Saturday, June 7, 2014

Pesona Aroma India


Perjalanan ke India dan mengunjungi beberapa tempat di atur oleh perusahaan yang memberi saya kontrak kerja ke sana. Saya tidak mengatur sendiri rencana perjalanannya. Beberapa kota seperti Lucknow, Chandigarh, Ranchi dan Bhubaneswar, belum pernah saya dengar sebelumnya. Mungkin tidak akan pernah saya kunjungi jika bukan karena pekerjaan kali ini. Mengunjungi banyak tempat baru yang beragam, memperlihatkan saya banyak tempat yang menarik dan berkenalan dengan lebih banyak teman. Mereka memperlakukan saya bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi juga sebagai tamu. Dari merekalah saya lebih banyak mengetahui tentang kebiasaan warga lokal. Yang mewarnai catatan dan penilaian saya selama perjalanan India kali ini.

Hal yang paling sering dibanggakan oleh hampir semua teman asal India, bahwa mereka adalah Negara demokrasi terbesar di dunia. Semua mahluk hidup yang tidak membahayakan orang lain, bisa hidup bebas merdeka di India. Sapi, anjing dan babi adalah mahluk bergerak selain manusia yang paling banyak ditemui di jalan. Ada juga monyet di beberapa wilayah tertentu. Bahkan menurut salah seorang kawan lokal, kebebasan di India itu contohnya kamu kencing di tepi jalan pun, tidak akan ada yang menegur. Apalagi kalau cuma buang sampah sembarangan, itu biasa.

Semua warga bebas menjalankan keyakinan mereka. Dari 1.25 milyar atau lima kali jumlah penduduk Indonesia, mayoritas warga India adalah penganut Hindu kemudian Muslim. Selain Hindu dan Buddha, Sikh adalah agama yang lahir di India, di wilayah Punjab. Belum lagi agama minoritas lain seperti Jain yang baru saya dengar pertama kalinya. Jain berkembang di saat yang hampir bersamaan dengan Buddha, tapi kalah populer. Agama Zoroaster atau majusi bermarkas di India setelah terusir dari Iran. Agama lain yang oleh sebagian besar muslim dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran Islam, yaitu Ahmadiyah dan Baha'i juga hidup merdeka di sini. Belum lagi beragamnya kepercayaan lokal hindu yang bermacam-macam.

India boleh membanggakan demokrasi yang berjalan di negara mereka, tetapi di sisi lain praktek sistem kasta juga masih hidup. Ketika membaca resume seorang kawan dan beberapa yang lain, saya perhatikan mereka juga mencantumkan nama ayah mereka. Saya pikir itu informasi yang kurang penting, memangnya ini formulir pengajuan rekening bank baru? Ketika saya mengajukan kartu simcard di salah satu operator GSM, di isian formulir saya diwajibkan mengisi kolom nama ayah juga. Sebegitu pentingkah nama ayah kita diketahui? Ternyata buat warga India, anda berasal dari kasta mana bisa ketahuan dari nama ayah. 

Sistem kasta memberikan keistimewaan pada warga yang berasal dari kasta yang lebih tinggi. Keistimewaan mendapatkan pekerjaan, keistimewaan memasuki sekolah yang bagus, dan lain-lain. Kata teman lokal, jika ada pembukaan lowongan pegawai negeri, maka lima puluh satu persen alokasinya untuk kasta 'tertentu', dan sisanya untuk umum. Makanya tidak mudah untuk menjadi abdi negara di sini.

