Thursday, March 22, 2012

Menonton Sepakbola di Jepang


Sebagai gibol alias gila bola, tentunya tidak akan melewatkan kesempatan untuk menyaksikan langsung pertandingan sepak bola liga Jepang atau yang lebih dikenal dengan J-League. Karena di Jepang saya berdomisili di Yokohama, maka sayapun menjadi fans dari klub Yokohama F Marinos. Sejak pertama kali tiba di Yokohama, saya berusaha untuk selalu hadir di stadion mendukung Marinos. Marinos menggunakan Nissan Stadium sebagai venue pertandingan kandang mereka. Nissan Stadium adalah yang terbesar di Jepang, dan merupakan stadium tempat dilangsungkannya pertandingan Final Piala Dunia 2002 antara Brazil dan Jerman yang kemudian dimenangkan Brazil 2-0.

Harga tiket termurah untuk pertandingan J-League adalah 2200 yen atau sekitar 250 ribu rupiah. Dengan harga yang sama, saya bayar untuk tiket kategory-2 pertandingan final Piala Asia 2007 di Jakarta. Dengan harga segitupun stadion selalu ramai. Dan yang saya suka di sini, nonton sepakbola sudah menjadi seperti rekreasi keluarga. Mereka membawa banyak bekal makanan (umumnya bento alias nasi kotak) ke stadion. Jumlah penonton perempuan di stadion sepertinya sama banyaknya dengan penonton pria. Anak-anak dan pelajar mendapat potongan harga tiket. Penonton juga tidak memandang usia. Tidak sedikit warga senior alias kakek dan nenek yang datang ke Stadion. Bahkan saya pernah duduk bersebelahan dengan 2 orang nenek yang sengaja datang dari Nagoya lengkap dengan atribut suporternya untuk mendukung tim Nagoya Grampus. Padahal Yokohama - Nagoya cukup jauh, sekitar 5 jam dengan bus atau 1.5 jam dengan Shinkansen.

Yang menarik saat kita menonton langsung di stadion adalah menyaksikan atraksi dan yel-yel para suporter. Ciri khas suporter Jepang adalah banyaknya bendera-bendera tim masing-masing berukuran besar yang dikibarkan selama pertandingan. Di sini para suporter kedua tim sudah diatur posisinya di stadion. Mereka di posisikan di sisi stadion yang berlawanan. Walaupun begitu suporter tamu juga kadang duduk berbaur dengan suporter tuan rumah dengan atributnya masing-masing. Ketika pertandingan berlangsung tidak jarang suporter tuan rumah meneriakkan "huuuuu.... " ketika lawan mendapatkan bola. Namun itu semua berakhir ketika pertandingan berakhir. Dan apapun hasil akhir pertandingannya, dengan tertib mereka meninggalkan stadion dan tidak lupa untuk membersihkan sampah sisa bekas makanan masing-masing. Bukan cuma pemain di lapangan yang menunjukkan sikap sportif, tapi juga para suporternya. Mereka sejatinya, penikmat pertandingan sepak bola.


Saya ingat ketika masih SD di kampung. Setiap kali ada turnamen antar tim kampung alias tarkam, seusai shalat Ashar dengan berjalan kaki saya terburu-buru untuk mendapatkan spot terbaik di sisi lapangan. Maklum, karena gratis kita mesti datang cepat-cepat agar bisa duduk didepan. Duduk ditanah tentunya dekat garis pinggir lapangan. Hanya menyisakan ruang setengah meter buat penjaga garis berlari-lari melaksanakan tugasnya. Jika terlambat datang, tidak jarang dengan tubuh kecil saya menyelusup di antara kaki orang dewasa agar bisa nonton lebih dekat.

Berada di tengah-tengah suporter FC Tokyo, ketika menyaksikan pertandingan AFC Champions cup di Tokyo National Stadium, antara FC Tokyo vs Ulsan Hyundai dari Korea Selatan.


Tanpa pernah membayangkan sebelumnya. Di Jepang saya bisa menyaksikan pertandingan Piala Dunia antarklub 2011 yang pertandingan final dan semifinalnya di langsungkan di Nissan Stadium, Yokohama. Menonton langsung FC Barcelona dengan Lionel Messi, menjadi pengalaman luar biasa.

