Thursday, December 25, 2008

Nizhny Novgorod, Russia (3)

Tidak terasa sudah sebulan saya di kota Nizhniy, Russia. Sekarang suhu sudah mencapai -10 derajat celcius, tapi salju tak kunjung turun. Padahal suhu segitu sudah bikin ujung jari saya sakit jika berlama-lama di luar di udara terbuka, sakitnya seperti abis kejepit pintu, belum lagi telinga yang ikut-ikutan sakit hingga seperti sudah mati rasa. Selama di sini baru sekali salju turun. Kata teman-teman, biasanya salju turun dari bulan November hingga bulan Maret dan tingginya bisa mencapai sepinggang. Makanya mereka sendiri juga heran kenapa salju gak turun-turun, sambil bercanda, mereka bilang mungkin gara-gara kedatangan saya salju jadi gak mau turun... Hehehe.. Kota Nizhniy dulunya adalah kota yang tertutup bagi orang asing, soalnya di kota ini banyak terdapat pabrik-pabrik yang memproduksi peralatan militer bagi angkatan bersenjata Russia, bahkan radar anti Stealth (pesawat silumannya Amerika) juga diproduksi di sini. Sekarang ini juga, pendatang jumlahnya sedikit dan umumnya mereka adalah pelajar asing.

Ketika ada teman yang istrinya baru melahirkan, di kantor di adain pesta kecil-kecilan untuk merayakannya selepas jam kerja. Pesta tanpa vodka bagi orang Russia, bukan pesta namanya. Saya juga ditawarin untuk minum, tapi saya tentu saja menolak. Tanpa vodka, musim dingin di Russia sangat berbahaya alasan mereka. Saya sempat cium baunya yang sangat tajam menusuk hidung, mirip bau air tape ketan tapi jauh lebih tajam. Mereka juga sekali teguk itu, sekitar ¼ gelas aqua kemudian setelah itu mereka minum jus. Mungkin untuk menetralkan rasa vodka-nya. Tapi ada yang minumnya vodka segelas aqua full sekali tenggak, yang lain juga bilang kalo yang satu ini superman... hehehe... Dengan rajin minum vodka kita akan tetap sehat dan terhindar dari segala penyakit katanya. Mereka bilang, kalau saya pulang ke Indonesia dan menceritakan bahwa saya pernah minum Vodka dengan orang Russia, pasti saya akan jadi disegani... hehehe, mabuk-mabukan kok bangga yaa. Bagi mereka, minum beer itu udah ga ngefek, seperti jus aja kata mereka. Kalau sudah tidak ada Vodka atau whiskey baru mereka minum beer. Sebentar lagi tahun baru, dan 1 january hingga 10 january adalah hari libur utama di Russia. Selama 10 hari itu mereka habiskan dengan minum-minum Vodka hingga teler dan lupa waktu.

Orang Russia mayoritas memeluk agama Kristen Ortodoks, dan mereka merayakan hari Natal bukan pada tanggal 25 Desember seperti umat Kristen yang lainnya tapi tanggal 7 January. Perbedaan ini dengan alasan penggunaan sistem kalender yang berbeda. Di awal bulan desember 2008 ini, kepala gereja Ortodoks Russia meninggal dunia. Dan hampir selama seminggu, semua siaran TV Russia menampilkan profil sang pastur dan prosesi pemakamannya yang dihadiri oleh para kepala negara yang juga menganut Kristen Ortodoks, seperti Russia, Serbia-Montenegro, Moldova, Yunani, Rumania, Belarusia, Bulgaria, Macedonia, Syprus, Georgia, Ukraina, dan Armenia. Kalau Gereja Katolik berkedudukan di Roma, maka Gereja Ortodoks Russia berkedudukan di Moscow. Dalam gereja Orthodoks tidak ada 1 pemimpin utama yang memimpin semua gereja Orthodoks seperti halnya Paus bagi umat Katholik yang berkedudukan di Roma. Pemimpin gereja Orthodoks di setiap region atau Patriarkh disebut Bishop. Yang jelas kelihatan beda di antara keduanya adalah penampilan para pendetanya. Kalau para kardinal katolik atau pendeta protestan rata-rata tidak memelihara kumis dan janggut, sebaliknya para pendeta Ortodoks tampil brewokan dengan janggut dan kumis yang dibiarkan panjang hingga ke dada. Yang berbeda juga saya lihat adalah sombol salibnya yang ada tambahan palang kecil di atas dan di bawah palang utamanya. Dan yang paling unik adalah bentuk kubah gerejanya yang mirip mesjid cuma beda simbol yang nancap di atasnya aja, kalo mesjid pake bulan sabit, maka ini dengan salib. Di siaran TV saya lihat di sebuah kota, ada gedung gereja yang dibeli oleh komunitas Muslim dan mereka tinggal mengganti salib di puncak kubah dengan tanda bulan sabit. Yang patut kita syukuri sebagai umat Islam adalah komunitas muslim yang terus bertambah di Russia.

Sepanjang tahun 2008 ini, di Moscow, walikotanya memberi ijin untuk pembangunan 11 buah mesjid baru, karena jumlah mesjid yang ada sekarang sudah tidak mampu menampung umat muslim yang terus bertambah. Di kota Nizhniy sendiri, saya lihat dari siaran berita TV, ketika perayaan Idul adha (Muslim Russia menyebutnya Kurban Bayaram) mesjid yang ada sudah tidak bisa menampung jamaah yang meluber sampai ke jalan. Tapi saya tidak pernah sekalipun melihat ada acara siaran televisi yang menyiarkan siaran agama Islam yang ada juga siaran agama Ortodoks. Maklumlah Ortodoks sudah seperti agama negara di Russia. Sebuah tantangan bagi syiar Islam di Russia, selain itu mereka juga menghadapi banyak sekali perilaku orang Russia yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kebiasaan mabuk minum Vodka dan perilaku seks bebas, 2 perilaku yang sudah seperti bara dan api.

Wassalam

Такбир

Tuesday, December 16, 2008

Nizhny Novgorod, Russia (2)

Minggu siang, saya coba jalan-jalan melihat-lihat ke taman yang berada di seberang jalan dari apartemen saya. Kelihatannya lagi diadain acara, sedikit rame soalnya. Para orang tua membawa anak-anaknya jalan-jalan, padahal cuaca dingin banget (bagi saya yah). Di setiap channel TV selain menayangkan waktu, juga ditampilkan suhu yang terupdate. Dan saya lihat suhu sekarang 0 derajat celcius. Orang-orang sini memperingatkan bahwa nanti cuaca akan lebih buruk, bisa mencapai -13 derajat celcius (Yang terburuk mencapai -35 derajat celcius)... Wahh.

Waktu sholat di sini juga tentu tidak seperti di Indonesia, Subuh sekitar jam 07.00 (Matahari baru terbit pukul 08.00) dan pada pukul 16.00 matahari sudah terbenam. Pada musim dingin siang menjadi lebih singkat. Selama di sini saya menjamak sholat dhuhur dengan ashar dan magrib dengan Isya, karena saya belum bisa membedakan perbedaan waktu masing-masing, jadi supaya aman saya jamak saja. Lagian kan, saya di sini sebagai musafir ceritanya.