Yang sering mereka tanyakan juga adalah bagaimana pernikahan di Indonesia. Apakah diatur oleh orang tua alias dijodohkan atau atas pilihan sendiri. Saya cuma jawab keduanya ada. Tapi sebagian besar berdasarkan pilihan sendiri. Di jodohkan pun, kembali ke pasangan masing-masing, apakah mau lanjut atau tidak. Saya pikir ini berasal dari kegelisahan mereka, yang menceritakan bahwa di India, perjodohan masih sangat umum. Karena pernikahan beda kasta sangat sulit terjadi. Bahkan kalau bisa mereka menikah dengan pasangan yang berasal dari marga keluarga yang sama. Pernikahan atas pilihan sendiri yang sering mereka istilahkan love marriage, mulai banyak dilakukan oleh warga kota besar yang sudah mulai lebih terbuka dengan perbedaan kasta. Tidak demikian halnya bagi masyarakat tradisioanl yang banyak di pedesaan.

Pernikahan sederhana yang dilakukan secara massal di Kuil Jagannath, Ranchi.
Sebagian kecil kawan yang lain menyebutkan Bollywood sebagai hal yang paling membanggakan di India. Mereka lebih bangga dan gemar nonton Bollywood daripada Hollywood. Salah satu syarat film Bollywood itu agar mencapai sukses adalah ceritanya harus berakhir bahagia, happy ending. Jika ceritanya traumatis, jagoannya mati, pasangan utamanya tidak jadian, film itu akan hilang dengungnya dalam sebulan. Warga India senang akhir yang bahagia. Semua orang di dunia juga begitu.

Di pekan-pekan awal di India, bau pesing di udara begitu menusuk. Apalagi di area keramaian yang banyak sapi berkeliaran, baunya seperti berada di kandang sapi. Bau kotoran sapi bercampur dengan bau pesing akibat warga yang pipis sembarangan. Pernah sekali uji nyali masuk lorong-lorong di antara toko tepi jalan, baru beberapa langkah, di sisi lorong ada semacam tempat pipis umum yang terbuka dan, mungkin kebetulan yang tidak menyenangkan, disitu juga ada kotoran manusia yang sebesar kotoran sapi, waduh perut langsung berontak ingin muntah. Bergegas keluar dari lorong itu berusaha menghapus memori apa yang baru saja saya saksikan yang bisa mempengaruhi nafsu makan yang lagi bagus-bagusnya. 

Setelah beberapa minggu hidung ini terbiasa dengan bau pesing. Telinga ini terbiasa dengan pekikan klakson dijalan-jalan, dan kebiasaan orang lokal yang tidak kenal titik koma jika bicara. Mata terbiasa melihat kemelaratan para gelandangan dan anak-anak jalanan.

Dari segi infrastruktur, menurut saya India punya kelebihan dibandingkan Indonesia dalam beberapa hal. Mereka punya jaringan kereta antar kota yang menghubungkan kota-kota besar di seluruh wilayah India. Mereka punya jaringan jalan toll yang bagus. Punya jaringan Metro di Kota New Delhi dan beberapa kota besar lainnya. Mereka punya sistem pembelian tiket bus dan kereta secara online yang sangat bagus. Yang membuatnya kelihatan tertinggal adalah karena begitu banyaknya manusia yang hidup di sini. Pemerintah membangun fasilitas yang menyamai negara-negara maju, tapi kapasitasnya tidak bisa melayani jumlah warga. Bandingkan dengan negara maju dengan fasilitas yang sama tapi dengan jumlah warga yang lebih sedikit. Belum lagi tingkat kesadaran warga yang masih kurang untuk menjaga fasilitas umum.

Contoh nyata kapasitas yang tidak mampu menampung jumlah permintaan adalah ketika memesan tiket kereta, dua minggu sebelum jadwal keberangkatan semuanya sudah full booked. Namun mereka punya sistem yang di sebut Tatkal, dimana untuk tiket esok hari yang sudah di booking tapi belum dibayar, kemudian akan dibuka untuk umum, setiap harinya pukul 10 pagi. Siapa cepat dia dapat. Ratusan tiket yang tersedia langsung habis dalam beberapa menit, jadi pastikan koneksi internet bagus, dan siapkan token kartu kredit/debit didekat anda. Sistem tiket kereta ini sudah beberapa kali di upgrade tapi tetap saja congest alias macet, terutama pukul 10 pagi, ketika sistem tatkal dibuka.

