Sunday, May 26, 2013

Titik Nol – Makna Sebuah Perjalanan


Titik Nol – Makna Sebuah Perjalanan
Penulis: Agustinus Wibowo
(ISBN: 978-979-22-9271-8)


Aku menjuluki Agustinus ‘Si ceroboh yang selalu selamat’. Sepertinya di dahimu tertera besar-besar tulisan 3R –rob me, rape me, rescue me- rampok aku, perkosa aku, tolong aku. (Lam Li, petualang wanita asal Malaysia, sahabat Agustinus)

Dalam perjalanannya bertahun-tahun melintasi Negara, dia pernah dirampok, atau barang-barang berharganya dicuri oleh orang-orang yang baru dikenal atau tidak dicurigainya, dia sudah mengalami pelecehan seksual lebih sering daripada yang dialami oleh petualang perempuan; dia pernah berada dalam situasi-situasi berbahaya dan mengundang maut. Namun dia selalu berhasil lolos dan tak pernah kehilangan kepercayaannya kepada manusia, dan “kelemahannya” karena dengan lugu serta mudah percaya pada orang -sahabat atau orang tak dikenal- entah bagaimana menjadi kekuatannya, yang justru menolongnya keluar dari masalah pelik. Dia selamat keluar dari zona perang, penyakit mematikan, dll, bukan karena dia pintar atau waspada sepanjang waktu, tapi karena dia bisa menjalin ikatan dengan penduduk setempat di tempat-tempat yang dikunjunginya, dan sering kali, dia diberkahi kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal dan niat baik.

Melalui tulisannya, Agustinus tidak hanya berhasil mengingatkan dirinya pada kenyataan dalam perjalanannya sendiri, tapi ia juga membantu para pembaca merasa ikut terhubung dengan orang-orang  di negeri-negeri nun jauh di sana yang dalam kenyataannya tak penah mereka temui.

Buku ini menuturkan kisah Agustinus memulai petualangan yang dicita-citakannya, melakukan perjalanan darat dari Beijing hingga ke Cape Town, Afrika Selatan. Sebuah Grand Journey.  Perjalanan dimulai dengan kereta api kelas ekonomi dari Beijing menuju Urumqi, ibukota provinsi Xinjiang. Dilanjutkan menuju Kashgar, menembus Tibet yang dijaga ketat oleh polisi dan tentara Cina. Saya bisa merasakan sedikit kekecewaan Agustinus ketika mendapati Tibet yang sudah terkomersialkan. Kota Tibet berubah menyerupai kota-kota Cina lainnya. Menembus Nepal, merasakan ‘Surga Himalaya’ versi obral. Berleyeh-leyeh di Kathmandu hingga kehilangan dompet di tengah keramaian. Bagaimana dia melaporkannya ke polisi dan hanya menerima janji investigasi yang tidak jelas.

Agustinus memasuki India, negeri yang penuh kejutan, penuh tipu-tipu. Kejutan yang ditawarkan India itu laksana gempa. Begitu banyak formula kata orang tentang perjalanan di India. Ada yang bilang, datang ke India kita dipastikan akan mengalami horror 3S: Stolen, Sickness, Sex. Ada yang bilang India itu singkatan I Never Do it Again – sekali saja sudah bikin kapok. Ada yang bilang, India itu hanya memberi dua opsi: benci total atau cinta total, tak ada yang tengah-tengah. Ada pula yang bilang, setelah perjalanan di India kita jadi tipe manusia dengan dua kemungkinan: orang sentimental berhati lemah yang trauma disuguhi kemelaratan bertubi-tubi, atau sebaliknya, jadi orang yang kebal rasa, ketika pengemis dan anak jalanan jadi makhluk tembus pandang tak kasat mata.

Paradoks India itu adalah fantasi ala Bollywood di tengah kesemrawutan dan bau pesing. Pengalaman yang paling menyeramkan adalah ketika Agustinus menderita hepatitis di India. Pengalaman yang menjadi mimpi buruk setiap solo traveler.

Menembus Kashmir yang terkena gempa untuk menjadi sukarelawan. Memasuki Tharpatar yang merupakan wilayah gurun terpencil di Pakistan. Mendapati kericuhan di Lahore sebagai reaksi protes terhadap kartunis Denmark yang menggambarkan sang Nabi. Setiap kali dia berkenalan dengan warga Pakistan, dia akan berhadapan dengan pertanyaan yang sama, apa agama kamu? Menjadikan Agustinus banyak berpikir dan memaknai agama.

