Showing posts with label Rekomendasi Buku. Show all posts
Showing posts with label Rekomendasi Buku. Show all posts

Sunday, May 26, 2013

Titik Nol – Makna Sebuah Perjalanan


Titik Nol – Makna Sebuah Perjalanan
Penulis: Agustinus Wibowo
(ISBN: 978-979-22-9271-8)


Aku menjuluki Agustinus ‘Si ceroboh yang selalu selamat’. Sepertinya di dahimu tertera besar-besar tulisan 3R –rob me, rape me, rescue me- rampok aku, perkosa aku, tolong aku. (Lam Li, petualang wanita asal Malaysia, sahabat Agustinus)

Dalam perjalanannya bertahun-tahun melintasi Negara, dia pernah dirampok, atau barang-barang berharganya dicuri oleh orang-orang yang baru dikenal atau tidak dicurigainya, dia sudah mengalami pelecehan seksual lebih sering daripada yang dialami oleh petualang perempuan; dia pernah berada dalam situasi-situasi berbahaya dan mengundang maut. Namun dia selalu berhasil lolos dan tak pernah kehilangan kepercayaannya kepada manusia, dan “kelemahannya” karena dengan lugu serta mudah percaya pada orang -sahabat atau orang tak dikenal- entah bagaimana menjadi kekuatannya, yang justru menolongnya keluar dari masalah pelik. Dia selamat keluar dari zona perang, penyakit mematikan, dll, bukan karena dia pintar atau waspada sepanjang waktu, tapi karena dia bisa menjalin ikatan dengan penduduk setempat di tempat-tempat yang dikunjunginya, dan sering kali, dia diberkahi kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal dan niat baik.

Melalui tulisannya, Agustinus tidak hanya berhasil mengingatkan dirinya pada kenyataan dalam perjalanannya sendiri, tapi ia juga membantu para pembaca merasa ikut terhubung dengan orang-orang  di negeri-negeri nun jauh di sana yang dalam kenyataannya tak penah mereka temui.

Buku ini menuturkan kisah Agustinus memulai petualangan yang dicita-citakannya, melakukan perjalanan darat dari Beijing hingga ke Cape Town, Afrika Selatan. Sebuah Grand Journey.  Perjalanan dimulai dengan kereta api kelas ekonomi dari Beijing menuju Urumqi, ibukota provinsi Xinjiang. Dilanjutkan menuju Kashgar, menembus Tibet yang dijaga ketat oleh polisi dan tentara Cina. Saya bisa merasakan sedikit kekecewaan Agustinus ketika mendapati Tibet yang sudah terkomersialkan. Kota Tibet berubah menyerupai kota-kota Cina lainnya. Menembus Nepal, merasakan ‘Surga Himalaya’ versi obral. Berleyeh-leyeh di Kathmandu hingga kehilangan dompet di tengah keramaian. Bagaimana dia melaporkannya ke polisi dan hanya menerima janji investigasi yang tidak jelas.

Agustinus memasuki India, negeri yang penuh kejutan, penuh tipu-tipu. Kejutan yang ditawarkan India itu laksana gempa. Begitu banyak formula kata orang tentang perjalanan di India. Ada yang bilang, datang ke India kita dipastikan akan mengalami horror 3S: Stolen, Sickness, Sex. Ada yang bilang India itu singkatan I Never Do it Again – sekali saja sudah bikin kapok. Ada yang bilang, India itu hanya memberi dua opsi: benci total atau cinta total, tak ada yang tengah-tengah. Ada pula yang bilang, setelah perjalanan di India kita jadi tipe manusia dengan dua kemungkinan: orang sentimental berhati lemah yang trauma disuguhi kemelaratan bertubi-tubi, atau sebaliknya, jadi orang yang kebal rasa, ketika pengemis dan anak jalanan jadi makhluk tembus pandang tak kasat mata.

Paradoks India itu adalah fantasi ala Bollywood di tengah kesemrawutan dan bau pesing. Pengalaman yang paling menyeramkan adalah ketika Agustinus menderita hepatitis di India. Pengalaman yang menjadi mimpi buruk setiap solo traveler.

Menembus Kashmir yang terkena gempa untuk menjadi sukarelawan. Memasuki Tharpatar yang merupakan wilayah gurun terpencil di Pakistan. Mendapati kericuhan di Lahore sebagai reaksi protes terhadap kartunis Denmark yang menggambarkan sang Nabi. Setiap kali dia berkenalan dengan warga Pakistan, dia akan berhadapan dengan pertanyaan yang sama, apa agama kamu? Menjadikan Agustinus banyak berpikir dan memaknai agama.

“Agama itu asalnya harus dari hati, dan kembali lagi ke hati. Dalam hati, kau temukan Tuhan. Kita berangkat dari hati, mengembara mencari-cari sampai akhirnya kita berpulang lagi ke hati. Hati adalah inti dari ajaran agama”

Perjalanan Agustinus mencapai Afghanistan. Negara yang hampir tiap hari diwarnai dengan ledakan bom. Justru di Negara yang paling tidak aman inilah dia banyak menghabiskan waktunya, mendapatkan pekerjaan sebagai fotografer untuk mengumpulkan  dana dan kemudian melanjutkan perjalanan berikutnya hingga ke Afrika Selatan. Sampai akhirnya Agustinus menerima kabar Ibunya yang menderita kanker. Panggilan hatinya untuk menjadi anak yang berbakti membuatnya harus kembali ke Tanah Air, merawat Ibu dan dengan menguras tabungannya sendiri mengantarkan Ibu untuk mendapatkan pengobatan yang terbaik di negeri leluhurnya, Tiongkok.

Agustinus menuliskan cerita buku ini dengan mengibaratkan kisah seribu satu malam, Shahrazad si putri yang cantik bercerita satu cerita setiap malam untuk memperpanjang hidupnya dari ancaman hukuman mati sang raja. Agustinus terus bercerita tentang pengalaman perjalanannya kepada sang Ibu, dengan harapan bisa memperpanjang pula hidup sang Ibu yang telah menderita akibat kanker dan menjelang dijemput ajal.

Perjalananku bukan perjalananmu, tapi perjalananku adalah perjalananmu. Masing-masing kita punya safarnama sendiri-sendiri, tapi hakikat safarnama itu adalah sama. Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali. Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang.


Wassalam,
Takbir

Sunday, May 19, 2013

The Hidden Face of Iran

The Hidden Face of Iran
Penulis: Terence Ward
(ISBN: 978-979-15037-6-1)
Terence Ward atau dipanggil Terry adalah warga Amerika Serikat yang orang tuanya bekerja di perusahaan minyak Iran sebelum Revolusi Iran 1979. Selama di Iran, keluarga Ward dilayani oleh pembantu rumah tangga mereka yang bernama Hassan. Hassan ini yang mengajari Terry dan ketiga saudara laki-lakinya tentang kebudayaan Iran. Keluarga Ward meninggalkan Iran di awal tahun 70-an. Hingga tahun 1998, ketika Ibu si Terry ini begitu ingin mengetahui nasib dan keberadaan Hassan, karena selama hampir 30 tahun meninggalkan Iran, Iran telah mengalami revolusi dan juga perang Iran-Irak dari 1980-1988. Apa yang terjadi dengan Hassan? berbekal foto tua tahun 1960-an dan ingatan Ibu si Terry tentang nama desa asal Hassan, Tudeshk, akhirnya mereka keluarga Ward (sepasang orang tua dan 4 anak lelaki) memutuskan mencari Hassan ke Iran. Negara dengan berjuta lelaki bernama Hassan. 