Info dari Daniel, komunitas muslim di kota Nizhniy mencapai 5% dari populasi kota. Cukup banyak katanya. Dan mereka mayoritas adalah orang Tartar (suku bangsa yang mendiami negara-negara Asia Tengah seperti Kazakhstan, Uzbekistan, Azerbaijan, Tajikistan). Di kota Nizhniy Cuma ada satu masjid (ntar kalo sempat saya kunjungi, saya pasang fotonya di sini), Daniel menyebutnya Moslem church hwehehehe. Daniel sempat menanyakan, saya masuk muslim apa, Sunny atau Syiah? Saya cuma menjelaskan bahwa mayoritas muslim Indonesia, yang mencapai 90% dari total populasi, (kalau bisa dibilang hampir semuanya) menganut paham sunny. Dan saya tidak terlalu paham apa perbedaan antara Syiah dan Sunny, itu urusan orang Arab saya bilang. Daniel dan juga teman-teman yang lain menanyakan apakah saya pernah minum Vodka? Saya bilang tidak, saya tidak minum alkohol, karena dilarang dalam agama saya (Islam). Mereka menjelaskan, rata-rata muslim di Nizhniy juga minum Vodka dengan alasan ini pengecualian bagi mereka yang hidup di tempat yang bercuaca dingin. Saya gak tau apa itu di benarkan atau tidak, tapi saya sendiri tetap gak mau mencoba. Bukan cuma karena alasan dilarang agama, tapi saya sendiri memang tidak mau mencobanya, dan mudah-mudahan saya bisa bertahan tanpa mencobanya atau bahkan menyentuhnya. Bagi orang Russia, Vodka menjadi semacam sarana relaksasi untuk menghangatkan badan, yang tentu saja kalau diminum dalam jumlah banyak akan mengakibatkan mabuk. Daniel sendiri sangat suka minum Vodka, katanya setiap akhir pekan seharian di rumah, bisa dia habiskan hanya dengan minum Vodka. Dia minum sekitar 200 gram, selebihnya akan membuat mabuk katanya. Dan, vodka dengan kadar 1000 gram (1 Kilo !!!!) bisa membunuh orang, apalagi yang pertama kali mencobanya. Tapi, kata si Daniel, di Russia banyak orang yang bisa minum lebih dari sekitar 1000 gram dan mereka tetap bisa jalan... Hahaha... Waktu di Hotel, saya melihat ada orang yang lalu lalang lobby dengan oleng karena teler berat kali, tapi orang-orang juga cuek-cuek aja, pemandangan biasa bagi mereka. Daniel memperingatkan agar hati-hati kalau keluar malam, karena banyak orang mabuk di jalan selain itu ada semacam kelompok rasis yang menyebut diri mereka ‘Skinhead’ yang suka menganiaya orang asing. Kelompok ini banyak terdapat di Moskow, di Nizhniy ada juga tapi sangat sedikit dan sangat jarang terdengar ada penganiayaan terhadap orang asing.
Jangan kan malam, siang aja saya ogah kalau ga perlu-perlu amat, dinginnya itu loh.


Wassalam

Такбир

Nizhny Novgorod, Russia (1)

Senin pagi, 24 November 2008, dari Hotel OKA (Oka ternyata merupakan nama sungai utama yang melalui kota Nizhniy Novgorod) saya berangkat menuju kantor berbekal alamat yang diberikan yaitu Gagarina Avenue 168a. Saya juga meminta tolong ke resepsionis hotel untuk menuliskan alamat tersebut dalam alphabet Cyrilic agar lebih mudah menunjukkan alamatnya kepada supir taksi. Dengan taksi saya tiba di kantor MTS (operator seluler terbesar di Russia) sekitar 15 menit kemudian. Sepintas saya lihat, lalu lintas di kota ini lumayan padat juga. Padahal cuacanya dingin banget. Ketika turun dari taksi, jalan ke kantor tersebut sedikit menanjak dan permukaan jalan tertutupi es yang membeku, membuat saya hampir saja jatuh terpeleset. Masuk ke kantor tersebut, saya bertanya dengan susah payah ke petugas keamanan kantor sambil memperlihatkan LOI saya yang memang dalam bahasa Russia (saya sendiri belum tau isi LOI itu apaan, yang saya tau ada nama saya, tanggal mulai dan selesai ijin kerja saya di Russia).

Dari lantai dua datang seorang pemuda bule Russia, dan memperkenalkan diri. Namanya Daniel atau panggil saja Dan, umurnya masih 22 tahun. Dan kemudian mengantarkan saya ke lantai 2 dan memperkenalkan saya dengan semua engineer MTS di ruangan tersebut dan tentu saja dengan manajer MTS yang juga akan menjadi atasan saya selama ditugaskan di sini, yaitu Alexander Pushkash. Seorang pria jangkung, berambut hitam, dan berkumis. Engineer MTS termasuk manajernya ternyata sangat susah berbahasa Inggris, jadi setiap ada sesuatu yang ingin disampaikan ke saya mesti lewat si Daniel tadi. Untungnya Dan juga orangnya sangat bersedia membantu. Saya juga menanyakan ke Dan di mana saya bisa mencari apartment yang kira-kira dekat dari kantor, tapi Daniel malah menawarkan akan mencarikan saya apartment dengan harga sekitar 20000 Ruble (1 Ruble = Rp. 457). Selain apartment, saya juga menyampaikan ke Daniel apa-apa saja yang saya butuhkan selama di Nizhniy dan khususnya selama bekerja di MTS Nizhniy Novgorod. Saya Cuma membutuhkan SIM card MTS dan tentu saja koneksi ke OSS Ericsson. Sekitar jam 13.00 setelah makan siang (pertama kalinya saya merasakan masakan Russia, rasanya cukup diterima oleh lidah saya, cuma sedikit kurang asin saja saya rasa) Daniel malah mengajak saya ke toko sepatu untuk membeli sepatu khusus musim dingin yang lebih hangat dan tentu saja supaya tidak terpeleset. Daniel serta teman-teman yang lain sangat menyarankan saya untuk ganti sepatu Nike yang saya pakai karena cuaca nanti akan lebih dingin. Akhirnya saya beli sebuah sepatu hangat dengan harga 2080 Ruble (hampir sejuta bo’), itupun sudah termasuk yang murah (kisaran harga di toko itu saya lihat sekitar 1800-4000 ruble). Setelah itu kami bergegas menuju ke gerai MTS untuk mendapatkan SIM card. Untuk kartu perdana ini saya mengisinya dengan 100 Ruble. Saya harap cukuplah buat sekedar SMS-an. Setelah itu kembali ke kantor, dan admin OSS memberi saya user login untuk koneksi ke OSS. Hari pertama kerja waktunya lebih banyak shopping hehehe... ketika kembali ke Hotel, resepsionis hotel memberitahukan saya bahwa besok siang saya sudah harus check out karena untuk besok, kamar yang saya pakai sudah di pesan oleh orang lain sebelumnya, berarti besok setidaknya saya sudah harus dapat apartment nih.

Esoknya Daniel mengajak saya untuk melihat-lihat apartment, dan dia bilang harganya berkisar 15000 Ruble per bulan. Apartemen pertama yang kami kunjungi sekaligus menjadi apartemen yang akhirnya deal. Proses penyewaan apartemen di Russia, harus melalui agen yang akan mengurusi semua surat-surat legal penyewaan. Dan kita harus membayar one time agent fee sebesar harga apartment. Apartment ini, kondisinya masih sangat baru, keliatan dari perabotnya yang masih baru (labelnya masih nempel). Full furnished single room dengan dapur dan segala kelengkapannya. Saya sendiri merasa cocok dan akhirnya kami pun sepakat dengan harga 15000 Ruble per bulan. Mungkin cuma satu kekurangannya, yaitu terletak di lantai 8 dan tidak ada Lift!!! Tapi itu terbayar dengan view yang menghadap ke taman dan sungai Volga yang tidak kelihatan karena tertutup kabut.

Apartemen itu baru bisa ditempati besoknya, jadi saya mesti kembali menginap di Hotel untuk semalam lagi. Harga Hotel di Nizhniy sekitar 2000-3400 ruble semalam untuk kamar standar (kamar standarnya kalah jauh ama kamar standar di Indonesia yang cuma bayar sekitar 300-500 ribuan Rupiah). Selama 3 hari di Nizhniy saya membayar sekitar 5500 Ruble untuk hotel. Mahal, dan itu sudah diingatkan oleh teman dan agen sebelum berangkat. Pada hari ketiga saya di Nizhniy inilah, pertama kalinya saya merasakan hujan salju. Jalan-jalan dan mobil yang diparkir tertutupi salju. Pemandangan yang awalnya membuat saya sangat takjub, tetapi ketika Daniel memberi tahu kalau selama saya 3 bulan di Nizhniy saya akan terus melihat salju, karena musim dingin akan berlangsung hingga bulan maret, rasa takjub saya jadi berkurang, berusaha membiasakan diri dengan pemandangan tersebut. Katanya, tebal salju juga bisa mencapai setengah meter.

