Thursday, July 26, 2012

Pendakian Gunung Fuji


Mendaki Gunung Fuji hanya dibolehkan pada bulan Juli dan Agustus setiap tahunnya. Karena hanya pada 2 bulan ini suhu dan cuaca Gunung Fuji relatif lebih 'hangat' dan jalur tanjakan tidak tertutup oleh salju. Bersama sekitar belasan orang teman, kami memutuskan untuk mendaki seminggu sebelum Puasa Ramadhan, kebetulan juga di Jepang ada hari libur nasional pada hari seninnya. Jadi rencananya kami mendaki hari sabtu, pulang hari minggu dan istirahat total hari senin. Oleh kawan-kawan rencana ini diberi judul Pendakian Ceria.

Sabtu pagi, kami berkumpul di Shinjuku Station dekat halte bus Keio. Tiket sekali jalan seharga 2600 yen. Sebaiknya pesan tiketnya sudah pergi dan pulang, untuk menghindari kemungkinan tidak mendapat tiket untuk pulangnya. Kami akan memulai tanjakan dari Kawaguchiko tingkat ke-5 (Kawaguchiko 5th Station) yang berada pada ketinggian 2300 Meter. Puncak Gunung Fuji sendiri adalah 3776 Meter. Jalur dari Kawaguchiko adalah yang dianggap paling mudah dan paling populer. Dan yang penting juga, matahari terbit terlihat dari sisi jalur ini. Target kami adalah ingin melihat matahari terbit dari puncak Gunung Fuji.


Usahakan mendaki dengan beban yang seringan mungkin. Beberapa perlengkapan yang disarankan dibawa ketika memanjat Gunung Fuji antara lain:
1. Jaket yang cukup tebal untuk menghadapi dingin dan angin yang akan semakin kencang ketika posisi tanjakan makin tinggi.
2. Sarung tangan untuk menahan dingin dan cukup bagus untuk berpegangan pada batu-batu curam di banyak titik tanjakan.
3. Jas hujan untuk berjaga-jaga.
4. Topi untuk berlindung dari sinar matahari.
5. Sepatu khusus mendaki yang cengkramannya kuat dan lebih bagus lagi jika bahannya waterproof.
6. Tongkat khusus untuk panjat. Saya lihat sangat berguna ketika jalan turun dari puncak.
7. Senter kecil yang bisa diikatkan dikepala jika berencana mendaki malam hari.
8. Makanan secukupnya. Saya bawa Onogiri dan minuman energi dalam bentuk jelly serta dua botol air minum. Makanan kecil dan minuman banyak juga dijual di beberapa titik peristirahatan tapi dengan harga yang bisa 3 hingga 5 kali lipat dari harga di bawah Gunung.
9. Bawa koin 100 yen secukupnya, karena di sepanjang jalur pendakian di beberapa titik istirahat, toilet harus bayar 200 yen. Sebotol air 200 yen, kencingnya 200 yen.
10. Bagi yang punya masalah pernafasan disarankan beli oksigen yang dijual di toko di Kawaguchiko tingkat ke-5. Udara diketinggian yang semakin tipis ditambah kondisi tubuh yang kelelahan bisa berbahaya.

Kami memulai pendakian pada pukul tiga sore dengan berjalan santai menuju puncak sesuai judul acaranya pendakian ceria. Kesepakatannya, pokoknya setiap kali capek, kami berhenti. Tapi keseringan berhenti malah jadi lebih capek. Matahari terbit diperkirakan sekitar pukul 4 pagi. Dan kami harus sudah berada di tingkat ke-8 setidaknya pukul 9 malam. Istirahat, kemudian melanjutkan berjalan pada pukul 12 tengah malam dan mencapai puncak pada pukul 3-4 pagi. Awal perjalanan masih sesuai rencana. Masih ceria. Masih tawa-tawa. Tenaga masih pol. Setelah mulai menanjak semakin tinggi dan jalur semakin curam, otot kaki mulai kelelahan, beberapa mulai ada yang mengeluh dan berhenti lebih sering. Sedikit dari kami yang terus lanjut mendaki tanpa henti dan terpisah dari rombongan. Ketika mendaki semakin tinggi, kami sudah terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Di posisi yang semakin tinggi ternyata kami harus berhadapan dengan tantangan lain, selain gelapnya malam, yaitu angin yang semakin kencang, tipisnya oksigen serta suhu udara yang dingin.