Di India, banyak yang kaya raya, tapi lebih banyak lagi yang miskin papa. Hal itu terlihat sangat kasat mata. Seorang teman lokal mengatakan, ini semua akobat korupsi yang merajalela. Korupsi menjadi efek buruk demokrasi. Hal yang sama terjadi di Indonesia. Bukan hal yang wow ditelinga saya.

Salah satu teman juga berpendapat bahwa kemajuan di India sedikit terhambat juga dikarenakan India dikelilingi oleh tetangga yang membuat India tidak bisa tenang, seperti Pakistan di Barat, Cina di Utara, Bangladesh dan Myanmar di Timur. Pemerintah butuh banyak waktu, tenaga dan biaya yang dihabiskan hanya untuk menjaga kedaulatan perbatasan India dengan Negara-negara tetangganya itu.

Soal makanan sebenarnya saya cocok dengan masakan India. Makanan berempah dan kari. Entah di makan dengan roti, naan atau dengan nasi. Terbiasa juga makan bawang mentah. Mendapatkan makanan dengan daging ayam atau kambing ternyata tidak sesulit yang saya bayangkan sebelumnya bahwa di India hanya ada makanan vegetarian. Hampir semua restoran menyediakan dua pilihan menu, vegetarian dan non-vegetarian. Makanan utama di India juga tergantung wilayah. Semakin ke timur, makanan utama mereka adalah nasi. Sedangkan wilayah barat dan utara makannya roti atau naan dan sejenisnya.

Kari vegetarian dengan campuran keju, Mutton masala atau kari kambing, nasi kuning khas India bagian tengah, dan Idli tepung beras yang dikukus dan dimakan dengan kari sayur kacang.
Cemilan yang digoreng dengan pasir panas.
Salah satu makanan lokal di Ranchi, Litti. Gorengan dengan isi sayuran dankentang dengan kuah yang kental.
Firni, makanan penutup favorit saya, puding dari tepung beras.
Paan atau daun sirih, masih begitu populer di India. Setidaknya di India Utara dan Timur, yang saya lewati di perjalanan ini. Terutama oleh para pria. Paan ini mereka campur dengan tembakau, mint, manisan. Membuat nafas segar (menurut mereka), tapi yang nyata terlihat adalah gigi yang memerah. Kebiasaan mereka meludah sembarangan, bekas yang berwarna merah terlihat banyak di tepi jalan, dipengaruhi juga oleh kebiasaan mengunyah Paan.
Yang harus diperhatikan tentang makanan di India adalah tempatnya. Standar kebersihan dan steril mereka saya pikir di bawah standar Indonesia. Kadang melihat tempatnya yang jorok yang bisa bikin nafsu makan hilang. Saya beberapa kali menderita diare di sana. Pernah merasakan sakit perut ketika di kantor di Jaipur. Kantornya menggunakan gedung tua, dan fasilitas toiletnya pun tua. Toilet di kantor yang gelap dan kotor membuat saya menyebutnya toilet horor. Kotor karena jarang dibersihkan, dan kebiasaan mereka yang malas bersihkan setelah pakai. Di dalam toilet yang gelap tak ada lampu, di langit-langitnya banyak sarang laba-laba yang entah sudah berapa generasi di situ. Tapi mau tak mau saya harus masuk, karena panggilan alam yang satu ini tidak bisa ditunda.

Keberagaman manusia dengan etnik dan bahasanya menjadi hal yang menarik juga di India. Semakin ke timur dan selatan, warga India makin berkulit gelap. Sedangkan warga bagian barat dan utara lebih terang dan sepertinya bintang film Bollywood banyak berasal dari wilayah barat dan utara India. India memiliki 23 bahasa resmi yang digunakan di masing-masing negara bagian. Bahasa yang mayoritas adalah Hindi, tetapi yang menjadi bahasa pengantar di parlemen mereka adalah bahasa Inggris. Karena, masih banyak wilayah yang penduduknya tidak mengerti bahasa Hindi atau masih enggan mempelajarinya.