Setelah pindah ke apartment, untuk berangkat dan pulang kantor saya tinggal nyegat bus yang semuanya pasti lewat depan kantor dan membayar tiket ke kondektur 11 Ruble (di sini kondekturnya itu ibu-ibu, mungkin sudah bisa di bilang nenek-nenek malah). Awalnya sih canggung, tapi setelah 2 hari ini, akhirnya mulai terbiasa. Di bus diliatin orang-orang, tapi saya cuek aja. Jam kantor 07.30 sampai 16.30. Setelah dapat apartment setidaknya saya bisa lebih konsentrasi dengan kerjaan, dan untungnya di dekat apartment ada toko swalayan untuk beli segala keperluan. Tidak jauh dari apartment saya juga ada hostel untuk mahasiswa asing. Jadi, melihat orang asia lalu lalang adalah pemandangan yang tidak aneh di sekitar apartment saya... Oh untunglah, bete juga kalo diliatin mulu ma orang-orang.

Walaupun masih belum ngerti, setidaknya saya mulai terbiasa mendengar percakapan bahasa Russia. Daniel sendiri dengan sabar bersedia mengajarkan saya beberapa kata dalam bahasa Russia. Setidaknya pula saya mesti belajar baca alphabet Cyrilic. Kata Daniel, seluruh negeri Russia menggunakan bahasa Russia dengan dialek yang sama. Yah moga-moga pulang ntar bisalah bahasa Russia dikit-dikit. Paling cuma seminggu juga lupa semuanya... Hehehe..


Wassalam

Такбир

Wednesday, November 26, 2008

Perjalanan ke Russia

Sabtu 22 November 2008 pukul 19.00 dengan menggunakan maskapai KLM Royal Dutch atau julukannya The Flying Dutchman (Hayoooo pernah dengar dimana.... yup nama kapal di film Pirates of Carribbean), saya berangkat menuju Russia dengan transit di Kuala Lumpur dan Amsterdam. Saya mendapat kursi nomer 60H, dan baru kali ini saya naik pesawat yang didominasi oleh orang bule. Tak disangka tak kuduga 2 orang teman sejajaran kursi saya, adalah orang sulawesi, dari Palopo. Beliau berdua pelaut yang bekerja di Rotterdam Belanda, sejak tahun 1993 katanya. Perjalanan pun jadi tidak membosankan karena ada teman cerita yang memberi banyak info bagaimana tinggal di negara dingin. Apalagi setelah tahu saya mau ke Russia mereka jadi kaget, karena mereka sempat ke sana 2 tahun lalu dan kata mereka suhu pada akhir bulan desember waktu itu mencapai -27 derajat celcius sampai kapal mereka terpaksa ga bisa berlayar karena lautnya membeku. Busyeetttt.... saya bisa bertahan hidup ga nih? Perjalanan Jakarta-Kuala Lumpur sekitar 2 jam dan Kuala Lumpur-Amsterdam sekitar 13 jam. Selama perjalanan itu, beberapa kali saya tertidur, dan setiap kali pramugari/a Belandanya menawari makan saya makan semua hehe... Dan yang membuat saya khawatir, masih di perjalanan ke Belanda aja hidung saya sudah tersumbat, gimana kalo udah nyampe Russia, begitu pikiran saya. Tapi alhamdulillah setelah sempat tertidur, hidung yg tadinya mampet bisa normal kembali sesaat sebelum mendarat di bandara Schiphol Amsterdam pukul 04.30 pagi.

Sesampai di bandara saya harus segera mencari tahu gate mana saya mesti menunggu untuk keberangkatan ke Moscow. Sepanjang hall saya melihat ada semacam mesin ATM yang ternyata berupa mesin self transfer checked. Dengan penasaran saya mencoba cari tahu gate yang saya cari, daripada nyari-nyari transfer desk. Setelah memperhatikan petunjuk yang ada akhirnya saya bisa memperoleh gate penerbangan lanjutan ke Moscow. Sambil menolong seorang ibu dari Malaysia yang hendak menuju Inggris yang nampak kebingungan menggunakan alat itu.

Menggunakannya cukup dua langkah: tekan Start pada touch screen dan dekatkan bar code boarding pass ke kaca kecil infra merah sebelah kiri bawah, dan layar otomatis akan menampilkan nama anda, jam keberangkatan, dan gate keberangkatan anda. Schiphol luar biasa luas. Kalo mau nyari manual bisa juga dengan memperhatikan setiap layar yang terpasang di setiap sudut bandara.

Setelah mengetahui gate keberangkatan saya pun melangkah ke sana, tak disangka tak kuduga lagi saya ketemu dengan bapak-bapak dari Dephan yang akan transfer menuju Jenewa Swiss untuk menghadiri konfrensi katanya. Setelah bapak-bapak tersebut berangkat, saya pun mencari tempat untuk sholat subuh. Pukul 06.00 tapi masih gelap, katanya sih jam 8 pagi baru matahari terbit. Untuk mencari tempat sholat di Schiphol cari tanda petunjuk Meditation Center yang terletak di lantai 2. Satu ruangan yang bisa dipakai secara bersama-sama untuk semua jenis agama.

Selama 4 jam menunggu di bandara Schiphol, saya memang melihat keragaman manusia yang lalu lalang di sana. Mulai dari kulit item yang seitem jaketnya (upz.. bukannya menghina loh ya, tapi itu yang saya lihat) sampai orang-orang bule inggris yang berkulit putih pucat. Di sini juga saya lihat sangat banyak muslimah yang berkerudung dan ehm ehm.. cakep cakep. Mungkin dari Turki atau Maroko... heheh sok tau

Pesawat yang akan membawa saya ke Moscow berangkat jam 09.20, jadi pukul 08.00 saya sudah stand by duduk di dekat gate yang sudah berubah dari ketika pertama kali saya cek. Saran jika berada di bandara Schiphol, rajin-rajin lah lihat papan pengumuman jadwal penerbangan karena gate yang kadang berubah. Mungkin karena kecapean, tidak terasa saya ketiduran, dan tiba-tiba terbangun sudah pukul 09.05. Waduh.. saya liat papan pengumuman boarding ke Moscow sudah di tutup, Gawat nih, kok bisa ketiduran sih. Saya lihat ke arah gate masih ada beberapa yang antri saya pun bergegas ke sana dan Alhamdulillah ternyata masih bisa. Setelah melalui pemeriksaan yang ketat, semua jaket, ikat pinggang, dan sepatu di copot melewati mesin detektor, tetap saja saya tidak lolos. Mesin sialan itu tetap berbunyi. Sayapun merelakan tubuh saya di grepe’-grepe’ petugas bule. Dan ternyata di saku belakang ada recehan 500 Rupiah, Oalah ternyata ini toh yang membuat saya sampai di grepe’-grepe’ juga waktu transit di Kuala Lumpur. Tapi kenapa waktu di Soekarno Hatta ga ke-detect ya? Indonesia emang negara yang tidak pernah berpikiran buruk, jangankan orang-orangnya, sampai mesinnya pun tidak suka berburuk sangka pada orang Hwahahahaha.....

Masuk pesawat paling terakhir, membuat saya jadi tengsin dan salah tingkah juga. Ya bagaimana tidak, semuanya bule kecuali dekat kursi saya yang orang Jepang (saya tahu ketika lihat tulisan di buku bacaannya) memandang aneh ke arah saya. Manusia berkulit sawo busuk ini mau ke mana? Mungkin saya dikirain salah masuk pesawat. Tapi dengan kepercayaan diri 110% saya terus melangkah.. Cieeee...

Perjalanan ke Moscow selama 3 jam, tidak terasa. Tapi begitu mendekati airport yang dituju, pesawat kembali terbang tinggi karena tekanan kosmis (seperti yang diumumkan oleh pilot) sangat kuat di permukaan jadi pesawat tidak bisa mendarat. Pilot memberitahukan penumpang jangan khawatir karena persediaan bahan bakar cukup untuk berputar-putar di udara selama beberapa jam. Setelah hampir setengah jam lebih berputar-putar di atas Moscow, Pilot akhirnya memutuskan mendarat dan ternyata memang benar, cuaca yang kelihatannya terang-terang saja membuat pesawat terombang-ambing. Baru kali ini saya merasa sangat takut karena goncangan dalam pesawat begitu kuat terasa. Tapi alhamdulillah akhirnya bisa mendarat dengan sukses dan semua penumpang bertepuk tangan memberi aplaus buat sang pilot. Ternyata bukan cuma saya yang dibuat serem tadi.