Pada musim pendakian gunung Fuji, warga Jepang berbondong-bondong mendaki gunung Fuji. Hingga orang tua pun sepertinya memaksakan diri untuk mendaki. Bahkan ada yang dengan membawa anak kecil berumur 5 tahun bersama mereka. Jalur pendakian sangat ramai hingga kadang harus antri karena jalannya yang sempit dan curam. Melihat mereka, kami tentunya lebih semangat lagi. Masak kalah sama nenek-nenek atau balita. Bedanya mereka dengan kami adalah sebagian besar dari mereka telah merencanakan untuk istirahat dan tidur di beberapa tempat peristirahatan sebelum lanjut pada dinihari mendaki menuju puncak. Penginapan harus dipesan jauh-jauh hari sebelum mendaki, karena keterbatasan tempat. Sementara kami yang betul-betul buta akan medan pendakian, hanya berbekal semangat juang 45 yang sudah luntur, dengan gagahnya mau mendaki tanpa istirahat menuju puncak pada malam buta.

Sekitar pukul 8 malam kami sudah berhasil mencapai tingkat ke-8. Saya sendiri sudah mulai kelelahan dan anginnya yang dingin dan kencang bikin lapar dan ngantuk. Tempat peristirahatan yang ada tidak membolehkan kita masuk untuk sekedar berlindung dari angin kencang kalau bukan tamu mereka. Setelah ngaso sekitar sejam, kami melanjutkan pendakian di gelapnya malam, jarak antara kami semakin renggang dan makin terpisah-pisah. Angin yang bertiup kencang juga membawa pasir yang masuk ke mata dan mulut. Sekitar pukul sepuluh malam, saya dan beberapa teman yang kelelahan, kelaparan dan yang tersiksa oleh dinginnya angin yang kencang, memutuskan untuk mampir di tempat peristirahatan yang sekaligus warung makan. Kami memesan nasi dengan kari daging sapi yang cuma secuil seharga 1200 yen. Dan yang paling mengenaskan lagi, si empunya warung hanya memberi waktu 15 menit untuk menghabiskan makanan dan segera keluar dari warung. Ternyata untuk sekedar masuk dan berlindung sebentar dari kencangnya angin di luar, kita diharuskan membayar.  Ketika sedang makan di warung, masing-masing mulai mengeluh dan curhat: "... ngapain kita ke sini emang ada apa sih di atas sana, nyiksa diri aja, mending gw dirumah main ama anak gw... ".  Adalagi "... gw udah mikirin kamar mandi dikamar gw yang hangat, gw pingin keramas, pasir udah masuk mata, hidung, rambut ampe selangkangan gw juga penuh pasir nih kayaknya... ". Yang lain lagi, "...kalau cuma mau lihat matahari terbit, dari kamar gw juga tiap hari lihat kok... ". Yang terakhir, "gw ikut karena takut di ceng-in aja ama kalian, kalau tau tersiksa gini mending gw ga ikut... ". 

Sehabis makan saya melanjutkan mendaki ke atas meninggalkan mereka yang mulai berembuk untuk bayar ke pemilik warung agar bisa dibiarkan berisitirahat dalam warung. Seingat saya, ketika berhasil tiba di tingkat ke-8.6  pada pukul 12 malam, saya bertemu dengan rombongan kami yang lain yang ternyata sedang bergerilya mencari penginapan yang masih buka dan punya tempat. Saya yang sebenarnya juga sudah sangat kelelahan dan kedinginan setuju saja bergabung untuk istirahat. Si pemilik penginapan meminta 5000 yen per orang untuk bisa beristirahat hanya sampai pukul 4 pagi. Kami yang memang sudah kedinginan, tanpa pikir panjang mengiyakan. Sewa penginapan termahal yang diantara kami pernah di singgahi. Tempat yang disediakan pun seadanya, kami tidur berdempet-dempetan. Tapi mungkin karena saking capeknya, saya akhirnya bisa tertidur juga. 