Meskipun tugas resminya adalah menangani urusan rumah tangga, bagi kami, peran Hassan jauh lebih besar.Bagaikan Virgil, dia memandu kami melewati labirin remang-remang berbagai pasar dan dengan penuh kasih sayang mengajarkan kepada kami kebiasaan-kebiasaan yang diperlukan untuk dapat lebih menyatu dengan kebudayaannya. Dia menjadi bagian yang penting dalam keluarga kami, memuaskan daya khayal kami, memperluas dunia kami. Tubuhnya yang kekar dan kuat, juga kumisnya yang hitam dan tebal menawarkan kebijakan sederhana yang berpadu dengan keramahtamahan. Sebagai ganti televisi, dia menceritakan kepada kami keantikan sikap "Mullah Nasruddin" dalam menghadapi dilema kehidupan, dan caranya memecahkan masalah dengan bijaksana namun jenaka. Di dalam matanya selalu terdapat kilatan cahaya. 

Begitulah Terry sedikit menggambarkan tentang Hassan dalam pendahuluan bukunya. Keluarga Ward tidak hanya menyambut baik Hassan dan Istrinya Fatimeh, tetapi juga Khorsid, Ibu Fatimeh yang bertugas merawat kedua anaknya, Ali dan Mahdi. Lalu ada pula saudara lelaki Hassan, Mohammad yang dikeluarkan dari angkatan bersenjata dan menganggur karena menggulingkan sebuah jip. Jadi, Mohammad pun menjadi supir keluarga Ward.

Setelah sepuluh tahun tinggal di Iran, perpisahan pun datang juga. Seperti diceritakan Terry, kami berdiri dengan muram di depan gerbang untuk mengucapkan selamat tinggal. Anehnya, saat itu adalah tanggal 4 Juli. Hassan dan Fatimeh memeluk kami sementara dengan khidmat, kami mengucapkan janji untuk tetap berhubungan dengan mereka. Untuk terakhir kalinya, Hassan menarik telingaku dan memberitahuku supaya "menghormati ibu dan ayah." Tenggorokanku tercekat, dan aku pun mengangguk untuk menyatakan janjiku. Hassan menyambutnya dengan kedipan puas. Fatimeh yang masih belia menggapai dan menggenggam tangan ibuku. Kedua wanita tersebut berpelukan erat. Waktu seolah berhenti selama perpisahan yang berjalan panjang itu. Lalu, kami pun mendengar jeritan klakson. Ketika taksi menjauh, pandangan terakhir kami melalui kaca jendela adalah Hassan, Fatimeh, bayi Maryam, si kecil Ali dan Mahdi, nenek Khorsid, dan Mohammad, bergerombol, melambaikan tangan dengan murung di depan pagar bercat merah.

Buku ini tidak sekedar menuliskan cerita perjalanan Keluarga Ward mencari Hassan, tetapi Terry juga banyak membahas tentang sejarah bangsa Persia, sejak raja pertama mereka Cyrus the Great atau yang orang Iran sebut Khorosh.

Pertemuan yang digambarkan Terry berlangsung dengan meriah dan gembira. Sementara semua orang berbicara berbarengan, air mata mengalir ke pipi Hassan. " Rasanya benar-benar bahagia bertemu dengan kalian! Sungguh, saya tak pernah lupa!" Dalamnya kerinduan Hassan juga begitu terasa ketika Hassan menatap semua keluarga Ward sambil berucap, "Hati saya sungguh merindukan kalian."

"Kalian tahu, pada hari kalian meninggalkan Teheran, kami menangis. Selama waktu yang kami habiskan di rumah kalian, ibu dan ayah kalian tak sekalipun memarahi kami. Mereka tak pernah menunjukkan bahwa mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kami. Mereka selalu bersikap sopan kepada semua orang. Mereka menganggap kami sebagai keluarga. Dan aku tak akan pernah melupakannya." 

"Pada malam hari aku berdoa untuk guruku, Ustad Ardabil, yang mengajarkanku membaca Al Quran ketika aku masih kanak-kanak di Tudeshk. Aku juga mengingat seorang wanita yang menolongku ketika aku berusia tujuh tahun. Aku pernah bekerja sebagai penggembala di Tajrish. Pada suatu hari, wanita ini melihatku lewat saat menggembalakan domba. Tubuhku sangat kotor dan bajuku compang-camping. Dia mengundangku masuk ke rumahnya dan menyuruhku mandi di kolam. Dia mengeramasi rambutku dan mencuci pakaianku. Aku tidak pernah tahu siapa dia sebenarnya, siapa namanya. Dan aku tak pernah melihatnya lagi. Untuk apa dia melakukan hal seperti itu? Mungkin sekarang dia sudah meninggal, namun aku selalu mendoakannya."

"Aku bukan siapa-siapa, hanya seorang pria sederhana. Aku bertanya kepada Tuhan, mengapa Dia melakukan hal ini padaku? Kalian lihat, aku tahu untuk apa kalian datang." Hassan terdiam dan menengadah menatap bulan. "Bahkan orang yang bersaudara pun tidak akan melakukan apa yang kalian lakukan. Aku menceritakan hal ini kepada salah seorang temanku, dan dia merasa terharu. Aku mengatakan kepadanya bahwa tiga puluh tahun yang lalu, aku bekerja untuk ibu dan ayahmu, dan mereka pergi ke tempat yang jauh. Lalu, mereka kembali, melewati lautan dan melintasi gurun. Aku mengatakan padanya bahwa cuaca sangat panas, gurun sangat panas, dan mereka tetap datang. Dia berkata 'oh aku tak bisa mempercayainya'. "

Hassan mencabut sebilah rumput, mencari kata yang tepat dalam bahasa Inggris untuk menjelaskan perasaannya.

"Mojezeh, Fatimeh mengatakannya kepadaku kemarin." 
"Apa maksudnya?" Aku bertanya
"Sama seperti ketika seorang pria meninggal dan Isa menghidupkannya kembali, inilah mojezeh"
"Bangkit dari kematian?"
"Ya."
Aku merasakan bulu kudukku meremang. Hassan menatap mata kami. "Dalem barayeh shoma tang meshawad, aku benar-benar merindukan kalian".

Kisah perjalanan menemukan kembali Hassan ini juga membuka sisi lain tentang citra Iran yang radikal, terisolasi, tidak modern, tidak ditemukan oleh Terry dan keluarganya. Buku ini juga menjadi semacam pembelaan dan remedy bagi Iran, “kampung halaman” Terry, kepada dunia internasional, terutama negaranya. Untuk mendukung semua ini, Terry juga mengisahkan berbagai kunjungannya ke situs-situs yang dianggap tabu untuk didatangi oleh orang asing, termasuk mengunjungi makam Ayatollah Khomeini. Semua ini merupakan upaya Terry untuk menunjukkan wajah yang sebenarnya dari Iran, yang jauh dari semua yang dicitrakan oleh negaranya, Amerika Serikat.

Dalam Epilog, Terry menutup karyanya dengan indah. Ia mengutip puisi karya pujangga Persia, Sa’adi: “ … Siapa pun yang tak mampu merasakan kepedihan orang lain, tak pantas menyebut dirinya manusia.” Kutipan ini diterakan di atas portal utama, di atas permukaan batu pualam putih, di gedung Mahkamah Internasional, The Hague, Belanda.


Wassalam,
Takbir

Stones Into Schools

Stones Into Schools
Penulis: Greg Mortenson
(ISBN: 978-602-8767-41-5)
Buku ini merupakan sekuel dari buku memoar Greg sebelumnya yaitu, Three Cups of Tea. Buku pertama yang berisi kisah bagaimana Greg tersesat dalam usaha mencapai puncak Karakoram 2 (K2) hingga tiba dengan tertatih dan tubuh lemah di desa yang tidak pernah didengarnya, Desa Korphe. Dia diberi tempat beristirahat dan dijamu dengan baik oleh Haji Ali dan keluarganya hingga dia pulih. Greg kemudian melihat kondisi anak-anak Desa Korphe yang belajar di alam terbuka tanpa guru, yang membuat dia merasa menemukan cara untuk membalas utang budi kebaikan Haji Ali.