“Agama itu asalnya harus dari hati, dan kembali lagi ke hati. Dalam hati, kau temukan Tuhan. Kita berangkat dari hati, mengembara mencari-cari sampai akhirnya kita berpulang lagi ke hati. Hati adalah inti dari ajaran agama”

Perjalanan Agustinus mencapai Afghanistan. Negara yang hampir tiap hari diwarnai dengan ledakan bom. Justru di Negara yang paling tidak aman inilah dia banyak menghabiskan waktunya, mendapatkan pekerjaan sebagai fotografer untuk mengumpulkan  dana dan kemudian melanjutkan perjalanan berikutnya hingga ke Afrika Selatan. Sampai akhirnya Agustinus menerima kabar Ibunya yang menderita kanker. Panggilan hatinya untuk menjadi anak yang berbakti membuatnya harus kembali ke Tanah Air, merawat Ibu dan dengan menguras tabungannya sendiri mengantarkan Ibu untuk mendapatkan pengobatan yang terbaik di negeri leluhurnya, Tiongkok.

Agustinus menuliskan cerita buku ini dengan mengibaratkan kisah seribu satu malam, Shahrazad si putri yang cantik bercerita satu cerita setiap malam untuk memperpanjang hidupnya dari ancaman hukuman mati sang raja. Agustinus terus bercerita tentang pengalaman perjalanannya kepada sang Ibu, dengan harapan bisa memperpanjang pula hidup sang Ibu yang telah menderita akibat kanker dan menjelang dijemput ajal.

Perjalananku bukan perjalananmu, tapi perjalananku adalah perjalananmu. Masing-masing kita punya safarnama sendiri-sendiri, tapi hakikat safarnama itu adalah sama. Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali. Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang.


Wassalam,
Takbir

Sunday, May 19, 2013

The Hidden Face of Iran

The Hidden Face of Iran
Penulis: Terence Ward
(ISBN: 978-979-15037-6-1)
Terence Ward atau dipanggil Terry adalah warga Amerika Serikat yang orang tuanya bekerja di perusahaan minyak Iran sebelum Revolusi Iran 1979. Selama di Iran, keluarga Ward dilayani oleh pembantu rumah tangga mereka yang bernama Hassan. Hassan ini yang mengajari Terry dan ketiga saudara laki-lakinya tentang kebudayaan Iran. Keluarga Ward meninggalkan Iran di awal tahun 70-an. Hingga tahun 1998, ketika Ibu si Terry ini begitu ingin mengetahui nasib dan keberadaan Hassan, karena selama hampir 30 tahun meninggalkan Iran, Iran telah mengalami revolusi dan juga perang Iran-Irak dari 1980-1988. Apa yang terjadi dengan Hassan? berbekal foto tua tahun 1960-an dan ingatan Ibu si Terry tentang nama desa asal Hassan, Tudeshk, akhirnya mereka keluarga Ward (sepasang orang tua dan 4 anak lelaki) memutuskan mencari Hassan ke Iran. Negara dengan berjuta lelaki bernama Hassan. 

Meskipun tugas resminya adalah menangani urusan rumah tangga, bagi kami, peran Hassan jauh lebih besar.Bagaikan Virgil, dia memandu kami melewati labirin remang-remang berbagai pasar dan dengan penuh kasih sayang mengajarkan kepada kami kebiasaan-kebiasaan yang diperlukan untuk dapat lebih menyatu dengan kebudayaannya. Dia menjadi bagian yang penting dalam keluarga kami, memuaskan daya khayal kami, memperluas dunia kami. Tubuhnya yang kekar dan kuat, juga kumisnya yang hitam dan tebal menawarkan kebijakan sederhana yang berpadu dengan keramahtamahan. Sebagai ganti televisi, dia menceritakan kepada kami keantikan sikap "Mullah Nasruddin" dalam menghadapi dilema kehidupan, dan caranya memecahkan masalah dengan bijaksana namun jenaka. Di dalam matanya selalu terdapat kilatan cahaya. 