Tepat pukul 4 pagi kami semua dibangunkan. Walau istirahat hanya sebentar, saya merasa lebih segar. Di luar angin semakin kencang dan hujan mulai turun. Matahari terbit hanya terlihat sekilas karena tertutup awan mendung. Kami melanjutkan untuk mendaki ke puncak yang 'hanya' tinggal sekitar 600 meter lagi. Tapi beberapa di antara kami tidak lanjut mendaki dan memutuskan untuk turun gunung. Pendakian ke puncak semakin sulit karena angin dingin yang kencang ditambah kali ini disertai hujan. Jalan menuju ke puncak pun semakin sempit dan terjal. Tapi ternyata justru semakin ramai hingga kita mesti harus berhenti karena antri menuju puncak. Angin dan hujan yang semakin deras di puncak membuat para Ranger atau petugas di atas gunung dengan pengeras suara menganjurkan untuk tidak melanjutkan pendakian ke puncak. Tapi mereka kan teriak-teriaknya pake bahasa Jepang, mana saya tahu, saya hajar saja terus naik ke puncak. Saya tahunya ketika turun gunung diberitahu oleh kawan yang mengerti bahasa Jepang. Ketika mendaki ditengah badai saya mulai berpikir untuk berbalik turun saja, capek tiba di atas sudah mikirin lagi capek turunnya. Tapi di belakang saya seorang kakek yang tetap semangat tertatih-tatih mendaki apalagi di jalan mendaki menuju ke atas melihat anak kecil yang sudah berjalan turun dari puncak. Masak saya kalah semangat oleh kakek dan anak kecil itu? Tapi cara berpikir bodoh yang tidak mau kalah itu berbahaya saudara-saudara, saya rasanya hampir mati setiba dipuncak. Di puncak juga tidak bisa lihat apa-apa karena badai dan jarak pandang yang terbatas. Saya tiba dipuncak sekitar pukul 7 pagi dan hanya numpang sebentar di dalam shrine untuk bernaung dari hujan deras dan angin kencang. Membayangkan jalan turunnya lagi saya sudah lemas. 



Tidak mau berlama-lama, akhirnya saya memulai jalan turun dari puncak. Setidaknya jalan turun membutuhkan lebih sedikit tenaga dibandingkan ketika mendaki. Setelah sekitar sejam lebih menembus badai disepanjang jalan dari puncak, akhirnya berhasil mencapai tingkat ke-8 dan di situ bertemu beberapa teman yang juga sedang berjalan turun gunung. Perlu diketahui bahwa jalur mendaki dan turunnya itu berbeda. Mengambil jalur yang sama juga tidak apa-apa, tetapi capeknya beda. Dan perhatikan petunjuk arah turun, karena kalau salah jalur bisa turun menuju ke Shizuoka atau ke sisi lain Gunung Fuji. Dari tingkat ke-8, jalur penurunan yang akan kami lalui mempunyai sekitar tiga puluhan jalur zig-zag. Jalannya berpasir dan sedikit becek setelah hujan. Tanah berpasir yang tidak rata jika tidak berhati-hati bisa terjatuh. Berjalan turun saya sudah uring-uringan, kaki doang yang punya tenaga berjalan terseok-seok. Jari-jari kaki rasanya pegal bukan main. Ikatan tali sepatu copot saja saya sudah tidak sanggup benerin. Pukul 12 siang akhirnya tiba juga di Kawaguchiko tingkat ke-5. Bertemu teman-teman yang sudah tiba duluan dan satu per satu teman yang lain juga akhirnya tiba, semuanya berkesimpulan, tidak akan lagi mendaki Gunung Fuji atau bahkan Gunung-gunung yang lain.

Orang yang pernah ke Jepang tetapi belum pernah mendaki Gunung Fuji adalah orang bodoh. Orang yang mendaki Gunung Fuji lebih dari sekali adalah orang yang lebih bodoh lagi.


Salam,
Takbir