Setelah berhasil mendirikan sekolah di Desa Korphe sesuai janjinya, ternyata Greg tidak bisa berhenti begitu saja, karena banyak pemuka dan pemimpin dari wilayah di sekitar Korphe yang menuntut dan berharap Greg juga mendirikan sekolah buat anak-anak mereka. Jumlah sekolah terus bertambah dari wilayah utara Pakistan hingga akhirnya merambah wilayah Afghanistan.

Tradisi dan tirani telah membelenggu para perempuan di daerah-daerah terpencil Pakistan dan Afghanistan untuk mengecap pendidikan tinggi. Mereka tidak berdaya menanti nasib mengubah takdir mereka. Namun, semua berubah sejak Greg Mortenson datang. Dengan menggalang dana ratusan ribu dollar dari para dermawan di seluruh dunia, dia membangun sekolah-sekolah khusus perempuan di kaki Himalaya tersebut. Dia melakukannya demi sebuah janji dan keyakinan dalam dirinya bahwa perempuan yang berpendidikan akan mengubah masyarakat secara menyeluruh.

Pepatah Afrika yang sering diucapkan Greg berulang-ulang, ibarat sebuah mantra, " Jika kita mengajar anak lelaki, kita mendidik seorang individual; tetapi jika kita mengajar anak perempuan, kita mendidik satu komunitas."

Buku ini mengisahkan bagaimana upaya Greg dan timnya dari Central Asia Institute (CAI) membangun sekolah yang selalu diawali dengan bagaimana dia menjalin hubungan dengan para penguasa lokal dan bahkan para mullah untuk mengijinkan dia mendirikan sekolah khusus anak perempuan. Sebuah usaha yang tidak mudah dan butuh waktu lama karena tradisi lokal yang menganggap bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Sebagaimana disampaikan oleh semua sesepuh desa yang bijaksana, segala yang benar-benar penting layak dijalani dengan sangat, sangat lambat.

Kemudian Greg menetapkan ukuran kesuksesan bukan dari berapa jumlah dana yang berhasil dia kumpulkan atau berapa jumlah sekolah yang berhasil CAI dirikan, tetapi sangat terkait dengan anak-anak perempuan  yang kehidupannya diubah melalui pendidikan. Buku ini kemudian banyak menceritakan kisah-kisah perjuangan anak-anak perempuan tersebut mengejar cita-cita mereka. Seperti yang dituliskan Greg dalam pendahuluan bukunya.

Ambil contoh kasus Jahan Ali, yang kakeknya, Haji Ali, merupakan nurmadhar (kepala desa) Korphe dan mentorku yang paling penting. Pada hari pertama aku bertemu Jahan, bulan september 1993, dia memintaku berjanji bahwa jika dia lulus, kami akan mengirimkannya ke program kebidanan - surat utang yang dengan penuh kemenangan dia tagih sembilan tahun kemudian. Setelah merampungkan pendidikan tinggi di Korphe, dia melanjutkan sekolah di kajian lanjut administrasi kebijakan publik. Sementara itu, di kampung halamannya, ayah Jahan berusaha menikahkan Jahan - saat ini perempuan muda ini berusia dua puluh tiga tahun, dan harga maskawinnya, berkat pendidikannya, sekarang telah melonjak menjadi lima puluh biri-biri jantan dewasa. Akan tetapi, Jahan menyatakan bahwa pertama-tama dia berniat menjadi pemimpin komunitas dan anggota parlemen Pakistan. "Aku tidak akan menikah sampai cita-citaku tercapai," demikian dia memberitahuku baru-baru ini. "Insya Allah, suatu hari nanti aku akan menjadi wanita super."

Kemudian ada pula kisah Shakila Khan, lulusan kelas pertama sekolah kami di Hushe, sebuah desa di lembah sebelah selatan Korphe yang terletak di bawah bayang-bayang Masherbrum, salah satu pegunungan tertinggi di muka bumi ini. Berada di tahun ketiganya di Rumah Sakit Fatima Memorial di Lahore dan mendapat nilai rata-rata sembilan puluh, Shakila rencananya akan menjadi dokter perempuan berpendidikan lokal pertama yang berasal dari warga Baltistan yang berpenduduk 300.000 orang. Dia saat ini berusia dua puluh dua tahun dan berencana kembali ke Lembah Hushe untuk bekerja di tengah masyarakatnya. "Dua target utama saya," ujarnya, "adalah saya tak ingin perempuan mati saat melahirkan atau bayi-bayi mati pada tahun pertama mereka."

Terakhir, pertimbangkan Aziza Hussain, yang tumbuh besar di Lembah Hunza, tak jauh dari titik persimpangan Jalan Raya Karhuram ke Cina. Setelah lulus dari SMA Putri Pemerintah Federal Gulmit pada 1997 dan merampungkan program kebidanan dengan beasiswa CAI, Aziza juga bersikeras kembali ke kampung halaman guna menerapkan keterampilan yang dia peroleh dalam komunitasnya sendiri - suatu wilayah tempat dua puluh perempuan mati setiap tahun saat melahirkan anak. Sejak Aziza kembali pada tahun 2000, tak satu pun perempuan di area itu meninggal saat melahirkan.



Wassalam,
Takbir

Friday, May 10, 2013

Three Cups Of Tea


Three Cups Of Tea
Penulis: Greg Mortenson dan David Oliver Relin
(ISBN: 978-979-114-185-7)

... (Di Pakistan dan Afghanistan), kami minum tiga cangkir teh saat membicarakan bisnis; pada cangkir pertama engkau masih orang asing; cangkir kedua, engkau teman; dan pada cangkir ketiga, engkau bergabung dengan keluarga kami. Sebuah keluarga yang siap untuk berbuat apapun-bahkan untuk mati.”
Haji Ali, Kepala Desa Korphe, Pegunungan Karakoram, Pakistan.

Buku ini merupakan catatan atau memoar seorang pendaki gunung asal Amerika, Greg Mortenson, yang berhasrat menaklukkan puncak gunung tertinggi kedua di dunia yang berada di Himalaya, yaitu Karakoram 2 atau lebih dikenal dengan singkatannya K2. Hasrat ini terutama diinspirasi oleh semangat hidup adiknya, Christa, yang sejak kecil mengidap meningitis (radang selaput otak). Greg sangat menyayangi adiknya ini, dan selalu berusaha menyenangkannya. Hingga akhirnya Christa meninggal dunia pada usia 23 tahun.

Setelah kematian Christa, Greg mengambil kalung batu ambar, dari sedikit peninggalan sang adik. Benda itu masih mengeluarkan aroma asap api unggun yang mereka buat pada saat terakhir kali Christa mengunjungi Greg di California. Greg membawa kalung itu ke Pakistan, terbungkus dalam kata, bendera doa Tibet, serta sebuah rencana untuk menghormati kenangan tentang Christa. Greg adalah seorang pendaki, dan dia memilih untuk melakukan penghormatan paling agung yang diketahuinya. Dia akan mendaki K2, puncak yang dianggap paling sulit didaki di muka bumi oleh sebagian besar pendaki gunung, dan meninggalkan kalung sang adik di sana, di ketinggian 14.133 meter.

Bukan hanya gagal mencapai puncak, Greg juga tersesat dan mengalami keletihan kronis. Setelah berjalan kaki tertatih-tatih turun gunung selama tujuh hari, Greg tiba di Korphe, desa yang bahkan tak pernah dilihatnya di peta. Di desa itu, dia disambut oleh Haji Ali, Nurmadhar atau kepala desa. Dia diberi tempat berteduh dan dirawat hingga benar-benar pulih. Greg baru sadar dikemudian hari bahwa, teh manis yang selalu disuguhkan kepadanya adalah barang mewah buat desa terpencil itu yang sulit mendapatkan gula. Selimut merah tua indah membuat Greg merasa begitu terhormat karena dia melihat selimut itu jauh lebih bagus dari yang dipakai oleh tuan rumah sendiri, ternyata dulunya adalah benda terbagus dari hantaran maskawin menantu Haji Ali. Greg tak bisa membayangkan bahwa dia akan sanggup melunasi utang yang dirasakannya terhadap para tuan rumahnya di Korphe. Hingga ketika dia berjalan-jalan di sekitar desa dan melihat anak-anak yang duduk berlutut di atas tanah yang dingin membeku, belajar di ruang terbuka tanpa seorang guru, yang ternyata hanya datang dalam 3 hari selama seminggu, dan membiarkan anak-anak tersebut mengerjakan tugas pelajaran di hari berikutnya.