Begitulah Terry sedikit menggambarkan tentang Hassan dalam pendahuluan bukunya. Keluarga Ward tidak hanya menyambut baik Hassan dan Istrinya Fatimeh, tetapi juga Khorsid, Ibu Fatimeh yang bertugas merawat kedua anaknya, Ali dan Mahdi. Lalu ada pula saudara lelaki Hassan, Mohammad yang dikeluarkan dari angkatan bersenjata dan menganggur karena menggulingkan sebuah jip. Jadi, Mohammad pun menjadi supir keluarga Ward.

Setelah sepuluh tahun tinggal di Iran, perpisahan pun datang juga. Seperti diceritakan Terry, kami berdiri dengan muram di depan gerbang untuk mengucapkan selamat tinggal. Anehnya, saat itu adalah tanggal 4 Juli. Hassan dan Fatimeh memeluk kami sementara dengan khidmat, kami mengucapkan janji untuk tetap berhubungan dengan mereka. Untuk terakhir kalinya, Hassan menarik telingaku dan memberitahuku supaya "menghormati ibu dan ayah." Tenggorokanku tercekat, dan aku pun mengangguk untuk menyatakan janjiku. Hassan menyambutnya dengan kedipan puas. Fatimeh yang masih belia menggapai dan menggenggam tangan ibuku. Kedua wanita tersebut berpelukan erat. Waktu seolah berhenti selama perpisahan yang berjalan panjang itu. Lalu, kami pun mendengar jeritan klakson. Ketika taksi menjauh, pandangan terakhir kami melalui kaca jendela adalah Hassan, Fatimeh, bayi Maryam, si kecil Ali dan Mahdi, nenek Khorsid, dan Mohammad, bergerombol, melambaikan tangan dengan murung di depan pagar bercat merah.

Buku ini tidak sekedar menuliskan cerita perjalanan Keluarga Ward mencari Hassan, tetapi Terry juga banyak membahas tentang sejarah bangsa Persia, sejak raja pertama mereka Cyrus the Great atau yang orang Iran sebut Khorosh.

Pertemuan yang digambarkan Terry berlangsung dengan meriah dan gembira. Sementara semua orang berbicara berbarengan, air mata mengalir ke pipi Hassan. " Rasanya benar-benar bahagia bertemu dengan kalian! Sungguh, saya tak pernah lupa!" Dalamnya kerinduan Hassan juga begitu terasa ketika Hassan menatap semua keluarga Ward sambil berucap, "Hati saya sungguh merindukan kalian."

"Kalian tahu, pada hari kalian meninggalkan Teheran, kami menangis. Selama waktu yang kami habiskan di rumah kalian, ibu dan ayah kalian tak sekalipun memarahi kami. Mereka tak pernah menunjukkan bahwa mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kami. Mereka selalu bersikap sopan kepada semua orang. Mereka menganggap kami sebagai keluarga. Dan aku tak akan pernah melupakannya." 

"Pada malam hari aku berdoa untuk guruku, Ustad Ardabil, yang mengajarkanku membaca Al Quran ketika aku masih kanak-kanak di Tudeshk. Aku juga mengingat seorang wanita yang menolongku ketika aku berusia tujuh tahun. Aku pernah bekerja sebagai penggembala di Tajrish. Pada suatu hari, wanita ini melihatku lewat saat menggembalakan domba. Tubuhku sangat kotor dan bajuku compang-camping. Dia mengundangku masuk ke rumahnya dan menyuruhku mandi di kolam. Dia mengeramasi rambutku dan mencuci pakaianku. Aku tidak pernah tahu siapa dia sebenarnya, siapa namanya. Dan aku tak pernah melihatnya lagi. Untuk apa dia melakukan hal seperti itu? Mungkin sekarang dia sudah meninggal, namun aku selalu mendoakannya."

"Aku bukan siapa-siapa, hanya seorang pria sederhana. Aku bertanya kepada Tuhan, mengapa Dia melakukan hal ini padaku? Kalian lihat, aku tahu untuk apa kalian datang." Hassan terdiam dan menengadah menatap bulan. "Bahkan orang yang bersaudara pun tidak akan melakukan apa yang kalian lakukan. Aku menceritakan hal ini kepada salah seorang temanku, dan dia merasa terharu. Aku mengatakan kepadanya bahwa tiga puluh tahun yang lalu, aku bekerja untuk ibu dan ayahmu, dan mereka pergi ke tempat yang jauh. Lalu, mereka kembali, melewati lautan dan melintasi gurun. Aku mengatakan padanya bahwa cuaca sangat panas, gurun sangat panas, dan mereka tetap datang. Dia berkata 'oh aku tak bisa mempercayainya'. "

Hassan mencabut sebilah rumput, mencari kata yang tepat dalam bahasa Inggris untuk menjelaskan perasaannya.