Seringkali saya menemui, warga India yang minta difoto ketika melihat saya membawa kamera. Seperti pria ini, yang mencolek punggung saya ketika di tepi jalan di Jaipur. Awalnya saya kira hendak minta uang, ternyata minta di foto. Setelah di foto langsung pergi dengan melambaikan tangan, aneh juga.. hahahaha..
Tiga remaja ini mencegat saya di Bara Imambara, Lucknow. Bergaya bak bintang Bollywood. Gaya anak muda di India memang sangat terpengaruh oleh film Bollywood.

Bapak-bapak ini, meminta saya memotret mereka, setelah selesai berkampanye di Hazrat Ganj, wilayah pertokoan yang ramai di Lucknow. Pemilu baru saja dilaksanakan di seluruh India pada April-Mei yang lalu.
Rombongan siswa di Amberfort, Jaipur.
Remaja yang menunjukkan jalan di Kolkata. Sebelum saya pergi mereka minta difoto.
Bergaya di depan Victoria Memorial, Kolkata.
Tiga bocah yang minta difoto depan Albert Hall, Jaipur

Pria yang rehat dan berteduh setelah capek berjoget merayakan Holi, di tepi jalan kota Lucknow.

Remaja yang hanya nongkrong tidak ikut bergabung saling mewarnai dan berjoget di jalanan ketika perayaan Holi. Salah satunya memperkenalkan namanya Yusuf. Saya pikir mereka warga muslim lokal Lucknow, makanya tidak ikut berjoget di tepi jalan merayakan Holi yang merupakan perayaan warga Hindu di India.
Kumis adalah aset. Di beberapa museum, hotel besar dan restoran mewah di Jaipur kita akan melihat penjaga pintu yang menyambut tamu adalah bapak yang berkumis lebat seperti ini. Salah satu dari petugas penjaga dalam Istana Maharaja Jaipur yang dijadikan Museum untuk umum. Ketika saya mendekati dan meminta ijin untuk memotret, bapak ini pun mengatakan "Why not?"

Ketika di Jaipur, kepala tripod buat kamera saya copot, bautnya hilang. Saya bingung bagaimana memperbaikinya, pasti sulit mendapatkan baut yang cocok ukurannya. Akhirnya saya mencoba memasuki sebuah pasar tradisional yang saya lihat khusus bengkel motor dengan berbagai toko onderdil. Setelah menanyai hampir semua toko yang ada dan mereka bilang tidak menjual baut yang saya cari, akhirnya saya menemukan toko ini. Tanpa banyak bicara, setelah melihat tripod saya, bapak pemilik toko langsung meminta karyawannya untuk mencari baut yang cocok dan akhirnya ketemu juga. Bapak ini sendiri yang memasangnya. Ketika saya akan membayar, beliau menolak, katanya gratis. Bahkan saya diberi baut lagi buat cadangan katanya kalau nanti hilang lagi. Sambil mengucap terima kasih beberapa kali, saya meminta ijin memotret dia dan pegawainya.
Bertemu kawan lama di Kolkata, Sukanta Mandal, yang memang asli dari sini. Kami pernah bekerja dalam tim yang sama ketika di Jepang. Tidak menyangka saya akan bisa menemuinya lagi di kota asalnya.
Mahatma Gandhi, tokoh yang berperan membawa India melangkah ke gerbang kemerdekaan dari kolonial Inggris. Foto patung Mahatma Gandhi ini saya ambil di Mahatma Gandhi Margh, tidak jauh dari perempatan utama Hazrat Ganj, Lucknow.

Masih banyak tempat menarik di India yang belum sempat saya kunjungi. Bahkan ibukota New Delhi pun tidak. Taj Mahal di Agra terlewatkan. Varanasi yang warga lokal klaim sebagai kota tertua di dunia, dan merupakan kota paling suci bagi umat Hindu dan Budha, juga belum sempat. Masih banyak yang belum saya saksikan di sana. Masih ada alasan kembali ke India di lain kesempatan.