Berdiri di samping Haji Ali, di atas tubir dengan sawang membuka luas ke arah lembah, dengan pandangan sejernih kristal pada keperkasaan pegunungan yang menyebabkannya menyeberangi separuh bola dunia guna menguji diri, mendaki K2 untuk meletakkan serenceng kalung di puncaknya tiba-tiba terasa amat remeh. Ada hal lain yang jauh lebih berarti yang bisa dilakukannya untuk mengenang adiknya.

Diletakkannya kedua tangannya di atas pundak Haji Ali, seperti yang kerap dilakukan lelaki tua itu kepadanya semenjak pertama kali mereka berbagi secangkir teh. “Aku akan membangun sebuah sekolah untuk kalian,” katanya, belum menyadari bahwa dengan kalimat tersebut, jalan hidupnya telah berbelok menyusuri jalur lain, sebuah jalur yang jauh lebih berkelok, lebih sulit, daripada belokan keliru yang telah diambilnya saat meninggalkan puncak K2.

Buku ini berkisah bagaimana Greg, yang hanya seorang petugas medis freelance, mengumpulkan dana dan kembali ke Korphe untuk membangun sekolah yang dijanjikannya. Dari satu sekolah yang kemudian bertambah menjadi sekitar lima puluh sekolah dalam satu dekade. Di buku ini juga banyak membahas tentang budaya masyarakat Pakistan terutama yang hidup di sekitar pegunungan Himalaya.

Puncak K2

Wassalam,
Takbir

Tuesday, June 7, 2011

Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah


Garis Batas
Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah
Penulis: Agustinus Wibowo
(ISBN: 978-979-22-6884-3)

Saya punya angan-angan untuk melakukan perjalanan ke Asia Tengah, tepatnya ke negara-negara pecahan Uni Soviet yang berakhiran Stan. Mengatur itinerary dan menghitung budgetnya. Mencari informasi bagaimana mendapatkan visa dan sebagainya. Dan ternyata tidak mudah karena setiap negara tersebut mempunyai aturan yang berbeda terutama soal visa turis. Belum lagi menyediakan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanannya.

Hingga saya mengetahui terbitnya buku ini, yang ditulis oleh Agustinus Wibowo. Senang sekali bisa membaca buku perjalanan tentang negara yang ingin saya datangi dan ditulis pula oleh penulis yang gaya menulisnya saya sukai seperti Agustinus ini. Saya langsung suka gaya menulisnya di buku pertamanya, Selimut Debu, tentang petualangannya di Afghanistan.

Negara-negara Asia Tengah yang dimaksud di sini adalah, Tajikistan, Kirghizstan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan. Akhiran -stan berasal dari bahasa persia yang berarti tempat, rumah atau negara. Jadi Tajikistan misalnya, berarti tempatnya atau rumahnya atau negaranya orang Tajik. Wilayah Asia Tengah pernah dikuasai oleh Kekaisaran Rusia. Rusifikasi atau usaha penyebaran budaya, kebiasaan dan bahasa Rusia di wilayah ini juga gencar dilakukan. Hingga saat ini pun bahasa Rusia menjadi salah satu bahasa pengantar di wilayah ini, selain bahasa lokal masing-masing. Dahulu kala, ini adalah tanah legendaris bernama Turkistan, negerinya bangsa Turki, umat muslim dengan peninggalan kota-kota Jalur Sutra. Wilayah Asia Tengah yang luas menyulitkan kekaisaran Rusia melakukan kontrol penuh. Apalagi wilayah ini dihuni oleh mayoritas Muslim yang berideologi berbeda dengan Kekaisaran Rusia yang menganut Kristen Orthodoks. Kekaisaran Rusia kemudian melakukan politik memecah belah dengan sebelumnya melakukan penelitian sosial budaya di wilayah tersebut. Usaha ini untuk mencegah mereka bersatu melawan Rusia.

Para ahli etnografi dikirim ke wilayah ini, dengan tujuan menemukan perbedaan untuk memecah belah masyarakatnya. Kemudian lahirlah definisi bangsa-bangsa baru. Ada kaum nomad Kirgiz dan Kazakh. Ada pengembara padang pasir Turkmen. Bangsa menetap yang berbahasa Turki didefinisikan sebagai Uzbek, yang berbicara bahasa Persia sebagai Tajik. Nama-nama bangsa itu memang sudah ada sebelumnya, tetapi kini garis batas pembeda bangsa-bangsa resmi dikukuhkan. Manusia dan wilayah dikotak-kotakkan berdasarkan etnis dan bahasa.

Setelah membaca buku Garis Batas ini, sedikit mampu meredam keinginan saya untuk melakukan perjalanan ke sana. Karena banyak hal yang ingin saya ketahui sudah diceritakan dengan sangat baik oleh Agustinus yang seakan berbaur dengan penduduk setempat. Dalam buku ini dia menceritakan bagaimana dia melintasi perbatasan menuju Tajikistan dari Afghanistan. Menyaksikan begitu bedanya kedua negara ini. Negara yang satu sangat ketat melaksanakan syariat Islam sedangkan yang lain begitu sekuler dengan peninggalan budaya Rusia yang sangat kental. Tajikistan yang merupakan negeri stan yang paling melarat diantara yang lain seketika terlihat begitu maju dibandingkan Afghanistan. Menyaksikan kemajuan Kazakhstan yang pesat sekaligus merasakan tingginya biaya hidup dibanding negara-negara stan di sekitarnya. Dikeroyok dan dipalak polisi di Kirgizstan. Digrebek polisi di Ferghana, Uzbekistan, karena secara tak sengaja menginap di rumah prostitusi. Memasuki negeri Utopia, Turkmenistan, di mana upah pekerja yang rendah namun biaya hidup juga sangat murah bahkan bisa dibilang gratis. Berkat seorang pemimpin agung yang sosoknya dielu-elukan dan ada di setiap sudut Turkmenistan. Semua cerita dirangkai dengan sangat bagus dan menarik di buku ini.  



Wassalam,
Takbir

Wednesday, May 19, 2010

Selimut Debu

Selimut Debu
Penulis: Agustinus Wibowo
(ISBN: 978-979-22-5285-9)
Saya berpikir bahwa ketertarikan Agustinus pada Afghanistan justru dipicu oleh berita siaran berita televisi pada Maret 2001 yang mengabarkan Taliban akan segera menghancurkan patung Buddha tertinggi di dunia yang terletak di jantung Afghanistan. Seperti yang dia tuliskan dalam prolog buku ini.


Afghanistan, sebuah nama yang terus bergaung di sudut benak. Gunung gersang, padang kering, langit biru kelam. Ada jutaan perempuan dikurung dalam rumah dan kerudung burqa, pria dan anak-anak yang menggantungkan nasib pada hidup yang diiringi gumpalan debu, desing peluru, dan semerbak mesiu. Ada pula yang terengah melakukan perjalanan panjang di atas truk, gerobak, keledai, atau tanker bobrok melintasi perbatasan negeri.


Patung Buddha di negeri Afghan? Aneh juga kedengarannya. Lalu, siapa pula Taliban? Saya memandang lekat-lekat televisi yang menyiarkan orang-orang berjenggot lebat, berjubah hitam dan berserban kain hitam panjang menjuntai hingga ke pinggang. Mereka berbicara penuh semangat. Tentang perjuangan, tentang agama, tentang kelaparan dan dunia yang lebih mementingkan patung daripada penderitaan manusia Afghan. Ada yang menghujat, ada yang memuja. Taliban adalah fenomena pergantian milenium. Di kala kita merayakan dengan pesta kembang api dan perhelatan akbar, nun jauh di sana, orang-orang bereserban itu meneriakkan penegakan sebuah emirat di atas puing reruntuhan perang.