Messi bersiap-siap melakukan tendangan pojok


Dipertandingan semifinal, beberapa pemain Santos FC dari Brazil yang sudah lebih dulu lolos ke Final, ikut menyaksikan Barca bermain. Dan saya, merasa menjadi penonton paling beruntung hari itu, duduk berada di tengah-tengah mereka ^_^ V

2 Pemain Santos yang mungkin sesama gibol juga kenal




Wassalam,
Takbir

Sunday, March 18, 2012

Malam di Shinjuku


Shinjuku adalah salah satu distrik di Tokyo. Lebih terkenal dengan Stasiunnya. Yang merupakan stasiun teramai dan tersibuk di Jepang dan konon kabarnya di Dunia. Melayani lusinan jalur kereta lokal, ekspres, dan subway. Rata-rata melayani 2 hingga 3 juta penumpang per hari. Stasiun shinjuku berperan sebagai stasiun interkoneksi Tokyo dengan kota-kota suburban disekitarnya, dan juga sebagai terminal pemberhentian bus antar kota dari Tokyo ke kota-kota lain di wilayah Jepang.



Berkeliling di sekitar Shinjuku pada malam hari, sekaligus kita bisa melihat ramainya kerlap-kerlip lampu neon di jalanan dan pusat-pusat perbelanjaan. Keramaian kerlap-kerlip seperti ini adalah pemandangan umum terutama di sekitar stasiun kereta utama di Jepang. Menurut saya Jepang benar-benar pengkonsumsi energi yang sangat besar. Bukan cuma karena memang Jepang adalah negara Industri, tetapi semua fasilitasnya bergantung pada energi listrik. Kereta listrik, lampu hias sekaligus penerangan jalan, papan reklame dan tangga jalan di mana-mana, lift yang tersedia disetiap stasiun dan bahkan di jembatan penyeberangan. Meski begitu, selama disini saya belum pernah mengalami yang namanya mati lampu. Untuk memenuhi kebutuhan energinya, Jepang mengimpor minyak dan gas. Melihat begitu besarnya kebutuhan energi di Jepang, maka suatu keharusan bagi mereka untuk memiliki reaktor nuklir.

Kerlap-kerlip di sekitar Shinjuku






Kabuki-cho adalah wilayah 'red light' alias daerah 'remang-remang' di Tokyo. Letaknya tidak jauh dari pintu keluar East Exit Stasiun Shinjuku. Detak kehidupan wilayah ini baru begitu terasa menjelang malam. Memasuki wilayah ini memang terasa sekali aura esek-eseknya. Foto-foto dan sosok wanita cantik berpakaian minim terpampang dan berkeliaran dimana-mana. Para germo gencar menawarkan 'stok-nya' pada setiap pria yang lewat, termasuk saya. Tetapi saya cukup pura-pura tidak mengerti maksud mereka, geleng-geleng kepala, dan mempercepat langkah menjauhi germo-germo tersebut. Di area Kabuki-cho terlihat lebih banyak polisi yang berpatroli. Yah, namanya juga wilayah remang-remang, potensi kriminalitasnya juga lebih tinggi. Jumlah CCTV yang dipasang diwilayah ini juga banyak. Disarankan juga untuk hati-hati agar tidak sembarang memasuki tempat makan atau restoran di wilayah ini, karena bisa dikenakan harga yang terlalu tinggi dan kalau anda menolak bayar bisa berurusan dengan para Yakuza yang menguasai wilayah ini. Tapi kalau untuk sekedar berkeliling sih aman-aman saja. Asal kita bisa menjaga gerak-gerik kita tetap sopan.

Gerbang ke wilayah Kabuki-cho





Wassalam,
Takbir

Friday, March 2, 2012

Sekilas Kehidupan Warga Jepang

Di beberapa postingan saya 'meliput' wajah-wajah orang dari negara yang saya kunjungi. Tapi untuk Jepang sepertinya tidak perlu. Tanpa bermaksud rasis, muka orang Jepang mirip etnis Cina yang banyak di Indonesia. Bermata sipit dan berkulit putih. Mungkin lebih menarik menceritakan bagaimana tingkah laku keseharian mereka di negerinya sendiri. Cerita berikut merupakan hasil pengamatan saya sehari-hari selama di Jepang. Dari pandangan dua mata saya. Jadi sangat mungkin jika anda memiliki pandangan yang berbeda dari apa yang saya lihat dan amati.