Wassalam,
Takbir

Thursday, June 5, 2014

Eksotisme Kuil di Odisha


Bhubaneswar menggunakan slogan city of temples. Karena banyaknya kuil yang besar hingga kecil, baru dan kuno di kota ini dan sekitarnya. Setelah dari Kolkata yang padat dan macet, Bhubaneswar yang merupakan ibukota negara bagian Odisha, lebih lengang. Jalan kotanya kelihatan lebih tertata, dan penduduknya tidak sepadat Kolkata. Yang sama mungkin panas dan kelembapannya. Warga di sini menggunakan bahasa Oriya, selain bahasa Hindi sebagai bahasa resmi mereka. Huruf yang digunakan juga beda dengan huruf bahasa Hindi. Di bandingkan tempat lain yang sebelumnya saya singgahi, di Odisha sedikit lebih sulit berkomunikasi karena banyak yang tidak mengerti bahasa Inggris dan saya tidak mengerti Hindi apalagi Oriya.

Hari sabtu, saya mengajak teman kantor, Suresh, untuk menemani saya mengunjungi tempat menarik di sekitar Odisha. Karena jarak yang ditempuh jauh keluar kota Bhubaneswar, jadi harus merental mobil. Mobil sedan kecil, sewanya 1300 rupee untuk 100 kilometer pertama, dan 9 rupee untuk setiap kilometer berikutnya.

Tujuan pertama kami ke Dhauli Giri. Sekitar 30 menit dari pusat kota Bhubaneswar. Sebuah bukit dengan stupa kuil Budha di puncaknya. Kuil ini merupakan kerja sama umat Budha lokal dengan umat Budha jepang. Di halaman kuilnya ada batu prasasti dengan tulisan Kanji, khas kuil Jepang. Lokasi Dhauli giri ini begitu terkenal dalam sejarah masyarakat India karena berkaitan dengan pertempuran terakhir yang dilakukan oleh Raja Ashoka. Raja dari dinasti Maurya yang gencar melakukan ekspansi wilayah, di masanya mencakup hampir seluruh wilayah India saat ini hingga perbatasan Iran. Pertempuran di wilayah ini yang dikenal sebagai Perang Kalinga, begitu banyak merenggut korban di kedua pihak. Dikatakan sungai Daya tempat berlangsungnya pertempuran itu berubah berwarna merah oleh darah, yang sampai membuat Raja Ashoka tersadar akan petaka yang diakibatkan oleh perang. Ashoka kemudian berjanji untuk tidak akan melakukan perluasan wilayah dengan perang dan penaklukkan lagi, dan memilih untuk mengabdikan diri sebagai umat Buddha.



Sungai Daya dilihat dari kuil di atas bukit

Kemudian kami menuju ke Konark, untuk melihat Kuil Surya di sana. Yang termasuk dalam situs UNESCO. Butuh sekitar satu jam perjalanan dari Bhubaneswar. Melintasi pedesaan dengan persawahan yang pemandangannya sungguh mirip dengan pemandangan di pedesaan di Indonesia. Melihat warga yang rata-rata masih pake sarungan kemana-mana.

Masuk Kuil Surya di Konark perlu bayar 10 rupee buat orang lokal dan 250 rupee bagi warga asing. Tapi Suresh hanya membeli 2 tiket warga lokal, dia bilang tidak usah kuatir, kamu mirip warga lokal, tidak bakalan ditanya-tanyain. Saya pun mengekor dibelakang Suresh dengan berdebar-debar, dan benar saja petugasnya langsung mengambil 2 tiket tersebut dan menyobeknya kemudian membolehkan masuk tanpa bertanya apa-apa.