Di awal perjalanan ke Afghanistan, sepertinya Agustinus akan melaluinya seperti turis-turis nekat lainnya yang 'sekedar ingin melihat' Afghanistan. Berhasil memasuki Afghanistan sudah seperti pencapaian istimewa. Menyaksikan Afghanistan seperti apa yang ada di bayangannya sebelum berangkat. Dan dia berhasil berdiri di hadapan sisa-sisa puing patung Buddha raksasa yang dihancurkan Taliban di Bamiyan. Hingga dia bertemu seorang pria pelancong dari Jepang yang dia gambarkan dengan wajahnya yang serius, tak ada senyum di bibirnya. Jenggot tipis yang menghiasi wajah lancipnya membuat ia mirip filsuf konfusius. Matanya segaris, suram. Kulitnya putih, namun tak terawat, tercoreng debu di sana-sini. Pria Jepang ini berbalut shalwar qamiz kumal. ditambah selimut yang melintang di pundaknya. Dia lah yang mengenalkan dan menunjukkan Agustinus jalan menuju Wakhan. "Wakhan? Tempat apa itu?"

"Itu adalah surga yang tersembunyi. Di peta ini bisa kau lihat. Wakhan itu di sini," katanya seraya menunjuk tanah sempit menjulur panjang di barat laut peta Afghanistan, "diapit Tajikistan, Cina dan Pakistan. Begitu terpencil dan terlupakan. Sebuah surga di ujung dunia, terkunci waktu."

"Untuk mencapainya," lanjut si pria Jepang, "kau harus melintasi Kunduz, Taloqan, sampai Badakhshan. Paling tidak butuh empat hari perjalanan dari Kabul."

Lelaki Jepang ini sudah berkelana ke pelbagai penjuru Afghanistan, dari utara, tengah, hingga ke selatan. Semuanya dengan mencegat kendaraan di jalan. Tak pernah dia tinggal di penginapan, selalu di kedai teh, yang konon selalu menyediakan tempat bermalam gratis bagi siapa pun yang makan di sana. Meskipun saya tak bisa membayangkan tidur di tempat seperti ini. Karpetnya jorok. Lalatnya ratusan, berdenging-denging ribut bak orkestra sumbang. Belum lagi kalau harus dipaksa makan di sini hanya demi menginap gratis. Sudah berhari-hari saya kena diare, gara-gara menyantap daging kebab Afghan. Daging kambing yang seharusnya merah segar, semua tampak hitam dikerubungi lalat. Selain debu, makanan itulah yang menjadi santapan sehari-hari di negeri ini.

Pria Jepang itu masih menunjukkan tempat-tempat mahaindah di peta robeknya. Ada Salang Pass yang menurutnya adalah jalur gunung terindah yang pernah ia lintasi, di samping Karakoram di Pakistan dan Leh di Kashmir. Saya merasa ikut bertualang bersamanya dalam angan, mengembara melintasi kota-kota kuno yang ditunjukkannya di atas peta.

Berkeliling Afghanistan dengan menumpang truk, menginap gratis di kedai teh kumuh, berkawan dengan dengungan lalat gemuk, mengunjungi dusun terpencil di balik gunung, mencari Firdaus yang tersembunyi, semuanya itu tiba-tiba menjadi mimpi saya di malam-malam berikutnya. Hari itu, dalam sebuah kedai teh Bamiyan yang penuh lalat dan debu, saya terinisiasi.

Khaak, dalam bahasa Dari dan Pashto, berarti debu. Debu yang menyelimuti seluruh penjuru Afghanistan, menjadi makanan sepanjang hari, mengalir bersama embusan napas. Tak ada yang bisa lari dari khaak. Kerudung pria Afghan tidak menghalangi khaak. Khaak terbang menembus kisi-kisi burqa yang membungkus kaum perempuan. Bulir-bulir debu mengalir bersama angin, menyelinap melalui setiap rongga udara, langsung menembus ke sanubari.

Tak hanya debu, khaak juga berarti tanah kelahiran, tumpah darah, segenap hidup dan mati. Debu yang beterbangan dari utara hingga ke selatan, dari timur hingga ke barat, menyelubungi negeri Afghan, menyuapi manusianya, memberi embusan hidup sekaligus mencabutnya. Ia juga berarti watan, negeri leluhur, akar sejarah dari generasi ke generasi. Ia adalah kebanggaan sebuah bangsa yang angkuh, gagah, tak terkalahkan, yang menguak dari kepulan kegersangan. Kita menyebutnya "tanah air", Afghanistan menyebutnya kepulan debu. Khaak adalah liang lahat. Kepada khaak, bulir-bulir debu, semua perjuangan Afghan ini akan kembali.  Khaak adalah Afghanistan

Buku Selimut Debu ini membawa kita merasa ikut bertualang dalam angan bersama Agustinus, mengembara melintasi kota-kota kuno, tempat terpencil dengan keberagaman kehidupan warga Afghanistan. Perasaan yang sama yang mungkin dirasakan Agustinus ketika mendengar pria Jepang itu   berkisah tentang tempat-tempat yang dikunjunginya di Afghanistan.



Wassalam,
Takbir

Sunday, July 13, 2008

Laskar Pelangi



Judul: Laskar Pelangi
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan ke-6, Februari 2007
Bab 2
Antediluvium
IBU Muslimah yang beberapa menit lalu sembab, gelisah, dan coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan posturnya yang jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna bunga crinum demikian pula bau bajunya, persis crinum yang mirip bau vanili. Sekarang dengan ceria beliau mengatur tempat duduk kami.
Bu Mus mendekati setiap orangtua murid di bangku panjang tadi, berdialog sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami. Semua telah masuk ke dalam kelas, telah mendapatkan teman sebangkunya masing-masing, kecuali aku dan anak laki-laki kecil kotor berambut keriting merah yang tak kukenal tadi. Ia tak bisa tenang. Anak ini berbau hangus seperti karet terbakar.
“Anak Pak Cik akan sebangku dengan Lintang,” kata Bu Mus pada ayahku.
Oh, itulah rupanya namanya, Lintang, sebuah nama yang aneh.
Mendengar keputusan itu Lintang meronta-ronta ingin segera masuk kelas. Ayahnya berusaha keras menenangkannya, tapi ia memberontak, menepis pegangan ayahnya, melonjak, dan menghambur ke dalam kelas mencari bangku kosongnya sendiri. Di bangku itu ia seumpama balita yang dinaikkan ke atas tank, girang tak alang kepalang, tak mau turun lagi. Ayahnya telah melepaskan belut yang licin itu, dan anaknya baru saja meloncati nasib, merebut pendidikan.
Bu Mus menghampiri ayah Lintang. Pria itu berpotongan seperti pohon cemara angin yang mati karena disambar petir: hitam, meranggas, kurus, dan kaku. Beliau adalah seorang nelayan, namun pembukaan wajahnya yang mirip orang Bushman adalah raut wajah yang lembut, baik hati, dan menyimpan harap. Beliau pasti termasuk dalam sebagian besar warga negara Indonesia yang menganggap bahwa pendidikan bukan hak asasi.
Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau bercerita pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawanan burung pelintang pulau mengunjungi pesisir. Burung-burung keramat itu hinggap sebentar di puncak pohon ketapang demi menebar pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir ini maka hasil laut tak pernah memadai. Apalagi ia hanya semacam petani penggarap, bukan karena ia tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu.
Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini beliau menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan duduk di samping pria kecil berambut ikal yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan, maka biarkanlah jalan kerikil batu merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau hangus yang kucium tadi ternyata adalah bau sandal cunghai, yakni sandal yang dibuat dari ban mobil, yang aus karena Lintang terlalu jauh mengayuh sepeda.
Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kalumpang, desa nun jauh di pinggir laut. Menuju ke sana harus melewati empat kawasan pohon nipah, tempat berawa-rawa yang dianggap seram di kampung kami. Selain itu di sana juga tak jarang buaya sebesar pangkal pohon sagu melintasi jalan. Kampung pesisir itu secara geografis dapat dikatakan sebagai wilayah paling timur di Sumatra, daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman Pulau Belitong. Bagi Lintang, kota kecamatan, tempat sekolah kami ini, adalah metropolitan yang harus ditempuh dengan sepeda sejak subuh. Ah! Anak sekecil itu....
Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan. Energi yang berlebihan di tubuhnya serta-merta menjalar padaku laksana tersengat listrik. Ia berbicara tak henti-henti penuh minat dengan dialek Belitong yang lucu, tipikal orang Belitong pelosok. Bola matanya bergerak-gerak cepat dan menyala-nyala. Ia seperti pilea, bunga meriam itu, yang jika butiran air jatuh di atas daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan, mekar, dan penuh daya hidup. Di dekatnya, aku merasa seperti ditantang mengambil ancang-ancang untuk sprint seratus meter. Sekencang apa engkau berlari? Begitulah makna tatapan matanya.
...........................
Sebaliknya, bagiku pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan sampai puluhan tahun mendatang karena pagi itu aku melihat Lintang dengan canggung menggenggam sebuah pensil besar yang belum diserut seperti memegang sebilah belati. Ayahnya pasti telah keliru membeli pensil, karena pensil itu memiliki warna yang berbeda di kedua ujungnya. Salah satu ujungnya berwarna merah dan ujung lainnya biru. Bukankah pensil semacam itu dipakai para tukang jahit untuk menggaris kain? Atau para tukang sol sepatu untuk membuat garis pola pada permukaan kulit? Sama sekali bukan untuk menulis.
Buku yang dibeli juga keliru. Buku bersampul biru tua bergaris tiga. Bukankah buku semacam itu baru akan kami pakai nanti saat kelas dua untuk pelajaran menulis rangkai indah? Hal yang tak akan pernah kulupakan adalah bahwa pagi itu aku menyaksikan seorang anak pesisir melarat –temanku sebangku- untuk pertama kalinya memegang pensil dan buku, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya, setiap apapun yang ditulisnya merupakan buah pikiran yang gilang gemilang, karena nanti ia-seorang anak miskin pesisir- akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin ini, sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur hidupku.