"Mojezeh, Fatimeh mengatakannya kepadaku kemarin." 
"Apa maksudnya?" Aku bertanya
"Sama seperti ketika seorang pria meninggal dan Isa menghidupkannya kembali, inilah mojezeh"
"Bangkit dari kematian?"
"Ya."
Aku merasakan bulu kudukku meremang. Hassan menatap mata kami. "Dalem barayeh shoma tang meshawad, aku benar-benar merindukan kalian".

Kisah perjalanan menemukan kembali Hassan ini juga membuka sisi lain tentang citra Iran yang radikal, terisolasi, tidak modern, tidak ditemukan oleh Terry dan keluarganya. Buku ini juga menjadi semacam pembelaan dan remedy bagi Iran, “kampung halaman” Terry, kepada dunia internasional, terutama negaranya. Untuk mendukung semua ini, Terry juga mengisahkan berbagai kunjungannya ke situs-situs yang dianggap tabu untuk didatangi oleh orang asing, termasuk mengunjungi makam Ayatollah Khomeini. Semua ini merupakan upaya Terry untuk menunjukkan wajah yang sebenarnya dari Iran, yang jauh dari semua yang dicitrakan oleh negaranya, Amerika Serikat.

Dalam Epilog, Terry menutup karyanya dengan indah. Ia mengutip puisi karya pujangga Persia, Sa’adi: “ … Siapa pun yang tak mampu merasakan kepedihan orang lain, tak pantas menyebut dirinya manusia.” Kutipan ini diterakan di atas portal utama, di atas permukaan batu pualam putih, di gedung Mahkamah Internasional, The Hague, Belanda.


Wassalam,
Takbir

Stones Into Schools

Stones Into Schools
Penulis: Greg Mortenson
(ISBN: 978-602-8767-41-5)
Buku ini merupakan sekuel dari buku memoar Greg sebelumnya yaitu, Three Cups of Tea. Buku pertama yang berisi kisah bagaimana Greg tersesat dalam usaha mencapai puncak Karakoram 2 (K2) hingga tiba dengan tertatih dan tubuh lemah di desa yang tidak pernah didengarnya, Desa Korphe. Dia diberi tempat beristirahat dan dijamu dengan baik oleh Haji Ali dan keluarganya hingga dia pulih. Greg kemudian melihat kondisi anak-anak Desa Korphe yang belajar di alam terbuka tanpa guru, yang membuat dia merasa menemukan cara untuk membalas utang budi kebaikan Haji Ali.

Setelah berhasil mendirikan sekolah di Desa Korphe sesuai janjinya, ternyata Greg tidak bisa berhenti begitu saja, karena banyak pemuka dan pemimpin dari wilayah di sekitar Korphe yang menuntut dan berharap Greg juga mendirikan sekolah buat anak-anak mereka. Jumlah sekolah terus bertambah dari wilayah utara Pakistan hingga akhirnya merambah wilayah Afghanistan.

Tradisi dan tirani telah membelenggu para perempuan di daerah-daerah terpencil Pakistan dan Afghanistan untuk mengecap pendidikan tinggi. Mereka tidak berdaya menanti nasib mengubah takdir mereka. Namun, semua berubah sejak Greg Mortenson datang. Dengan menggalang dana ratusan ribu dollar dari para dermawan di seluruh dunia, dia membangun sekolah-sekolah khusus perempuan di kaki Himalaya tersebut. Dia melakukannya demi sebuah janji dan keyakinan dalam dirinya bahwa perempuan yang berpendidikan akan mengubah masyarakat secara menyeluruh.

Pepatah Afrika yang sering diucapkan Greg berulang-ulang, ibarat sebuah mantra, " Jika kita mengajar anak lelaki, kita mendidik seorang individual; tetapi jika kita mengajar anak perempuan, kita mendidik satu komunitas."