Kuil Surya atau Kuil yang didedikasikan buat Dewa Matahari, dibangun dengan menyerupai kereta kencana yang ditarik oleh beberapa kuda dengan ornamen berupa roda di sisi kuil. Roda tersebut sebagai penggambaran Dharmachakra. Sekilas saya lihat seperti Candi Prambanan di Indonesia.



Yang unik dan menarik di kuil ini adalah detail pahatan disekeliling bangunan utama kuil yang menggambarkan beberapa posisi hubungan sex. Melihat banyaknya pengunjung yang membawa anak-anak, menjadikan kuil ini sebagai wahana pembelajaran sex usia dini, hahaha.... atau entah bagaimana para orang tua menjelaskan jika ada anak mereka yang menanyakan arti ukiran yang ada di dinding kuil.


Saya berpikir mungkin saja ketika kuil ini dibangun, kondisi kerajaan begitu aman, sehingga Raja yang berkuasa pikirannya rada erotis. Atau tukang pahatnya yang erotis. Kuil dengan detail kamasutra seperti ini ditemukan juga di beberapa lokasi di India tengah.




Dari Konark kemudian menuju kota Puri. Bhubaneshwar dengan kuil Lingaraj, Konark dengan kuil Surya, dan Puri dengan Kuil Jagannath dikenal sebagai segitiga emas di Odisha. Sayangnya kuil Lingaraj dan Kuil Jagannath tidak dibuka bagi warga yang bukan penganut Hindu. Dari informasi Suresh, masuk ke kuil ini juga tidak dibolehkan membawa kamera bahkan ponsel. Kuil khusus umat Hindu yang dijaga ketat oleh polisi. Saya hanya bisa melihat puncak bangunan kuil dari kejauhan karena semakin dekat semakin tidak terlihat karena berada di balik dinding yang tinggi.

Sepanjang perjalanan, sebenarnya banyak juga kuil-kuil khas wilayah Odisha yang bagi saya menarik menjadi objek foto, tetapi supirnya tidak pernah singgah. Dia terus saja ngebut. Supirnya kurang punya kesadaran untuk menunjukkan tempat dan objek menarik bagi wisatawan asing seperti saya. Dia hanya tau mengantar dari titik ke titik lainnya.

Menyusuri jalan di tepi pantai dari Konark ke Puri

Lokasi terakhir yang kami kunjungi adalah Khandagiri dan Udaygiri yang lokasinya tidak jauh dari kota Bhubaneswar. Beberapa KM dari bandar udara Bhubaneswar. Lokasi ini berupa bukit batu yang masih terdapat bekas pahatan didinding bukit yang membentuk sebuak kuil dengan ruangan dan pintunya. Dulunya merupakan biara umat agama Jain, agama yang muncul di saat yang bersamaan dengan munculnya agama Budha, namun kalah populer. Gratis masuk ke Khandagiri. Sedangkan masuk Udaygiri perlu bayar 5 rupee buar warga lokal dan 100 rupee buat warga asing. Di sini saya lagi-lagi cuma bayar harga lokal, dengan modal tampang yang katanya mirip orang lokal.

Disambut monyet memasuki Khandagiri
 Kuil yang berada di atas puncak Khandagiri (dilihat dari Udaygiri)

Pemandangan Udaygiri dari atas Khandagiri

Udaygiri





Pemandangan kota Bhubaneswar dari atas Udaygiri

Wilayah Odisha memang banyak kuil dengan para Pandita yang melayani di setiap kuil. Mereka begitu agresif mengajak pengunjung masuk ke dalam kuil, seperti calo restoran yang memperebutkan pelanggan, mempersilakan masuk, memberikan cerita dan berkat, kemudian meminta bayaran. Saya sudah baca sebelumnya tentang hal ini, jadi saya selalu menolak ketika di minta masuk, karena saya memang bukan Hindu. Suresh yang dengan terpaksa masuk, kemudian kena palak 10 rupee. Kalau orang asing bisa dimintain lebih besar.

Suresh bergaya depan kuil.
 Tipikal kuil di wilayah Odisha


Wassalam,
Takbir