Bab 3
Inisiasi
TAK susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
...............................
Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang sudah tua tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?
Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian seperti umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya atau gambar seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan di sana adalah sebuah poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan. Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang pria tadi melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!
...................................
Pak harfan seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecoklatan yang kusam dan beruban. K.A pada nama depan pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A mengalir dalam garis laki-laki silsilah kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apapun demi motif syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan rumahnya.
Hari ini pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana panjang yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat pinggang plastik murahan bermotif ketupat melilit tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah dipakai sejak beliau berusia belasan.
.................................
Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu maka ketika pertama kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil yang tak kuat mental bisa-bisa langsung terkena sawan. Namun, ketika beliau angkat bicara, tak dinyana, meluncurlah mutiara-mutiara nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh atmosfer sukacita di sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam waktu singkat beliau telah merebut hati kami. Bapak yang jahitan kerah mejanya telah lepas itu bercerita tentang perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang.
..................................
Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang Badar sekaligus setenang embun pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan gerak lakunya yang memikat. Ada semacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil risiko, dan menikmati daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang mengerti.
Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang yang tak hanya mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering menaik turunkan intonasi, menekan kedua ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua tangannya laksana orang berdoa minta hujan.
Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir dengan lancar ayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai hati kami, berpantun, membelai hati kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah sekali.
Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui kata-katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengobarkan semangat kami untuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apapun. Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan untuk berkorban untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria ini buruk rupa dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya bercahaya. Jika ia mengucapkan sesuatu, kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung didaftarkan orangtuaku di sekolah miskin Muhammadiyah. Aku merasa telah terselamatkan karena orangtuakua memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling dasar bagiku. Aku merasa amat beruntung berada di sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Ada keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang takkan kutukar dengan seribu kemewahan sekolah lain.

Bab 4
Perempuan-Perempuan Perkasa
AKU pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu karang untuk mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri belasan tahun sendirian di tengah rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani mengambil resiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang anak yang sama sekali tak dikenalnya nun jauh di Somalia. Di sekolah Muhammadiyah setiap hari aku membaca keberanian berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini.
N.A Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya –K.A. Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong- untuk terus mengobarkan pendidikan Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan guru –lagipula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajarkan semua mata pelajaran- mulai dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya.
Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan yang jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi –jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan. Dasar-dasar moral itu menuntun kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks Islam. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengamalan lainnya.
“ Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati kami.
Bukankah ini kata-kata yang diilhami surah An-Nisa dan telah diucapkan ratusan kali oleh puluhan khatib? Seringkali dianggap sambil lalu saja oleh umat. Tapi jika yang mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengung-dengung di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah terlambat shalat.
.......................................
Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi munkar sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat. Mereka mengajari kami membuat rumah-rumahan dari perdu apit-apit, mengusap luka-luka di kaki kami, membimbing kami cara mengambil wudlu, melongok ke dalam sarung kami ketika kami disunat, mengajari kami doa sebelum tidur, memompa ban sepeda kami, dan kadang-kadang membuatkan kami air jeruk sambal.
Mereka adalah kesatria tanpa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka laksana manfaat yang diberikan pohon filicium yang menaungi atap kelas kami. Pohon ini meneduhi kami dan dialah saksi seluruh drama ini. Seperti guru-guru kami, filicium memberi napas kehidupan bagi ribuan organisme dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem.

Bab 10
Bodenga
..................
Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak seharipun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda tiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa ngeri membayangkan perjalanannya.
Kesulitan itu belum termasuk jalan yang tergenang air, ban sepeda yang bocor, dan musim hujan yang berkepanjangan dengan petir yang menyambar-nyambar. Suatu hari rantai sepedanya putus dan tak bisa disambung lagi karena sudah terlalu pendek sebab terlalu sering putus, tapi ia tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan kilometer, dan sampai di sekolah kami sudah bersiap-siap akan pulang. Saat itu adalah pelajaran seni suara dan dia begitu bahagia karena masih sempat menyanyikan lagu Padamu Negeri di depan kelas. Kami termenung mendengarkan ia bernyanyi dengan sepenuh jiwa, tak tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka. Setelah itu ia pulang dengan menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer.
...................................
Dulu ayahnya pernah mengira putranya itu akan takluk pada minggu-minggu pertama sekolah dan prasangka itu terbukti keliru. Hari demi hari semangat Lintang bukan semakin pudar tapi malah meroket karena ia sangat mencintai sekolah, mencintai teman-temannya, menyukai persahabatan kami yang mengasyikkan, dan mulai kecanduan pada daya tarik rahasia-rahasia ilmu. Jika tiba di rumah ia tak langsung beristirahat melainkan segera bergabung dengan anak-anak seusia di kampungnya untuk bekerja sebagai kuli kopra. Itulah penghasilan sampingan keluarganya dan juga sebagai kompensasi terbebasnya dia dari pekerjaan di laut serta ganjaran yang ia dapat dari “kemewahan” bersekolah.
...................................
Lintang hanya dapat belajar setelah agak larut karena rumahnya gaduh, sulit menemukan tempat kosong, dan karena harus berebut lampu minyak. Namun sekali ia memegang buku, terbanglah ia meninggalkan gubuk doyang berdinding kulit itu. Belajar adalah hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat dan kesulitan hidup. Buku baginya adalah obat dan sumur kehidupan yang airnya selalu memberi kekuatan baru agar ia mampu mengayuh sepeda menantang angin setiap hari. Jika berhadapan dengan buku ia akan terisap oleh setiap kalimat ilmu yang dibacanya, ia tergoda oleh sayap-sayap kata yang diucapkan oleh para cerdik cendekia, ia melirik maksud tersembunyi dari sebuah rumus, sesuatu yang mungkin tak kasat mata bagi orang lain.

