walau secara konstitusi sudah tidak punya kekuatan lagi tetapi segala himbauannya masih begitu didengar dan dipatuhi rakyat Thailand. Bagi warga Thai penganut Buddha malah menganggap bahwa Raja Bhumibol sebagai Dewa yang hidup di bumi. Sesuai kepercayaan penganut Buddha, bahwa setiap orang akan bereinkarnasi alias hidup kembali sesuai amal perbuatannya di kehidupan sekarang. Mereka percaya akan karma. Reinkarnasi akan berhenti ketika mencapai level Buddha, yaitu level kebaikan paling tinggi. Level dimana hidup tidak bergantung lagi pada kebutuhan yang bersifat dunia. Selalu merasa cukup walau hidup berkekurangan. Tetap hidup sederhana walau materi berlebih. Sang Raja yang saat ini berkuasa, bagi Warga Thai penganut Buddha, mereka anggap sudah mencapai level Buddha. Penghormatan kepada Raja salah satunya dengan memutar lagu untuk Raja setiap kali akan memulai pemutaran film di bioskop, dan yang hadir dalam bioskop diharapkan berdiri selama pemutaran lagu buat Raja tersebut. Nasionalisme warga Thai juga terlihat ketika setiap pukul 6 sore, di beberapa tempat umum diputarkan lagu kebangsaan Thailand, semua warga dan kendaraan akan berhenti hingga lagu selesai.

Foto sang raja ada di mana-mana. Dengan bendera kuning yang menjadi bendera Raja Thailand.

Dipasang juga di gerbang walking street Pattaya.
Tapi ada kekhawatiran warga Thai mengenai pengganti Raja selanjutnya. Putra mahkota calon penerus tahta menjadi rahasia umum dikenal sebagai seorang yang gemar wanita cantik dan pernah diisukan juga gemar bermain judi yang didanai oleh mantan perdana menteri yang dikudeta tahun 2006 silam, Thaksin Sinawatra, yang saat ini masih dipelarian setelah dicegah masuk kembali ke Thailand. Bahkan sempat terucap dari mulut seorang supir taksi, bahwa mungkin Bhumibol adalah Raja terakhir Thailand. Mungkin, katanya. Ketika saya lanjut bertanya, dia enggan bicara, takut ditangkap polisi katanya. Menjelek-jelekkan keluarga kerajaan Thailand adalah kejahatan yang bisa berakhir di penjara.

Wat Pho. Tempat patung Buddha berbaring (reclining Buddha). Lokasinya tepat di belakang Grand Palace Bangkok.

Muaythai atau Thai boxing menjadi salah satu ciri khas Thailand. Selama di Bangkok saya beberapa kali menyaksikan tontonan Thai boxing gratis di depan MBK yang diselenggarakan setiap hari rabu jam enam sore. Meskipun hanya menghadirkan atlet Thai boxing yang masih junior dan amatir. Untuk sekedar hiburan saja. Sekali waktu saya beruntung karena di tempat yang sama diadakan turnamen Thai boxing antar negara Asean. Indonesia juga punya wakil, yang langsung kalah dipertandingan pertama oleh atlet Thailand. Turnamen itu sendiri akhirnya dimenangkan oleh atlet Thailand tentunya, yang memang dari segi teknik terlihat unggul dibandingkan peserta lainnya. Yang istimewa dari turnamen itu sendiri adalah, saya bisa melihat langsung sang jagoan Thai boxing Thailand yang sangat terkenal dan beberapa kali juara dunia, Buakaw Banchamek.

Harga barang, seperti pakaian dan alat-alat elektronik, tidak beda jauh dengan harga di Indonesia. Bahkan saya merasa masih bisa mendapatkan harga yang lebih murah di Indonesia. Tapi semakin banyaknya tiket penerbangan murah ke Bangkok dari Indonesia, membuat semakin banyak pula turis Indonesia yang jalan-jalan sekalian belanja ke Thailand. Pusat belanja MBK misalnya, banyak pedagang yang bisa sedikit ber bahasa melayu untuk menarik para pengunjung dari Indonesia atau Malaysia.