Akhirnya saya menginjakkan kaki di tanah Russia di sebuah bandara tua yang sedang di rekonstruksi. Interior dalamnya dan fasilitasnya sepintas mirip dengan bandara lama di Makassar, apalagi ketika masuk ke toiletnya, duh.. bau pesing. Penerbangan dari Belanda ini mendarat di bandara Sheremetyovo Moscow, bukan bandara international yang baru Domodedovo. Setelah pemeriksaan yang ternyata tidak terlalu ketat, saya langsung menuju bandara transit untuk menuju tujuan akhir yaitu bandara Vnukovo sekitar 1 jam dari bandara Sheremetyovo. Kali ini saya harus membayar tiket sendiri karena agen penerbangannya tidak menerima pembayaran transfer dari agen yang mengirim saya sampai Sheremetyovo. Dari bandara pertama inilah saya mendapat tanda-tanda akan kesulitan berkomunikasi karena susah sekali menemukan orang Russia yang bisa berbahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia . Dengan menggunakan bahasa rimba (Tarzan Indonesia ketemu Tarzan Russia) akhirnya saya mendapatkan Taksi yang bisa mengantarkan saya ke Vnukovo tepat waktu. Begitu melangkah keluar dan pintu bandara terbuka, semriwing..... saya diserang angin setan. Dinginnya bikin setan kabur. -5 derajat celcius. Sang supir dengan isyarat bertanya Cold? Saya menjawab No, dia sempat kelihatan heran dan kemudian tersenyum setelah saya lanjutkan Very Cold! Gimana tidak, mulut berasap, badan joget sendiri gemeteran, pake nanya lagi. Waktu itu pukul 16.00 tapi sudah malam aja. Ketika musim gugur tiba siang menjadi lebih singkat di Russia.

Selama perjalanan ke Vnukovo, sang supir berusaha ngajak ngobrol, tapi dia tetap pake bahasa Russia plus bahasa isyarat. Karena mungkin ga nyambung-nyambung, akhirnya dia diam juga. Setelah ber-cas cis cus ga jelas dengan sang supir selama hampir sejam perjalanan, akhirnya tiba juga di bandara Vnukovo. Ketika saya keluar dari mobil, salju mulai turun. Di jalan tadi saya liat mobil-mobil yang lain seperti abis disiram ama debu, dekil banget, mungkin yang saya kira debu tadi adalah salju bercampur pasir yang melekat di mobil karena angin yang begitu kencang. Dan di moscow sendiri masih banyak mobil-mobil tua yang berlalu lalang. Tiba di Vnukovo dengan 2 koper yang berat-berat, saya memasuki Terminal D untuk penerbangan domestik dan langsung mencari loket maskapai UT Air untuk penerbangan ke Nizhniy Novgorod. Untuk penerbangan sekitar 1 jam 20 menit saya mesti membayar 3980 Rubel atau sekitar 1,8 jt rupiah. Pas check in, lagi-lagi barang bawaan saya kena charge tambahan. Setelah check in, saya cari tempat buat duduk nongkrong sebentar sambil jalan-jalan keliling bandara. Saat itulah saya melihat (dengan air liur yang ngecess-ngecess pengen dan hidung yang nyaris mimisan... hwehehehe) betapa cantiknya wanita-wanita Russia. Wajah cantik dengan hidung mancung, kulit putih bersih (gak bintik-bintik kayak bule amerika-australi), rambut pirang, dan keliatannya mereka emang rajin berdandan. Tamara Blezinsky mah kagak kelirik di sini huhuhu... Gaya berpakaian mereka kayaknya lagi ngetren dengan celana panjang jins ketat dan sepatu boot berhak tinggi. Banyak sih yang melirik-lirik saya, merhatiin, si jelek kutu kupret ini dari hutan mana? Begitu kali pikiran mereka. Huhu.. Saya sih cuek aja yang penting bisa cuci mata, pengen rasanya punya satu yang mana aja. Tapi, di Indonesia saya sudah punya inceran juga, target lama. Pikiran itupun saya buang jauh-jauh. Liat-liat aja udah cukup (sambil berzikir tentunya, Subhanallah Subhanallah... ampe 1000X karena begitu buang muka ke arah lain ada lagi cewek cantik yang lewat... hwehehe). Setelah melalui pemeriksaan yang lagi-lagi ketat saat boarding, akhirnya pukul 21.30 siap-siap naik bus yang akan mengantarkan kami ke pesawat. Waktu itu salju turun dengan lebatnya sampai-sampai masuk ke mata, mirip tepung tapi sangat dingin. Pesawat yang ditumpangi ternyata pesawat kecil dengan penumpang sekitar 40 orang. Duduk di kursi nomer 7D, berdekatan dengan cewek Russia yang lagi-lagi cakep benerr. Sebenarnya saya merasa agak ngeri juga ketika pesawat akan berangkat salju turun dengan derasnya (kelihatan dari jendela). Sampai-sampai sebelum take off landasan di bersihin dulu pake buldozer pembersih salju (sayang sekali kamera saya batterenya habis, jadi ga sempat ambil fotonya). Di dalam pesawat saya jadi ngeri, saya mau di bawa ke mana nih? Saya akhirnya tertidur dan ketika terbangun, ternyata pesawat telah mendarat di sebuah bandara kecil. Ketika memasuki bandara pukul 23.45, bandara sudah sangat sepi, mungkin kami adalah penerbangan yang terakhir. Tiba-tiba saya di samperin supir taksi yang menawarkan untuk mengantarkan saya, dan saya pun menyebutkan alamat yang ingin saya tuju Gagarina Avenue 168a dan minta supaya dicarikan hotel terdekat dari alamat itu. Gaztinitska atau hotel adalah salah satu kata yang saya hapalkan sebelum saya berangkat ke Russia. Ternyata saya diantarkan ke hotel yang besar, dikirain saya bawa banyak duit kali. Dan ternyata dugaan saya benar, harganya mahal sekitar 3400 Rubel (1 Rubel sekitar 450 Rupiah). Yah mau gimana lagi, secara udah jam 01.00, sudah gak kuat untuk nyari-nyari tempat lain, udah capek banget. Begitu dapat kamar, saya jadi pengen mandi, tapi waktu nyentuh airnya kayak air es saya jadi ogah. Walaupun sebenarnya ada air panasnya juga tapi tetap aja dingin kalo abis mandi. Gak ah cukup wudlu dan sholat terus tidur. Besok pagi-pagi saya sudah harus masuk ke kantor untuk pertama kalinya.... (Bersambung)



Wassalam

Takbir

Persiapan Ke Russia

Akhirnya kesempatan itupun tiba, di mana saya bisa berkeliling melihat dunia :) . Dan tujuan pertama, gak tanggung-tanggung adalah Russia. Bukan di Moscow loh, tapi di Nizhniy Novgorod. Baru dengar kan? Saya aja baru tau 2 hari sebelum berangkat ke Russia. Kalo dari hasil search di wikipedia, Nizhniy Novgorod adalah kota terbesar keempat di Russia, itu saja, sisanya kita lihat saja nanti.

Proses keberangkatan ke Russia juga sangat mendadak sekali. Seminggu sebelumnya, agen yang menawarkan ke sana (NMSB) memberi tahu kalau Letter Of Invitation (LOI) sudah dikirim dari Russia dan harusnya saya sudah menerimanya pada hari selasa (18 November 2008), tapi ternyata hingga kamis pagi saya belum juga menerimanya. Setelah di trace oleh agennya ternyata paketnya nyasar hingga ke switzerland, ga tau deh kenapa bisa nyasar ke sana, mungkin di sana ada juga alamat Mampang Prapatan Hehehe... Akhirnya kamis sore NMSB menghubungi saya lagi dan memberitahukan bahwa hasil scan LOI dikirim lewat email dan saya diminta untuk mengajukan VISA ke kedutaan Russia dengan menggunakan hasil printnya, bukan yang aslinya. Saya jadi mikir, bisa gak ya?