Bab 11
Langit Ketujuh
..............................
Tuhan menakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang agar dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya. Dan di malam yang tua dulu ketika Copernicus dan Lucretius duduk di samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf menjelma menjadi kunang-kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan menyemaikan biji zarah kecerdasan, zarah yang jatuh dari langit dan menghantam kening Lintang.
Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada Lintang. Anak pengumpul kerang ini pintar sekali. Matanya menyala-nyala memancarkan intelegensi, keingintahuan menguasai dirinya seperti orang kesurupan. Jarinya tak pernah berhenti mengacung tanda ia bisa menjawab. Kalau melipat dia paling cepat, kalau membaca dia paling hebat. Ketika kami masih gagap menjumlahkan angka-angka genap ia sudah terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongak, dia sudah pintar memabgi angka desimal, menghitung akar dan menemukan pangkat, lalu, tidak hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungan keduanya dalam tabel logaritma. Kelemahannya, aku tak yakin apakah hal ini bisa disebut kelemahan, adalah tulisannya yang cakar ayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak mampu mengejar pikirannya yang berlari sederas kijang.
............................
Meskipun rumahnya paling jauh, tapi kalau datang ia paling pagi. Wajah manisnya senantiasa bersinar walaupun baju, celana, dan sandal cunghai-nya buruknya minta ampun. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam tempurung kepalanya yang ditumbuhi rambut gimbal awut-awutan itu tersimpan cairan otak yang encer sekali. Pada setiap rangkaian kata yang ditulisnya tersirat kecemerlangan pemikiran yang gilang gemilang. Di balik tubuhnya yang tak terawat, kotor, miskin, serta berbau hangus, dia memiliki an absolutely beautiful mind. Ia adalah buah akal yang jernih, bibit genius asli, yang lahir di sebuah tempat nun jauh di pinggir laut, dari sebuah keluarga yang tak satupun bisa membaca.
................................
Dapat dikatakan bahwa Bu Mus sering kewalahan menghadapi Lintang, terutama untuk pelajaran matematika, sehingga ia sering diminta membantu. Ketika Lintang menerangkan sebuah persoalan yang rumit dan membuat simbol-simbol rahasia matematika menjadi sinar yang memberi terang bagi kami, Bu Mus memerhatikan dengan seksama bukan hanya apa yang diucapkan Lintang tapi juga pendekatannya dalam menjelaskan. Lalu beliau menggeleng-gelengkan kepalanya, komat-kamit, berbicara sendiri tak jelas seperti orang menggerendeng. Belakangan aku tahu apa yang dikomat-kamitkan beliau. Bu Mus mengucapkan pelan-pelan kata-kata penuh kagum, “Subhanallah.... Subhanallah....”
“Yang paling membuatku terpesona,” cerita Bu Mus pada Ibuku. “Adalah kemampuannya menemukan jawaban dengan cara lain, cara yang tak pernah terpikirkan olehku,” sambungnya sambil membetulkan jilbab.

Bab 30
Elvis has left the Building
.................................
Perdebatan semakin seru. Diperlukan seorang penengah dangan wawasan dan kata-kata cerdas pamungkas untuk mengakhiri perseteruan ini. Sayangnya si cerdas itu sudah dua hari tak tampak batang hidungnya. Tak ada kabar berita.
Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir. Sembilan tahun bersama-sama tak pernah ia bolos. Saat ini sedang musim hujan, bukan saatnya kerja kopra. Buka pula musim panen kerang, sementara karet telah digerus bulan lalu. Pasti ada sesuatu yang sangat penting. Rumahnya terlalu jauh untuk mencari berita.
Sekarang hari kamis, sudah empat hari Lintang tak muncul. Aku melamun memandangi tempat duduk disebelahku yang kosong. Aku sedih melihat dahan filicium tempat ia bertengger jika kami memandangi pelangi. Ia tak ada di sana. Kami sangat kehilangan dan cemas. Aku rindu pada Lintang.
Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya. Suasana kelas menjadi sepi. Kami rindu jawaban-jawaban hebatnya, kami rindu kata-kata cerdasnya, kami rindu melihatnya berdebat dengan guru. Kami juga rindu rambut acak-acakannya, sandal jeleknya, dan tas karungnya.
Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan pesan pada orang yang mungkin melalui kampung pesisir tempat tinggal Lintang. Aku cemas membayangkan kemungkinan buruk. Tapi biarlah kami tunggu sampai akhir minggu ini.
Senin pagi, kami semua berharap menjumpai Lintang dengan senyum cerianya dan kejutan-kejutan barunya. Tapi ia tak muncul juga. Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu Mus. Begitu banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama hampir sembilan tahun di SD dan SMP Muhammadiyah tapi baru pertama kali ini aku melihatnya menangis. Air matanya berjatuhan di atas surat itu.
Ibunda guru,
Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah.
Salamku, Lintang.
...............................
Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikitpun untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi.
Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudra. Begitu banyak energi positif, keceriaan, dan daya hidup terpancar dari dirinya. Di dekatnya kami terimbas cahaya yang masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan pikiran, memicu keingintahuan, dan membuka jalan menuju pemahaman. Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad, dan persahabatan. Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni pada lomba kecerdasan dulu, ia telah menyihir kepercayaan diri kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan nasib, berani memiliki cita-cita.
Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam lingkaran bayang kobaran api. Kami tercengang karena terobosan pemikirannya, terhibur oleh ide-ide segarnya yang memberontak, tak biasa, dan menerobos. Ia belum pergi tapi aku sudah rindu dengan sorot mata lucunya, senyum polosnya, dan setiap kata-kata cerdas dari mulutnya. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak bertepi. Inilah kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini, hari yang membuat gamang seorang lelaki kurus cemara angin sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga.
Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa. Aku tahu hatinya menjerit, meronta-ronta dalam putus asa karena penolakan yang hebat terhadap perpisahan ini. Sekolah, kawan-kawan, buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh kecintaannya. Suasana sepi membisu, suara-suara unggas yang biasanya riuh rendah di pohon filicium sore ini lengang. Semua hati terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dari lingkaran pendidikan. Ketika kami satu per satu memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan, pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung tercabut paksa meninggalkan sekolah.
Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku yang mengharu biru telah mencurahkan habis air mataku, tak dapat kutahan-tahan sekeras apapun aku berusaha. Kini ia menjadi tangis bisu tanpa air mata, perih sekali. Aku bahkan tak kuat mengucapkan sepatahpun kata perpisahan. Kami semua sesenggukan. Bibir Bu Mus bergetar menahan tangis, matanya semerah saga. Tak setitik pun air matanya jatuh. Beliau ingin kami tegar. Dadaku sesak menahankan pemandangan itu. Sore itu adalah sore yang paling sendu di seantero Belitong, dari muara Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkalan Punai, dari Jembatan Mirang sampai ke Tanjong Pandan. Itu adalah sore yang paling sendu di seantero jagad alam.
Saat itu aku menyadari bahwa kami sesungguhnya adalah kumpulan persaudaraan cahaya dan api. Kami berjanji setia di bawah halilintar yang menyambar-nyambar dan angin topan yang menerbangkan gunung-gunung. Janji kami tertulis pada tujuh tingkatan langit, disaksikan naga-naga siluman yang menguasai Laut Cina Selatan. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan.
======================================================

Resensi buku ini pertama kali saya baca di harian Kompas pada akhir tahun 2006. Sekilas ceritanya mengingatkan saya ketika masih di Sekolah Dasar di kampung, tapi belum kepikiran untuk membelinya. Dua bulan kemudian di sebuah pameran buku di Istora Senayan, saat melewati salah satu stand yang ada, mata saya secara tak sengaja tertumbuk pada sebuah sampul buku yang sepertinya pernah saya lihat. Ternyata buku itu adalah buku yang resensinya saya baca di koran beberapa bulan yang lalu. Tanpa pikir panjang lagi akhirnya buku itu saya beli.