Terminal 21, salah satu dari serangkaian mall di jalur BTS.
Beberapa barang Import Thailand seperti barang-barang elektronik, akan mendapatkan pengembalian VAT (Value Added Tax ~ Pajak Pertambahan Nilai) di bandara sebesar 10 persen dari harga beli barang tersebut. Pengembalian VAT tersebut harus diklaim tidak lebih dari 60 hari dengan menunjukkan bukti pembayaran, passport dan boarding pass, serta barang yang dibeli.

Hal lain yang saya perhatikan, banyaknya warga Thailand yang bertatto. Pria maupun wanita.  Tatto yang berupa tulisan dari kutipan kitab Buddha atau beragam motif yang tidak ada hubungannya dengan itu.

Di Thailand, terutama dekat kuil, anjing-anjing dibiarkan berkeliaran bebas. Dari anjing muda, anjing pincang, hingga anjing tua yang sudah kurap dengan nafas ngap-ngapan, bahkan anjing yang sedang bercinta, bisa kita lihat di jalan. Dan yang paling banyak saya lihat itu disekitar komplek Wat di Ayutthaya. Anjingnya sebenarnya jinak, tetapi tetap saja yang namanya hewan liar, bisa menyerang pejalan kaki. Apalagi saya sendiri memang agak gregetan kalau dekat-dekat anjing.

Selama menetap empat bulan di Thailand. Bahwa sedang berada di luar negeri tidak begitu terasa. Karena begitu banyaknya kesamaan Thailand dengan negara kita. Kita negara serumpun. Tidak salah para pemimpin negara di kawasan ini mendirikan ASEAN. Kumpulan negara-negara yang makanan pokoknya nasi. Bahkan di kota-kota yang sempat saya kunjungi di Thailand, banyak saya temui sekolah-sekolah dengan logo ASEAN yang di Indonesia sendiri tidak pernah saya lihat. ASEAN memang lahir di sini, melalui deklarasi Bangkok. Walau kantor pusatnya kemudian berkedudukan di Jakarta.


Wassalam,
Takbir

Tuesday, October 15, 2013

Chiang Mai Ibukota Budaya Thailand di Utara


Mendarat di bandara Chiang Mai sekitar pukul sepuluh malam, setelah 2 jam penerbangan dari Phuket. Di sendal masih banyak menempel pasir dari pantai Patong. Setelah menelpon dan memastikan ada kamar yang kosong, dari bandara saya naik taksi 120 Baht menuju Lek Guesthouse yang berada di luar dinding kota lama. Lek Guesthouse hanya 200 Baht untuk single room, sangat murah menurut saya. Walaupun memang fasilitasnya standar dengan kipas angin, tapi kamar mandinya di dalam. Itu sudah cukup buat saya, yang butuh tempat menaruh barang dan rebahan saja. Di tambah lokasinya yang bagus, dekat dengan kota lama, dan ada restauran kebab halal di perempatan tidak jauh dari situ. Apalagi pemiliknya, Stephan, seorang Perancis beristrikan wanita Thailand, sangat banyak membantu dalam memberi petunjuk jalan, membantu memesan tur dan sewa sepeda motor. Untuk akomodasi di Chiang Mai memang sepertinya standarnya sekitar 200-500 Baht. Ada sangat banyak pilihan baik di dalam dinding kota lama ataupun di luar.

Dengan mengandalkan peta yang tersedia gratis di bandara, saya berjalan mengelilingi pusat kota lama Chiang Mai. Pusat kota lama ini dulunya di kelilingi dinding benteng yang masih bisa kita lihat sisa-sisanya dengan empat gerbang utama. Di luar dinding benteng dikelilingi oleh kanal.
Chiang Mai Gate

Di antara empat gerbang, Thapae Gate menjadi tempat buat warga Chiang Mai dan turis nongkrong dari sore hingga malam hari.