Buku ini mengisahkan bagaimana upaya Greg dan timnya dari Central Asia Institute (CAI) membangun sekolah yang selalu diawali dengan bagaimana dia menjalin hubungan dengan para penguasa lokal dan bahkan para mullah untuk mengijinkan dia mendirikan sekolah khusus anak perempuan. Sebuah usaha yang tidak mudah dan butuh waktu lama karena tradisi lokal yang menganggap bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Sebagaimana disampaikan oleh semua sesepuh desa yang bijaksana, segala yang benar-benar penting layak dijalani dengan sangat, sangat lambat.

Kemudian Greg menetapkan ukuran kesuksesan bukan dari berapa jumlah dana yang berhasil dia kumpulkan atau berapa jumlah sekolah yang berhasil CAI dirikan, tetapi sangat terkait dengan anak-anak perempuan  yang kehidupannya diubah melalui pendidikan. Buku ini kemudian banyak menceritakan kisah-kisah perjuangan anak-anak perempuan tersebut mengejar cita-cita mereka. Seperti yang dituliskan Greg dalam pendahuluan bukunya.

Ambil contoh kasus Jahan Ali, yang kakeknya, Haji Ali, merupakan nurmadhar (kepala desa) Korphe dan mentorku yang paling penting. Pada hari pertama aku bertemu Jahan, bulan september 1993, dia memintaku berjanji bahwa jika dia lulus, kami akan mengirimkannya ke program kebidanan - surat utang yang dengan penuh kemenangan dia tagih sembilan tahun kemudian. Setelah merampungkan pendidikan tinggi di Korphe, dia melanjutkan sekolah di kajian lanjut administrasi kebijakan publik. Sementara itu, di kampung halamannya, ayah Jahan berusaha menikahkan Jahan - saat ini perempuan muda ini berusia dua puluh tiga tahun, dan harga maskawinnya, berkat pendidikannya, sekarang telah melonjak menjadi lima puluh biri-biri jantan dewasa. Akan tetapi, Jahan menyatakan bahwa pertama-tama dia berniat menjadi pemimpin komunitas dan anggota parlemen Pakistan. "Aku tidak akan menikah sampai cita-citaku tercapai," demikian dia memberitahuku baru-baru ini. "Insya Allah, suatu hari nanti aku akan menjadi wanita super."

Kemudian ada pula kisah Shakila Khan, lulusan kelas pertama sekolah kami di Hushe, sebuah desa di lembah sebelah selatan Korphe yang terletak di bawah bayang-bayang Masherbrum, salah satu pegunungan tertinggi di muka bumi ini. Berada di tahun ketiganya di Rumah Sakit Fatima Memorial di Lahore dan mendapat nilai rata-rata sembilan puluh, Shakila rencananya akan menjadi dokter perempuan berpendidikan lokal pertama yang berasal dari warga Baltistan yang berpenduduk 300.000 orang. Dia saat ini berusia dua puluh dua tahun dan berencana kembali ke Lembah Hushe untuk bekerja di tengah masyarakatnya. "Dua target utama saya," ujarnya, "adalah saya tak ingin perempuan mati saat melahirkan atau bayi-bayi mati pada tahun pertama mereka."

Terakhir, pertimbangkan Aziza Hussain, yang tumbuh besar di Lembah Hunza, tak jauh dari titik persimpangan Jalan Raya Karhuram ke Cina. Setelah lulus dari SMA Putri Pemerintah Federal Gulmit pada 1997 dan merampungkan program kebidanan dengan beasiswa CAI, Aziza juga bersikeras kembali ke kampung halaman guna menerapkan keterampilan yang dia peroleh dalam komunitasnya sendiri - suatu wilayah tempat dua puluh perempuan mati setiap tahun saat melahirkan anak. Sejak Aziza kembali pada tahun 2000, tak satu pun perempuan di area itu meninggal saat melahirkan.



Wassalam,
Takbir

Friday, May 10, 2013

Three Cups Of Tea


Three Cups Of Tea
Penulis: Greg Mortenson dan David Oliver Relin
(ISBN: 978-979-114-185-7)

... (Di Pakistan dan Afghanistan), kami minum tiga cangkir teh saat membicarakan bisnis; pada cangkir pertama engkau masih orang asing; cangkir kedua, engkau teman; dan pada cangkir ketiga, engkau bergabung dengan keluarga kami. Sebuah keluarga yang siap untuk berbuat apapun-bahkan untuk mati.”
Haji Ali, Kepala Desa Korphe, Pegunungan Karakoram, Pakistan.