Pelajaran moral yang saya petik dari buku ini adalah, pelajari dan bersikap tamaklah terhadap ilmu, karena ilmu menawarkan pengetahuan yang luas tak terbatas dan mampu menanamkan kerendahan hati yang tak bertepi.
Siapa saja yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, Allah memperjalankannya di atas salah satu jalan surga” (H.R Abu Dawud)



Wassalam,
Takbir

Tuesday, July 8, 2008

Pelangi di Persia (Menyusuri Eksotisme Iran)



Judul: Pelangi di Persia (Menyusuri Eksotisme Iran)
Penulis: Dina Y. Sulaeman
Penerbit: Pustaka IIMAN
Cetakan I: Desember 2007/Dzulqaidah 1428.
Dalam buku ini, Dina Y. Sulaeman dan suaminya Otong Sulaeman menceritakan pengalaman mereka selama 8 tahun tinggal di Iran. Selama 8 tahun tersebut mereka sempat tinggal di 3 kota, Qom (135 km dari Teheran ke arah selatan), Qazvin (130 km dari Teheran ke arah utara), dan Teheran.
Penulis mampu menceritakan bagaimana interaksi mereka dengan masyarakat Iran, yang oleh orang-orang barat disebut sebagai ‘keras kepala’. Dari buku ini penulis bisa menggambarkan situasi masyarakat Iran yang bisa dibilang sangat ramah dan santun. Pertemanan mereka dengan masyarakat Iran begitu mengharukan, di mana mereka mendapat begitu banyak bantuan dari orang-orang Iran selama mereka tinggal di sana, dan itu terlihat ketika mereka melakukan perjalanan mengelilingi Iran.
Masyarakat Iran yang begitu Syi’ah sentris ternyata sangat menjamin kebebasan penganut madzhab yang berbeda yaitu kaum Sunni dan agama lainnya seperti kristen dan zoroaster atau majusi. Yang paling menarik bagi saya dalam buku ini adalah bagaimana hubungan Sunni-Syi’ah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaan sholat, orang-orang Sunni bersedekap sedangkan orang-orang Syi’ah meluruskan tangan ke bawah. Adapun gerakan sholat yang lain, jumlah rakaat, dan bacaannya adalah sama. Azan yang umum di Iran yang Syi’ah ditambahkan dengan kalimat “Asyhadu anna Aliyyan Waliyyullah” (Aku bersaksi bahwa Ali adalah Wali Allah) setelah kata “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” dan kata “Hayya ala khairil amal” (mari kita melakukan amal terbaik) setelah kata “ Hayya alal falah”. Tetapi, di beberapa masjid Sunni tetap menggunakan azan yang sama yang biasa kita dengar di Indonesia. Kalau di Indonesia, kita sebagai orang awam menganggap orang Syi’ah itu aneh dan berbeda, sebaliknya di Iran, masyarakat Iran menganggap Sunni itu berbeda dan aneh. Tetapi hal itu tidak menghalangi mereka dalam hubungan sosial sehari-hari termasuk dalam pernikahan beda madzhab dimana sumpah nikah dibacakan dua kali, sekali dengan cara Sunni dan sekali dengan cara Syi’ah. Dan yang lainnya, ketika Ramadhan, orang-orang Syi’ah tidak melaksanakan sholat Tarawih berjamaah, tetapi pada malam ke-19, 21, dan 23 Ramadhan mereka melakukan I’tikaf di masjid untuk menjemput malam Lailatul Qadar seperti yang dihaditskan oleh nabi Muhammad SAW.
Penghormatan masyarakat Iran terhadap keturunan nabi Muhammad SAW sangatlah besar. Hampir di setiap penjuru Iran ada makam Imamzadeh, sebutan mereka untuk para Imam dalam madzhab Syi’ah yang sebagian besar adalah para keturunan nabi Muhammad SAW. Setiap tanggal 1-10 Muharram, mereka melakukan upacara duka cita untuk menghormati kematian Imam Husein dan Keluarganya yang terbunuh di padang Karbala oleh para tentara dari Dinasti Umayyah. Pada hari-hari tersebut banyak dilantunkan azadari atau lantunan bait-bait syair yang berisikan tumpahan rasa duka cita yang mendalam.
Buku ini juga sedikit menceritakan bagaimana sikap masyarakat Iran ketika PBB mengeluarkan resolusi yang mengembargo mereka, berkaitan dengan proyek pengayaan uranium untuk installasi nuklir di Iran. Dari sini kita bisa melihat betapa besar dan tingginya semangat nasionalisme orang-orang Iran. Dari ibu rumah tangga hingga kepala negara begitu bangga dengan proyek nuklir mereka yang bisa mensejajarkan mereka dengan bangsa-bangsa maju yang lain di dunia. Penulis juga menceritakan suasana pemilu 2005 yang begitu ramai di Iran. Di tengah gencarnya propaganda Amerika kepada masyarakat Iran untuk memboikot pemilu, masyarakat Iran malah dengan semangat datang berbondong-bondong datang untuk memberikan suara mereka.
Embargo terhadap Iran sepertinya tidak berdampak pada kemunduran orang-orang Iran. Mungkin benar juga kata Imam Khomeini yang sering dikutip di tivi-tivi Iran, “Kita jangan pernah takut atas embargo ini. Jika mereka mengembargo kita, kita akan lebih giat bekerja, dan hal ini bermanfaat bagi kita. Orang-orang yang takut terhadap embargo hanyalah orang-orang yang menjadikan ekonomi dan duniawiah sebagai tujuan hidupnya semata”. Setelah 27 tahun diembargo (sejak 1980), Iran telah menjadi negara yang bisa berswasembada dalam berbagai hal. Termasuk dalam teknologi militernya, dimana mereka mampu memproduksi sendiri persenjataan dan kendaraan-kendaraan perang. Bisa dibandingkan dengan Amerika Serikat yang akhir-akhir ini diberitakan malah mengalami kesulitan ekonomi akibat sistem perbankan mereka yang morat-marit dan naiknya harga minyak dunia. Di Indonesia harga bensin mencapai 6000 rupiah per liter sedangkan di Iran masih 1000 rupiah per liternya. Bahkan mereka sedang beralih kepada kendaraan berbahan bakar gas, dimana 1 tabung gas berharga 2000 rupiah bisa digunakan untuk perjalanan 100 km. Jadi, dimana efek buruk embargonya?
Menjelang 2 bulan kepulangan penulis bersama suami kembali ke Indonesia, mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan mengelilingi Iran. Dalam perjalanan itu mereka berjumpa orang-orang Iran dari berbagai etnis, budaya, dan agama. Mereka menyaksikan keanggunan dan keningratan orang-orang Gilan di utara, militansi kesukuan orang-orang Kurdi di barat, kehangatan nyala api orang-orang Majusi di timur, hingga keramahan khas orang-orang etnis Arab di selatan Iran. Desa kuno berusia lima ribuan tahun di Abyaneh, kebun-kebun mawar yang air sulingan bunganya dipakai untuk mencuci Ka’bah, kebun teh dipinggir laut Kaspia, puing-puing perang di Khuramshahr, kuil sesembahan orang Persia kuno di pedalaman Shoush, kota kuno di Shoustar yang pernah diperebutkan pada era Khalifah Umar bin Khattab, masjid kaum Sunni di Sanandaj dengan beranda tuanya yang tenang, pegunungan Zagros yang membuat nafas tertahan, dan puing istana Parsepolis yang menjadi bukti kemegahan peradaban Persia kuno, adalah di antara keeksotisan Iran yang mereka saksikan dalam perjalanan itu.
Perjalanan mereka mengelilingi Iran hanya dilakukan dalam rentang waktu 2 bulan. Namun, yang tertuang di buku ini sejatinya adalah catatan tentang warna-warni pelangi yang selama 8 tahun mereka saksikan di Iran.



Wassalam,
Takbir