Besoknya dengan modal Bismillah pada langkah pertama, saya berangkat ke Kedutaan Russia di Jl. HR Rasuna Said (depan RS MMC). Tiba di sana saya juga bertemu dengan orang yang sudah sering mengurus VISA untuk ke Russia. Begitu tau saya tidak punya LOI yang asli, beliau cuma bilang kalo selama dia ngurus VISA Russia, dia ga pernah berhasil kalo cuma hasil print dari scan LOI. Dan ternyata benar, ibu yang melayani pendaftaran menolak, harus yang asli katanya. Tanpa pikir panjang langsung saya hubungi agen NMSB, yang memang sudah standby dari pagi menunggu kabar dari saya, mengenai situasi yang saya alami. Sekedar Info: Aplikasi VISA di Russia di layani Senin-Jumat, 9 pagi hingga jam 1 siang. Yang harus dibawa passport, Foto dengan background putih 4 buah, dan LOI asli. Untuk aplikasi Visa Bisnis ke Russia normalnya 7 hari dengan biaya $75 dan express 2 hari dengan biaya $150. Sang agen langsung menghubungi kedutaan dan berbicara langsung dengan ibu tadi. Entah si agen bilang apa, si Ibu tadi langsung mengiyakan bisa mengusahakan dengan menanyakan langsung ke Konsul Russia. Katanya, kalaupun bisa, paling cepat hari senin baru bisa di ambil. Tapi, saya sudah di booking-kan tiket pada hari sabtu pukul 19.00. Apakah di tunda? Saya sendiri sih senang karena saya belum ada persiapan sama sekali.

Setelah akhirnya di bolehkan mendaftar VISA dengan menggunakan scanned LOI, masalah bukan berarti selesai, VISA mesti di bayar dengan mata uang USD pas tanpa kembalian. Waduh, saya bawa dalam pecahan Rupiah, akhirnya dengan bergegas saya menuju bank Bukopin yang cuma bisa menyediakan USD dalam pecahan 100, akhirnya saya mencoba ke Bank BNI, gak bisa juga dengan alasan aturan pemerintah, terus ke bank sebelahnya bank Lippo, bisa tapi harus punya account Lippo, secara saya ga punya. Trus gimana dong, mana udah jam sebelas, bentar lagi jumatan dan bentar lagi kedutaan tutup. Mbak yang di Bank Lippo menyarankan untuk ke money changer yang di Atrium setia budi. Saya pun bergegas ke sana dan mendapatkan USD150 yang saya perlukan, dan ternyata harga jual di money changer lebih rendah di bandingkan Bank (Rp.13200 dibanding dengan Rp. 13550 per USD). Setelah bersusah payah mencari tukeran $ saya pun kembali ke Kedutaan untuk bayar dan berangkat sholat Jumat, untung ada mesjid yang dekat dari situ. Setelah jumatan, saya balik lagi ke kedutaan untuk memastikan kapan saya bisa mendapatkan VISA dan ternyata eh ternyata setelah menunggu hingga mendekati jam satu siang, VISA saya keluar. Express Kurang dari 4 jam. Kayaknya bapak yang tadi pagi mesti belajar dari saya bagaimana mengurus VISA express.

Tapi urusan belum selesai, saya kan bilang dari awal, kalau ini sangat mendadak sekali. Setelah memberitahukan ke NMSB kalau VISA sudah di tangan, mereka kemudian memastikan penerbangan saya ke Russia rute: Jakarta-Kuala Lumpur-Amsterdam-Moscow-Nizhniy Novgorod. Tiba-tiba ada perasaan sangsi bercampur takut juga, berani ke Russia sendiri??? Ah.. kalau bukan sekarang kapan lagi, hidup cuma sekali, kesempatan seperti ini belum tentu datang dua kali. Bismillah sajalah.

Persiapan berikutnya adalah menukarkan uang Rupiah ke Euro untuk bekal ke sana, karena jumlah yang ingin saya tukar lumayan, bank cabang yang di Mampang menyarankan untuk langsung ke Bank Mandiri Pusat yang di jln Gatsu dekat Komdak itu. Saya pun meluncur ke sana dengan ojek, karena jalan ke sana tiba-tiba macet dan saat itu sudah pukul 2 siang, sejam lagi bank tutup. Alhamdulillah pukul setengah 3 saya sudah mendapatkan tukaran Euro di tangan. Dan tantangan yang paling berat hari ini adalah menghadap manager saya untuk menyatakan pengunduran diri, secara mengundurkan diri hari ini, besok udah cabut, mana ada yang pernah kayak gitu. Biasanya juga one month notice atau setidaknya ada jeda seminggu lah. Tapi hal ini juga tidak bisa saya hindari lagi, dengan debar jantung yang kencang seperti ingin melamar gadis, saya menghadap sang manager dan..... beliau membolehkan, tidak masalah sama sekali setelah saya memberitahukan kalau kontrak saya sudah selesai sejak bulan lalu dan belum tanda tangan untuk kontrak baru. Perasaan saya legaaaa banget, walaupun saya tahu kalau keluarnya saya tiba-tiba membawa masalah baru bagi beliau. Secara teknis saya keluar kapan saja selama tdk ada kontrak emang bisa tapi tetap ga etis kalau keluar seenaknya. Dan yang paling penting saya berharap hubungan baik saya dengan manager saya ini bisa tetap baik-baik saja.Setelah itu saya pamitan dengan teman-teman kantor, banyak yang kaget karena mereka pada belum tahu, dan banyak juga yang ga sempat saya temui untuk pamitan.

Persiapan belum selesai sampai di situ, persiapan baju hangat saya beli di Pasar Raya Grande esok paginya: jaket yang tebalnya 2 lapis, sweater, kupluk+syal, kaos tangan, dan Long John atau pakaian dalam terusan supaya lebih hangat. Jam 2 siang hari sabtu saya sudah selesai packing. Setelah makan siang saya berangkat ke tukang cukur, maklum dah gondrong, takutnya 3 bulan di Russia ga cukur-cukur, ntar pulang-pulang dikirain Rhoma Irama. Di tempat tukang cukur, waduh antri, mana tukang cukurnya nyantai lagi, jam setengah empat baru giliran saya, selesai jam 4 kurang 10 menit. Wah saya bisa terlambat nih, mana belum mandi lagi. Akhirnya saya berangkat pukul setengah 5, sempat terjebak macet di perempatan kuningan (lampu hijau cuma 20 detik bo’... bandingkan ama berhenti sekitar 2 menit), akhirnya tiba juga di bandara pukul 17.50, 20 menit lagi boarding tutup. Pas mau bayar Fiskal 1 juta rupiah, cash Rupiah saya ga cukup, langsung ke ATM tapi di tolak karena transaksi saya hari itu sudah samapai batas limit. Tadi siang udah belanja banyak banget sih... Waduh gimana nih, balik lagi ke tempat pembayaran Fiskal ternyata debit Mandiri bisa, Alhamdulillah. Di tempat check in saya dapat masalah lagi, barang bawaan saya overload, maklum bawa makanan sekoper sendiri dan saya mesti bayar lebihnya, waduh... waduh... Ke Russia emang berat dari awalnya. Tapi akhirnya dengan waktu yang sangat mepet saya berhasil check in dan masuk ke ruang tunggu keberangkatan.... (Bersambung)


Wassalam

Takbir

Link pengurusan visa di Kedutaan Rusia di Jakarta:
http://www.indonesia.mid.ru/cons_ind.html

Wednesday, July 23, 2008

Radovan Karadzic Akhirnya Tertangkap.....???

Akhirnya penjahat perang ini tertangkap juga,....


Mungkin cuma kebetulan, saya baru aja nonton Film "The Hunting Party" yang dibintangi oleh Richard Gere yang menyindir tentang susahnya UN dan NATO untuk menangkap Radovan Karadzic Pemimipin Serbia-Bosnia waktu itu tersangka utama pembantaian Muslim Bosnia dan Kristen Suku Croatia di Srebrenica pada tahun 1995. Di akhir Film itu disebutkan bahwa UN, NATO, dan Amerika terlalu ”sibuk” mencari Osama Bin Laden yang belum jelas dia bersalah atau tidak dibandingkan dengan Karadzic yang sudah jelas-jelas terbukti sebagai pembantai, dan kemungkinan besar berada di bawah perlindungan pemerintah Serbia.