Salah satu bar dari sekian banyak bar di sekitar Thapae Gate

Chiang Mai dulunya bernama Lanna. Di kuasai oleh Burma sebelum direbut oleh kerajaan Siam untuk meminimalisir ancaman serangan dari Burma yang sudah dua kali mengalahkan Kerajaan Siam sebelumnya. Chiang Mai seperti kota budaya di Thailand. Terdapat begitu banyak bangunan kuil Buddha kuno dan modern di dalam dan di sekitar pusat kota lama. Saya merasa kota ini seperti Kyoto kalau di Jepang. Sangat banyak Wat atau kuil. Belum lagi di sekitar Chiang Mai, banyak etnik atau suku dengan budayanya yang unik satu sama lain.

Para bikhu melantunkan sutra saat petang di salah satu Wat yang ada di dalam kota lama.

Dari sekian banyak Wat, hampir semuanya mempunyai ukiran patung Gajah. Gajah yang menopang chedi. Dan di Chiang Mai inilah saya benar-benar melihat banyak Gajah. Di sekitar Chiang Mai terdapat beberapa taman pemeliharaan Gajah.


Di antara sekian banyak Wat, ada tiga wat terbesar yang saya kunjungi. Wat Chiang Mun adalah wat yang tertua. Dibangun ketika benteng kota mulai didirikan.

Wat Phra Singh.

Wat Chedi Luang.

Saya mengambil tur trekking dari Panda Tour dengan harga 1000 Baht plus 300 Baht untuk mengunjungi perkampungan suku berleher panjang. Tur ini menjemput pesertanya dengan songteaw yang ternyata juga menjadi kendaraan kami selama tur. Beberapa peserta sempat ingin komplain karena menurut mereka tidak sesuai harapan mereka, yaitu kendaraannya dengan minivan. Tapi akhirnya tetap jalan juga. Di antara beberapa lokasi tujuan tur, yang menjadikan saya tertarik sebenarnya hanyalah ingin melihat suku berleher panjang secara langsung. Setelah dari pemberhentian pertama, yang hanya berupa taman dengan koleksi bunga anggrek dan kupu-kupu yang menurut saya tidak seberapa, kami dibawa ke tempat suku berleher panjang. Sekitar satu setengah jam dari kota Chiang Mai.

Suku Karen yang wanitanya mengenakan cincin di leher. Semakin banyak cincin memperlihatkan derajat wanita tersebut untuk menarik perhatian para lelaki di sukunya. Ada juga yang mengatakan itu untuk menghindari gigitan binatang buas di leher. Tapi saya lebih setuju pendapat pertama. Suku Karen asalnya dari wilayah Myanmar (Burma) yang kemudian banyak beremigrasi ke wilayah utara perbatasan Thailand-Myanmar untuk menghindari perang di Myanmar.

Ketika berkunjung ke salah satu lokasi perkampungan mereka, dimana kita harus bayar tiket masuk (yang sudah termasuk dalam paket tur), saya hanya melihat ada sekitar belasan rumah panggung saja. Di dalamnya suku Karen ini sepertinya disituasikan untuk menjadi atraksi turis. Setiap kali saya mengarahkan kamera ke mereka, sepertinya mereka sudah biasa berpose di depan kamera. Mungkin karena mereka sudah sadar bahwa sumber pendapatan mereka hanyalah dari para turis. Di sini mereka juga menjual barang-barang cenderamata 'titipan' yang banyak saya temui di Bangkok.



Dari perkampungan suku Karen, kami dibawa ke taman pelatihan Gajah. Di sini untuk pertama kalinya saya naik Gajah. Lumayan seru karena jalur yang ditempuh medannya sangat sulit. Jalur offroad menurut saya. Jalan kecil terjal dan becek serta sungai diterabas Gajah. Gajah benar-benar binatang raksasa yang tangguh di segala medan.