Orang Jepang rata-rata jalannya cepat, menurut saya alasannya antara lain karena mereka terbiasa untuk mengejar kereta yang punya jadwal berangkat yang tetap. Pemandangan biasa terutama di stasiun melihat orang-orang pada berlarian khawatir ketinggalan kereta, padahal paling lama juga 10 menit kemudian kereta berikutnya tiba jika ternyata ketinggalan. Di subway Tokyo malahan saya perhatikan, begitu kereta berhenti di stasiun transit dan pintu terbuka, orang-orang pada berlomba berlarian keluar seperti sekawanan domba yang dibukain pintu kandang, mengejar kereta berikutnya. Juga saat menyeberang jalan di perempatan, saya juga jadi ikut-ikutan terbiasa berlarian jika mengejar lampu hijau untuk pejalan kaki yang kedap-kedip yang artinya bentar lagi merah dan dilarang menyeberang.

Selama perjalanan dengan kereta, kegiatan yang umum dilakukan oleh warga Jepang adalah membaca, main pocket game, mendengarkan musik dengan earphone/headphone atau tertidur. Komik ternyata juga sangat umum dibaca oleh orang-orang dewasa. Sama halnya dengan main game yang tidak pandang usia. Tetapi umumnya oleh para pria dewasa. Jarang saya lihat wanita dewasa yang bermain pocket game. Di toko mainan juga lebih banyak orang dewasa dibandingkan anak-anak. Nah loh, saya sendiri ngapain di toko mainan? Hehehehe....

Jam sibuk stasiun di pagi hari adalah dari jam stasiun dibuka yaitu jam 5 pagi hingga jam 9 pagi. Terutama yang menuju kearah Tokyo. Rata-rata warga naik kereta hingga satu setengah jam untuk mencapai tempat kerja masing-masing. Saya beberapa kali berangkat pagi, sekitar jam 6 pagi menuju Tokyo dari Yokohama, dan itu sudah sangat padat. Penumpang desak-desakan dalam kereta, bersama-sama merasakan jadi ikan sarden. Bahkan walau sudah penuh menurut saya, orang-orang Jepang tetap saja main dorong-dorong (pake punggung) untuk mendesak orang-orang agar lebih ke dalam. Di subway Tokyo, saat jam sibuk pagi hari terlihat banyak petugas stasiun yang berjaga di setiap pintu gerbong, dan kadang membantu mendorong penumpang ke dalam agar pintu kereta bisa tertutup. Sekitar jam 7 hingga jam 8, kereta ramai oleh anak sekolahan. Dan jam 8 hingga jam 9, ramai oleh pekerja kantoran. Kereta mulai lebih lega setelah jam 9 pagi.

Yang saya perhatikan di pagi hari, toilet di kantor yang berjumlah sekitar 8 hampir selalu penuh. Wah orang-orang ini saking buru-burunya ke kantor, hingga rutinitas buang hajat di pagi harinya juga dilakukan setelah tiba di kantor... Hahaha

Kalau di Jakarta jam macet pulang kantor sekitar jam 5 sore hingga jam 7 malam, maka di Jepang kereta mulai ramai mulai pukul 7 malam hingga kereta terakhir sekitar pukul 1 pagi. Selain karena orang Jepang sepertinya gila kerja, mereka juga sungkan pulang duluan jika rekan atau bosnya belum pulang. Jikapun harus pulang duluan, mereka akan saling mengucapkan "O-saki ni shitsurei shimasu" yang artinya, "Maaf saya permisi dulu".
Kenapa pembangunan di Indonesia ketinggalan oleh Jepang? bisa saya lihat dengan jelas dari semangat kerja warganya. Orang Jepang punya ungkapan umum yang seringkali diucapkan, "otsukari-sama deshita", yang bisa berarti terima kasih atas kerja kerasnya. Biasa diucapkan oleh atasan kepada bawahan dan sebaliknya, kepada sesama rekan kerja, kepada orang lain yang memberi bantuan, atau oleh istri kepada suaminya yang pulang sehabis bekerja.