Perlu diketahui bahwa daerah Balkan (Slavia Selatan atau Yugoslavia) didominasi oleh 3 suku utama: Croats, Bosniak, dan Serbs. Di abad pertengahan sebelum invasi Turki ke Balkan, Wilayah ini menjadi rebutan pengaruh antara kerajaan Romawi Barat (Roma) yang menganut Katolik dan kerajaan Romawi Timur (Konstantinopel)
yang menganut Kristen orthodoks. Katolik banyak dianut oleh suku Croats (sampai sekarang) dan suku Serbs menganut Kristen Orthodoks, sedangkan suku Bosnia waktu itu menganut aliran kepercayaan Kristen yang lain yang dianggap sesat oleh Roma maupun Konstantinopel. Dan ketiga suku ini saling bermusuhan satu sama lain. Setelah Turki berhasil menguasai Wilayah Balkan, para bangsawan Bosnia banyak yang pindah agama ke Islam diikuti oleh para penduduk Bosnia lainnya. Menurut sebagian sejarawan, hal ini disebabkan oleh Pemerintahan Turki mewajibkan membayar Jizyah atau pajak tambahan bagi pemeluk agama lain yang berada di dalam wilayah kekuasaan Turki, yang merupakan Kerajaan Islam, sebagai bentuk jaminan dari kerjaan Turki bagi kebebasan mereka untuk tetap melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Untuk menghindari pajak itulah para bangsawan Bosnia convert ke Islam, dan akhirnya menjadi kaki tangan kerajaan Turki di wilayah itu.

Ada korelasi yang kuat antara identitas etnic dengan agama yang dianut, dimana 95% etnis Bosnia adalah Muslim, 95% etnis Croatia adalah Katolik, dan 95% etnis Serbia adalah penganut kristen Orthodoks. Tensi antara ketiga kelompok ini selalu tinggi sehingga kadang menjadi pemicu terjadinya ketegangan diantara mereka.

Dari sedikit keterangan fakta Sejarah inilah, mungkin kita bisa mengetahui mengapa sampai terjadi pembantaian etnis di Srebrenica itu. Radovan Karadzic yang seorang dari etnis Serbia yang Kristen Orthodoks membantai penduduk Bosnia yang mayoritas muslim dan penduduk suku Croatia yang memeluk Kristen Katolik. Di antara ketiga suku ini memang sudah lama memendam sentimen antar suku yang bisa meledak kapan saja. Contohnya yang baru saja terjadi misalnya, ketika tim Croatia dikalahkan Oleh Tim Turki pada perempat final EURO 2008 kemarin, terjadi keributan di daerah Mostar (masuk ke Wilayah Bosnia tapi distribusi etnis Bosnia dan Croatia sama banyaknya) antara pendukung Croatia dan Bosnia yang tentu saja mendukung Tim Turki.

Wassalam,
Takbir

Sunday, July 13, 2008

Laskar Pelangi



Judul: Laskar Pelangi
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan ke-6, Februari 2007
Bab 2
Antediluvium
IBU Muslimah yang beberapa menit lalu sembab, gelisah, dan coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan posturnya yang jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna bunga crinum demikian pula bau bajunya, persis crinum yang mirip bau vanili. Sekarang dengan ceria beliau mengatur tempat duduk kami.
Bu Mus mendekati setiap orangtua murid di bangku panjang tadi, berdialog sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami. Semua telah masuk ke dalam kelas, telah mendapatkan teman sebangkunya masing-masing, kecuali aku dan anak laki-laki kecil kotor berambut keriting merah yang tak kukenal tadi. Ia tak bisa tenang. Anak ini berbau hangus seperti karet terbakar.
“Anak Pak Cik akan sebangku dengan Lintang,” kata Bu Mus pada ayahku.
Oh, itulah rupanya namanya, Lintang, sebuah nama yang aneh.
Mendengar keputusan itu Lintang meronta-ronta ingin segera masuk kelas. Ayahnya berusaha keras menenangkannya, tapi ia memberontak, menepis pegangan ayahnya, melonjak, dan menghambur ke dalam kelas mencari bangku kosongnya sendiri. Di bangku itu ia seumpama balita yang dinaikkan ke atas tank, girang tak alang kepalang, tak mau turun lagi. Ayahnya telah melepaskan belut yang licin itu, dan anaknya baru saja meloncati nasib, merebut pendidikan.
Bu Mus menghampiri ayah Lintang. Pria itu berpotongan seperti pohon cemara angin yang mati karena disambar petir: hitam, meranggas, kurus, dan kaku. Beliau adalah seorang nelayan, namun pembukaan wajahnya yang mirip orang Bushman adalah raut wajah yang lembut, baik hati, dan menyimpan harap. Beliau pasti termasuk dalam sebagian besar warga negara Indonesia yang menganggap bahwa pendidikan bukan hak asasi.
Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau bercerita pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawanan burung pelintang pulau mengunjungi pesisir. Burung-burung keramat itu hinggap sebentar di puncak pohon ketapang demi menebar pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir ini maka hasil laut tak pernah memadai. Apalagi ia hanya semacam petani penggarap, bukan karena ia tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu.
Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini beliau menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan duduk di samping pria kecil berambut ikal yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan, maka biarkanlah jalan kerikil batu merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau hangus yang kucium tadi ternyata adalah bau sandal cunghai, yakni sandal yang dibuat dari ban mobil, yang aus karena Lintang terlalu jauh mengayuh sepeda.
Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kalumpang, desa nun jauh di pinggir laut. Menuju ke sana harus melewati empat kawasan pohon nipah, tempat berawa-rawa yang dianggap seram di kampung kami. Selain itu di sana juga tak jarang buaya sebesar pangkal pohon sagu melintasi jalan. Kampung pesisir itu secara geografis dapat dikatakan sebagai wilayah paling timur di Sumatra, daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman Pulau Belitong. Bagi Lintang, kota kecamatan, tempat sekolah kami ini, adalah metropolitan yang harus ditempuh dengan sepeda sejak subuh. Ah! Anak sekecil itu....
Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan. Energi yang berlebihan di tubuhnya serta-merta menjalar padaku laksana tersengat listrik. Ia berbicara tak henti-henti penuh minat dengan dialek Belitong yang lucu, tipikal orang Belitong pelosok. Bola matanya bergerak-gerak cepat dan menyala-nyala. Ia seperti pilea, bunga meriam itu, yang jika butiran air jatuh di atas daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan, mekar, dan penuh daya hidup. Di dekatnya, aku merasa seperti ditantang mengambil ancang-ancang untuk sprint seratus meter. Sekencang apa engkau berlari? Begitulah makna tatapan matanya.
...........................
Sebaliknya, bagiku pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan sampai puluhan tahun mendatang karena pagi itu aku melihat Lintang dengan canggung menggenggam sebuah pensil besar yang belum diserut seperti memegang sebilah belati. Ayahnya pasti telah keliru membeli pensil, karena pensil itu memiliki warna yang berbeda di kedua ujungnya. Salah satu ujungnya berwarna merah dan ujung lainnya biru. Bukankah pensil semacam itu dipakai para tukang jahit untuk menggaris kain? Atau para tukang sol sepatu untuk membuat garis pola pada permukaan kulit? Sama sekali bukan untuk menulis.
Buku yang dibeli juga keliru. Buku bersampul biru tua bergaris tiga. Bukankah buku semacam itu baru akan kami pakai nanti saat kelas dua untuk pelajaran menulis rangkai indah? Hal yang tak akan pernah kulupakan adalah bahwa pagi itu aku menyaksikan seorang anak pesisir melarat –temanku sebangku- untuk pertama kalinya memegang pensil dan buku, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya, setiap apapun yang ditulisnya merupakan buah pikiran yang gilang gemilang, karena nanti ia-seorang anak miskin pesisir- akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin ini, sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur hidupku.