Buku ini merupakan catatan atau memoar seorang pendaki gunung asal Amerika, Greg Mortenson, yang berhasrat menaklukkan puncak gunung tertinggi kedua di dunia yang berada di Himalaya, yaitu Karakoram 2 atau lebih dikenal dengan singkatannya K2. Hasrat ini terutama diinspirasi oleh semangat hidup adiknya, Christa, yang sejak kecil mengidap meningitis (radang selaput otak). Greg sangat menyayangi adiknya ini, dan selalu berusaha menyenangkannya. Hingga akhirnya Christa meninggal dunia pada usia 23 tahun.

Setelah kematian Christa, Greg mengambil kalung batu ambar, dari sedikit peninggalan sang adik. Benda itu masih mengeluarkan aroma asap api unggun yang mereka buat pada saat terakhir kali Christa mengunjungi Greg di California. Greg membawa kalung itu ke Pakistan, terbungkus dalam kata, bendera doa Tibet, serta sebuah rencana untuk menghormati kenangan tentang Christa. Greg adalah seorang pendaki, dan dia memilih untuk melakukan penghormatan paling agung yang diketahuinya. Dia akan mendaki K2, puncak yang dianggap paling sulit didaki di muka bumi oleh sebagian besar pendaki gunung, dan meninggalkan kalung sang adik di sana, di ketinggian 14.133 meter.

Bukan hanya gagal mencapai puncak, Greg juga tersesat dan mengalami keletihan kronis. Setelah berjalan kaki tertatih-tatih turun gunung selama tujuh hari, Greg tiba di Korphe, desa yang bahkan tak pernah dilihatnya di peta. Di desa itu, dia disambut oleh Haji Ali, Nurmadhar atau kepala desa. Dia diberi tempat berteduh dan dirawat hingga benar-benar pulih. Greg baru sadar dikemudian hari bahwa, teh manis yang selalu disuguhkan kepadanya adalah barang mewah buat desa terpencil itu yang sulit mendapatkan gula. Selimut merah tua indah membuat Greg merasa begitu terhormat karena dia melihat selimut itu jauh lebih bagus dari yang dipakai oleh tuan rumah sendiri, ternyata dulunya adalah benda terbagus dari hantaran maskawin menantu Haji Ali. Greg tak bisa membayangkan bahwa dia akan sanggup melunasi utang yang dirasakannya terhadap para tuan rumahnya di Korphe. Hingga ketika dia berjalan-jalan di sekitar desa dan melihat anak-anak yang duduk berlutut di atas tanah yang dingin membeku, belajar di ruang terbuka tanpa seorang guru, yang ternyata hanya datang dalam 3 hari selama seminggu, dan membiarkan anak-anak tersebut mengerjakan tugas pelajaran di hari berikutnya.

Berdiri di samping Haji Ali, di atas tubir dengan sawang membuka luas ke arah lembah, dengan pandangan sejernih kristal pada keperkasaan pegunungan yang menyebabkannya menyeberangi separuh bola dunia guna menguji diri, mendaki K2 untuk meletakkan serenceng kalung di puncaknya tiba-tiba terasa amat remeh. Ada hal lain yang jauh lebih berarti yang bisa dilakukannya untuk mengenang adiknya.

Diletakkannya kedua tangannya di atas pundak Haji Ali, seperti yang kerap dilakukan lelaki tua itu kepadanya semenjak pertama kali mereka berbagi secangkir teh. “Aku akan membangun sebuah sekolah untuk kalian,” katanya, belum menyadari bahwa dengan kalimat tersebut, jalan hidupnya telah berbelok menyusuri jalur lain, sebuah jalur yang jauh lebih berkelok, lebih sulit, daripada belokan keliru yang telah diambilnya saat meninggalkan puncak K2.

Buku ini berkisah bagaimana Greg, yang hanya seorang petugas medis freelance, mengumpulkan dana dan kembali ke Korphe untuk membangun sekolah yang dijanjikannya. Dari satu sekolah yang kemudian bertambah menjadi sekitar lima puluh sekolah dalam satu dekade. Di buku ini juga banyak membahas tentang budaya masyarakat Pakistan terutama yang hidup di sekitar pegunungan Himalaya.

Puncak K2

Wassalam,
Takbir