Oiya, bekerja di Jepang kita akan lebih banyak dituntut untuk beradaptasi dengan cara kerja mereka. Yang menurut saya benar-benar kaku dan prosedural. Customer adalah Tuhan di Jepang. Customer selalu benar. Mereka sangat detail dalam segala hal. Tidak mentolerir kesalahan sekecil apapun. Karena dengan cara Jepang, setiap resiko dari pekerjaan seharusnya sudah bisa diprediksi sebelum pekerjaan dimulai. Mereka menyebutnya Kiken Yoshi atau risk detection. Dan jika terjadi sesuatu diluar hal-hal yang tidak diinginkan juga seharusnya sudah bisa kita perkirakan dan siapkan cara penanganannya. Sebelum sebuah prosedur mendapat persetujuan dari Customer, prosedur itu harus melalui uji coba berkali-kali dan berulang-ulang hingga benar-benar sempurna atau buat saya diulang-ulang sampai bosan. Semuanya bisa kita terima karena Customer disini membayar dimuka untuk setiap service yang mereka inginkan. Jadi wajar, jika mereka menuntut kesempurnaan. Kadang saya berpikir cara kerja mereka kelihatan tidak efektif, sangat kaku dan lambat karena harus benar-benar sesuai prosedur. Sangat dilarang melakukan sesuatu diluar prosedur tetap kecuali dengan persetujuan Customer. Tetapi yang saya lihat kenyataannya bahwa dengan cara begini ternyata negara mereka sangat maju. Jika terjadi kesalahan kecil, Customer akan menuntut anda penjelasan dan permohonan maaf tertulis. Namun jika kesalahannya fatal, maka siap-siaplah dipanggil untuk menghadapi Gomennasai (baca: permohonan maaf) Meeting, atau rapat hanya untuk dimaki-maki dan dibentak-bentak oleh Customer. Bekerja di Jepang, saya jadi agak parno, takut berbuat salah. Hahaha...

Saat musim dingin, pemandangan biasa melihat orang Jepang banyak yang pakai masker flu. Mungkin mereka pada bengek terserang flu dan menghindari agar tidak menular ke orang sekitarnya yang juga pake masker? Dan yang biasa juga di kantor, mereka berisik ketika membersihkan hidungnya dari bengek. Sesuatu yang kelihatannya biasa disini tapi tidak sopan menurut standar orang Indonesia. Iya gak?

Orang Jepang umumnya selain lebih ramah dan sopan, saya lihat mereka lebih sentimentil atau apalah sebutannya. Mereka mudah terharu dan menangis menurut saya. Hal biasa terlihat dalam sebuah pertandingan jika pihak yang kalah akan menangisi kekalahannya. Bahkan dalam pertandingan Sumo di televisi, saya melihat pesumo yang kalah ada yang menangis. Buset, ga malu ama body? Atau ketika menyaksikan liputan di televisi yang memperlihatkan kemalangan atau perpisahan yang di tambah iringan lagu sedih. Mata mereka segera berkaca-kaca... hiks hiks hiks.. Terus terang pemandangan seperti ini jarang saya lihat di Indonesia.

Keceriaan para penari di Shin Yokohama Festival 2011
Para homeless di Jepang akan terlihat di stasiun pada malam hari menjelang stasiun akan tutup. Apalagi di musim dingin. Karena di stasiun-lah mereka sedikit lebih hangat dan terlindung dari hujan atau salju jika sedang turun. Saya juga melihat pemandangan jarang, yaitu beberapa rumah atau tepatnya gubuk dari terpal, yang terlihat di sebelah kiri tiap kali naik kereta dari arah Kawasaki menuju Yokohama. Semaju-majunya Jepang tetap saja ada warganya yang hidupnya bisa dikatakan tidak seberuntung mayoritas warganya yang lain.

Di Tokyo, ketika berjalan di daerah Azabudai, saya melihat banyak polisi anti huru-hara dengan peralatan lengkap memblokade jalan yang menuju ke kedutaan Rusia. Ternyata sedang ada demonstrasi anti-Rusia. Perlu di ketahui, Jepang dan Rusia masih sedang mempersengketakan status kepulauan Kiril yang berada di utara Pulau Hokkaido. Para demonstran terdiri dari sekumpulan warga Jepang dari kelompok ultra nasionalis. Kesan ramah warga Jepang tidak terlihat sama sekali dari orang-orang ini. Mereka berteriak-teriak dengan pengeras suara (yang sepertinya mengecam Rusia) dengan nada membentak, yang membuat saya agak gentar juga. Menyaksikan mereka saya diberitahu agar tidak terlalu dekat, karena katanya mereka bisa berubah jadi sangat berbahaya.

Tapi secara umum dan kebanyakan yang kita temui, orang Jepang adalah orang yang sangat ramah. Selain memang negeri mereka yang indah, sarana umum yang sangat memadai, didukung sikap mereka yang ramah, maka tidak heran Jepang menjadi salah satu tujuan traveling terfavorit dan teraman tentunya. Yang penting dari kita sendiri sebagai pendatang juga harus memperlihatkan sikap yang ramah dan respek kepada mereka.


Wassalam,
Takbir