Bab 3
Inisiasi
TAK susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
...............................
Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang sudah tua tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?
Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian seperti umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya atau gambar seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan di sana adalah sebuah poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan. Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang pria tadi melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!
...................................
Pak harfan seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecoklatan yang kusam dan beruban. K.A pada nama depan pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A mengalir dalam garis laki-laki silsilah kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apapun demi motif syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan rumahnya.
Hari ini pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana panjang yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat pinggang plastik murahan bermotif ketupat melilit tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah dipakai sejak beliau berusia belasan.
.................................
Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu maka ketika pertama kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil yang tak kuat mental bisa-bisa langsung terkena sawan. Namun, ketika beliau angkat bicara, tak dinyana, meluncurlah mutiara-mutiara nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh atmosfer sukacita di sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam waktu singkat beliau telah merebut hati kami. Bapak yang jahitan kerah mejanya telah lepas itu bercerita tentang perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang.
..................................
Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang Badar sekaligus setenang embun pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan gerak lakunya yang memikat. Ada semacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil risiko, dan menikmati daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang mengerti.
Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang yang tak hanya mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering menaik turunkan intonasi, menekan kedua ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua tangannya laksana orang berdoa minta hujan.
Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir dengan lancar ayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai hati kami, berpantun, membelai hati kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah sekali.
Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui kata-katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengobarkan semangat kami untuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apapun. Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan untuk berkorban untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria ini buruk rupa dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya bercahaya. Jika ia mengucapkan sesuatu, kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung didaftarkan orangtuaku di sekolah miskin Muhammadiyah. Aku merasa telah terselamatkan karena orangtuakua memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling dasar bagiku. Aku merasa amat beruntung berada di sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Ada keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang takkan kutukar dengan seribu kemewahan sekolah lain.

Bab 4
Perempuan-Perempuan Perkasa
AKU pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu karang untuk mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri belasan tahun sendirian di tengah rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani mengambil resiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang anak yang sama sekali tak dikenalnya nun jauh di Somalia. Di sekolah Muhammadiyah setiap hari aku membaca keberanian berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini.
N.A Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya –K.A. Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong- untuk terus mengobarkan pendidikan Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan guru –lagipula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajarkan semua mata pelajaran- mulai dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya.
Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan yang jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi –jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan. Dasar-dasar moral itu menuntun kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks Islam. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengamalan lainnya.
“ Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati kami.
Bukankah ini kata-kata yang diilhami surah An-Nisa dan telah diucapkan ratusan kali oleh puluhan khatib? Seringkali dianggap sambil lalu saja oleh umat. Tapi jika yang mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengung-dengung di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah terlambat shalat.
.......................................
Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi munkar sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat. Mereka mengajari kami membuat rumah-rumahan dari perdu apit-apit, mengusap luka-luka di kaki kami, membimbing kami cara mengambil wudlu, melongok ke dalam sarung kami ketika kami disunat, mengajari kami doa sebelum tidur, memompa ban sepeda kami, dan kadang-kadang membuatkan kami air jeruk sambal.
Mereka adalah kesatria tanpa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka laksana manfaat yang diberikan pohon filicium yang menaungi atap kelas kami. Pohon ini meneduhi kami dan dialah saksi seluruh drama ini. Seperti guru-guru kami, filicium memberi napas kehidupan bagi ribuan organisme dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem.

Bab 10
Bodenga
..................
Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak seharipun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda tiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa ngeri membayangkan perjalanannya.
Kesulitan itu belum termasuk jalan yang tergenang air, ban sepeda yang bocor, dan musim hujan yang berkepanjangan dengan petir yang menyambar-nyambar. Suatu hari rantai sepedanya putus dan tak bisa disambung lagi karena sudah terlalu pendek sebab terlalu sering putus, tapi ia tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan kilometer, dan sampai di sekolah kami sudah bersiap-siap akan pulang. Saat itu adalah pelajaran seni suara dan dia begitu bahagia karena masih sempat menyanyikan lagu Padamu Negeri di depan kelas. Kami termenung mendengarkan ia bernyanyi dengan sepenuh jiwa, tak tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka. Setelah itu ia pulang dengan menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer.
...................................
Dulu ayahnya pernah mengira putranya itu akan takluk pada minggu-minggu pertama sekolah dan prasangka itu terbukti keliru. Hari demi hari semangat Lintang bukan semakin pudar tapi malah meroket karena ia sangat mencintai sekolah, mencintai teman-temannya, menyukai persahabatan kami yang mengasyikkan, dan mulai kecanduan pada daya tarik rahasia-rahasia ilmu. Jika tiba di rumah ia tak langsung beristirahat melainkan segera bergabung dengan anak-anak seusia di kampungnya untuk bekerja sebagai kuli kopra. Itulah penghasilan sampingan keluarganya dan juga sebagai kompensasi terbebasnya dia dari pekerjaan di laut serta ganjaran yang ia dapat dari “kemewahan” bersekolah.
...................................
Lintang hanya dapat belajar setelah agak larut karena rumahnya gaduh, sulit menemukan tempat kosong, dan karena harus berebut lampu minyak. Namun sekali ia memegang buku, terbanglah ia meninggalkan gubuk doyang berdinding kulit itu. Belajar adalah hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat dan kesulitan hidup. Buku baginya adalah obat dan sumur kehidupan yang airnya selalu memberi kekuatan baru agar ia mampu mengayuh sepeda menantang angin setiap hari. Jika berhadapan dengan buku ia akan terisap oleh setiap kalimat ilmu yang dibacanya, ia tergoda oleh sayap-sayap kata yang diucapkan oleh para cerdik cendekia, ia melirik maksud tersembunyi dari sebuah rumus, sesuatu yang mungkin tak kasat mata bagi orang lain.

Bab 11
Langit Ketujuh
..............................
Tuhan menakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang agar dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya. Dan di malam yang tua dulu ketika Copernicus dan Lucretius duduk di samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf menjelma menjadi kunang-kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan menyemaikan biji zarah kecerdasan, zarah yang jatuh dari langit dan menghantam kening Lintang.
Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada Lintang. Anak pengumpul kerang ini pintar sekali. Matanya menyala-nyala memancarkan intelegensi, keingintahuan menguasai dirinya seperti orang kesurupan. Jarinya tak pernah berhenti mengacung tanda ia bisa menjawab. Kalau melipat dia paling cepat, kalau membaca dia paling hebat. Ketika kami masih gagap menjumlahkan angka-angka genap ia sudah terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongak, dia sudah pintar memabgi angka desimal, menghitung akar dan menemukan pangkat, lalu, tidak hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungan keduanya dalam tabel logaritma. Kelemahannya, aku tak yakin apakah hal ini bisa disebut kelemahan, adalah tulisannya yang cakar ayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak mampu mengejar pikirannya yang berlari sederas kijang.
............................
Meskipun rumahnya paling jauh, tapi kalau datang ia paling pagi. Wajah manisnya senantiasa bersinar walaupun baju, celana, dan sandal cunghai-nya buruknya minta ampun. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam tempurung kepalanya yang ditumbuhi rambut gimbal awut-awutan itu tersimpan cairan otak yang encer sekali. Pada setiap rangkaian kata yang ditulisnya tersirat kecemerlangan pemikiran yang gilang gemilang. Di balik tubuhnya yang tak terawat, kotor, miskin, serta berbau hangus, dia memiliki an absolutely beautiful mind. Ia adalah buah akal yang jernih, bibit genius asli, yang lahir di sebuah tempat nun jauh di pinggir laut, dari sebuah keluarga yang tak satupun bisa membaca.
................................
Dapat dikatakan bahwa Bu Mus sering kewalahan menghadapi Lintang, terutama untuk pelajaran matematika, sehingga ia sering diminta membantu. Ketika Lintang menerangkan sebuah persoalan yang rumit dan membuat simbol-simbol rahasia matematika menjadi sinar yang memberi terang bagi kami, Bu Mus memerhatikan dengan seksama bukan hanya apa yang diucapkan Lintang tapi juga pendekatannya dalam menjelaskan. Lalu beliau menggeleng-gelengkan kepalanya, komat-kamit, berbicara sendiri tak jelas seperti orang menggerendeng. Belakangan aku tahu apa yang dikomat-kamitkan beliau. Bu Mus mengucapkan pelan-pelan kata-kata penuh kagum, “Subhanallah.... Subhanallah....”
“Yang paling membuatku terpesona,” cerita Bu Mus pada Ibuku. “Adalah kemampuannya menemukan jawaban dengan cara lain, cara yang tak pernah terpikirkan olehku,” sambungnya sambil membetulkan jilbab.