Di tur ini juga saya berkenalan dengan seorang bapak dari Perancis bernama Michel dan istrinya yang keturunan Jawa bernama ibu Sukinem. Pak Michel memanggilnya Suki. Mereka tinggal di wilayah Perancis di Kaledonia Baru, lokasinya sebelah timur Australia. Ibu Sukinem ini tidak tahu berbahasa Indonesia karena lahir dan besar di Kaledonia Baru, setelah orang tuanya merantau ke sana. Ibu Sukinem berlatar pendidikan Perancis di Kaledonia Baru, hanya mengerti sedikit bahasa Jawa. Terakhir kali beliau ke Indonesia 20 tahun yang lalu ketika ayahnya meninggal di Jogjakarta. Ayah ibu Sukinem memutuskan kembali ke kampung halaman dan menghabiskan sisa hidupnya di sana. Ketika saya tanya apakah tidak terpikir untuk kembali dan tinggal di Indonesia saja, beliau menjawab bahwa sulit baginya yang walaupun keturunan Indonesia tetapi tidak mengetahui banyak tentang Indonesia karena dari kecil dia sudah terdidik sebagai orang Perancis. Kata pak Michel, Ibu Sukinem punya saudara/i bernama Sukinah, Sukini dan Sukanto. Saya hanya tertawa dan menjawab bahwa nama itu benar-benar sangat kental Jawanya. Setelah baca-baca artikel tentang Kaledonia Baru, ternyata memang banyak warganya yang berasal dari keturunan pendatang Indonesia terutama dari Jawa, yang datang sebagai pekerja ketika pertambangan Timah sedang booming di sana.

Pak Michel dan Ibu Sukinem

Selanjutnya penyelenggara tur membawa kami ke lokasi suku pegunungan dan air terjun yang ada di dekatnya. Menurut saya sih, tidak terlalu bagus. Kami mendaki bukit yang lumayan curam hanya untuk melihat beberapa rumah panggung yang sedikit penghuninya. Air terjunnya juga tidak se-wah harapan saya. Hanya berupa sungai dengan sedikit curam saja.


Kami mengakhiri tur tersebut dengan naik perahu bambu menyusuri sungai dan melihat beberapa desa di tepi sungai dan peternakan Gajah.

Keesokan harinya, saya akan terbang kembali ke Bangkok pukul 2 siang. Jadi, paginya saya masih ada kesempatan mengunjungi Wat Doi Suthep. Wat dengan chedi berlapis emas yang dibangun di atas bukit di luar kota Chiang Mai, sekitar 17 KM dari pusat kota. Saya menuju ke sana dengan menyewa sepeda motor yang dipesankan oleh Stephan. Harga sewa sepeda motor matic 200 Baht dan manual gear 150 Baht.

Untuk mencapai Doi Suthep tidak terlalu sulit karena tinggal mengikuti jalan utama menuju bukit yang terletak di Utara Barat laut dari arah pusat kota lama. Jalan menuju ke sana beraspal sangat bagus dengan jalan lebar namun berkelok-kelok melintasi bukit. Jalannya cocok untuk film Fast and Furious. Saya butuh 40 menit untuk tiba di Doi Suthep setelah memacu motor dengan kecepatan 40 Km/Jam saja. Jalan menuju ke sana kita juga akan melalui kebun binatang Chiang Mai dan beberapa lokasi air terjun.

Wat Dhoi Suthep terletak di atas bukit di mana kita bisa melihat kota Chiang Mai di bawahnya. Pemandanga ke arah kota Chiang Mai sendiri kurang begitu bersih karena polusi udara. Doi Suthep sendiri memang lebih mewah dibanding dengan wat lain yang ada di pusat kota Chiang Mai. Dengan chedinya yang berlapiskan emas. Saya melihat penganut Buddha Thailand berkeliling seakan bertawaf mengelilingi chedi tersebut sambil memegang persembahan berbentuk bunga dan melantunkan doa-doa.


Dari Lek Guesthouse saya naik songteaw hanya dengan 60 baht mau mengantarkan saya ke bandara yang letaknya memang tidak begitu jauh dari pusat kota. Hanya sekitar 15 menit. Penerbangan Chiang Mai ke Don Mueang Bangkok waktu tempuhnya hanya satu jam.

Sempat berfoto bersama Stephan pemilik Lek Guesthouse sebelum pamitan.
Penampakan Lek Guesthouse



Wassalam,
Takbir