Bab 30
Elvis has left the Building
.................................
Perdebatan semakin seru. Diperlukan seorang penengah dangan wawasan dan kata-kata cerdas pamungkas untuk mengakhiri perseteruan ini. Sayangnya si cerdas itu sudah dua hari tak tampak batang hidungnya. Tak ada kabar berita.
Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir. Sembilan tahun bersama-sama tak pernah ia bolos. Saat ini sedang musim hujan, bukan saatnya kerja kopra. Buka pula musim panen kerang, sementara karet telah digerus bulan lalu. Pasti ada sesuatu yang sangat penting. Rumahnya terlalu jauh untuk mencari berita.
Sekarang hari kamis, sudah empat hari Lintang tak muncul. Aku melamun memandangi tempat duduk disebelahku yang kosong. Aku sedih melihat dahan filicium tempat ia bertengger jika kami memandangi pelangi. Ia tak ada di sana. Kami sangat kehilangan dan cemas. Aku rindu pada Lintang.
Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya. Suasana kelas menjadi sepi. Kami rindu jawaban-jawaban hebatnya, kami rindu kata-kata cerdasnya, kami rindu melihatnya berdebat dengan guru. Kami juga rindu rambut acak-acakannya, sandal jeleknya, dan tas karungnya.
Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan pesan pada orang yang mungkin melalui kampung pesisir tempat tinggal Lintang. Aku cemas membayangkan kemungkinan buruk. Tapi biarlah kami tunggu sampai akhir minggu ini.
Senin pagi, kami semua berharap menjumpai Lintang dengan senyum cerianya dan kejutan-kejutan barunya. Tapi ia tak muncul juga. Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu Mus. Begitu banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama hampir sembilan tahun di SD dan SMP Muhammadiyah tapi baru pertama kali ini aku melihatnya menangis. Air matanya berjatuhan di atas surat itu.
Ibunda guru,
Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah.
Salamku, Lintang.
...............................
Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikitpun untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi.
Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudra. Begitu banyak energi positif, keceriaan, dan daya hidup terpancar dari dirinya. Di dekatnya kami terimbas cahaya yang masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan pikiran, memicu keingintahuan, dan membuka jalan menuju pemahaman. Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad, dan persahabatan. Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni pada lomba kecerdasan dulu, ia telah menyihir kepercayaan diri kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan nasib, berani memiliki cita-cita.
Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam lingkaran bayang kobaran api. Kami tercengang karena terobosan pemikirannya, terhibur oleh ide-ide segarnya yang memberontak, tak biasa, dan menerobos. Ia belum pergi tapi aku sudah rindu dengan sorot mata lucunya, senyum polosnya, dan setiap kata-kata cerdas dari mulutnya. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak bertepi. Inilah kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini, hari yang membuat gamang seorang lelaki kurus cemara angin sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga.
Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa. Aku tahu hatinya menjerit, meronta-ronta dalam putus asa karena penolakan yang hebat terhadap perpisahan ini. Sekolah, kawan-kawan, buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh kecintaannya. Suasana sepi membisu, suara-suara unggas yang biasanya riuh rendah di pohon filicium sore ini lengang. Semua hati terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dari lingkaran pendidikan. Ketika kami satu per satu memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan, pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung tercabut paksa meninggalkan sekolah.
Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku yang mengharu biru telah mencurahkan habis air mataku, tak dapat kutahan-tahan sekeras apapun aku berusaha. Kini ia menjadi tangis bisu tanpa air mata, perih sekali. Aku bahkan tak kuat mengucapkan sepatahpun kata perpisahan. Kami semua sesenggukan. Bibir Bu Mus bergetar menahan tangis, matanya semerah saga. Tak setitik pun air matanya jatuh. Beliau ingin kami tegar. Dadaku sesak menahankan pemandangan itu. Sore itu adalah sore yang paling sendu di seantero Belitong, dari muara Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkalan Punai, dari Jembatan Mirang sampai ke Tanjong Pandan. Itu adalah sore yang paling sendu di seantero jagad alam.
Saat itu aku menyadari bahwa kami sesungguhnya adalah kumpulan persaudaraan cahaya dan api. Kami berjanji setia di bawah halilintar yang menyambar-nyambar dan angin topan yang menerbangkan gunung-gunung. Janji kami tertulis pada tujuh tingkatan langit, disaksikan naga-naga siluman yang menguasai Laut Cina Selatan. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan.
======================================================

Resensi buku ini pertama kali saya baca di harian Kompas pada akhir tahun 2006. Sekilas ceritanya mengingatkan saya ketika masih di Sekolah Dasar di kampung, tapi belum kepikiran untuk membelinya. Dua bulan kemudian di sebuah pameran buku di Istora Senayan, saat melewati salah satu stand yang ada, mata saya secara tak sengaja tertumbuk pada sebuah sampul buku yang sepertinya pernah saya lihat. Ternyata buku itu adalah buku yang resensinya saya baca di koran beberapa bulan yang lalu. Tanpa pikir panjang lagi akhirnya buku itu saya beli.

Pelajaran moral yang saya petik dari buku ini adalah, pelajari dan bersikap tamaklah terhadap ilmu, karena ilmu menawarkan pengetahuan yang luas tak terbatas dan mampu menanamkan kerendahan hati yang tak bertepi.
Siapa saja yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, Allah memperjalankannya di atas salah satu jalan surga” (H.R Abu Dawud)



Wassalam,
Takbir

Tuesday, July 8, 2008

Pelangi di Persia (Menyusuri Eksotisme Iran)



Judul: Pelangi di Persia (Menyusuri Eksotisme Iran)
Penulis: Dina Y. Sulaeman
Penerbit: Pustaka IIMAN
Cetakan I: Desember 2007/Dzulqaidah 1428.
Dalam buku ini, Dina Y. Sulaeman dan suaminya Otong Sulaeman menceritakan pengalaman mereka selama 8 tahun tinggal di Iran. Selama 8 tahun tersebut mereka sempat tinggal di 3 kota, Qom (135 km dari Teheran ke arah selatan), Qazvin (130 km dari Teheran ke arah utara), dan Teheran.
Penulis mampu menceritakan bagaimana interaksi mereka dengan masyarakat Iran, yang oleh orang-orang barat disebut sebagai ‘keras kepala’. Dari buku ini penulis bisa menggambarkan situasi masyarakat Iran yang bisa dibilang sangat ramah dan santun. Pertemanan mereka dengan masyarakat Iran begitu mengharukan, di mana mereka mendapat begitu banyak bantuan dari orang-orang Iran selama mereka tinggal di sana, dan itu terlihat ketika mereka melakukan perjalanan mengelilingi Iran.
Masyarakat Iran yang begitu Syi’ah sentris ternyata sangat menjamin kebebasan penganut madzhab yang berbeda yaitu kaum Sunni dan agama lainnya seperti kristen dan zoroaster atau majusi. Yang paling menarik bagi saya dalam buku ini adalah bagaimana hubungan Sunni-Syi’ah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaan sholat, orang-orang Sunni bersedekap sedangkan orang-orang Syi’ah meluruskan tangan ke bawah. Adapun gerakan sholat yang lain, jumlah rakaat, dan bacaannya adalah sama. Azan yang umum di Iran yang Syi’ah ditambahkan dengan kalimat “Asyhadu anna Aliyyan Waliyyullah” (Aku bersaksi bahwa Ali adalah Wali Allah) setelah kata “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” dan kata “Hayya ala khairil amal” (mari kita melakukan amal terbaik) setelah kata “ Hayya alal falah”. Tetapi, di beberapa masjid Sunni tetap menggunakan azan yang sama yang biasa kita dengar di Indonesia. Kalau di Indonesia, kita sebagai orang awam menganggap orang Syi’ah itu aneh dan berbeda, sebaliknya di Iran, masyarakat Iran menganggap Sunni itu berbeda dan aneh. Tetapi hal itu tidak menghalangi mereka dalam hubungan sosial sehari-hari termasuk dalam pernikahan beda madzhab dimana sumpah nikah dibacakan dua kali, sekali dengan cara Sunni dan sekali dengan cara Syi’ah. Dan yang lainnya, ketika Ramadhan, orang-orang Syi’ah tidak melaksanakan sholat Tarawih berjamaah, tetapi pada malam ke-19, 21, dan 23 Ramadhan mereka melakukan I’tikaf di masjid untuk menjemput malam Lailatul Qadar seperti yang dihaditskan oleh nabi Muhammad SAW.
Penghormatan masyarakat Iran terhadap keturunan nabi Muhammad SAW sangatlah besar. Hampir di setiap penjuru Iran ada makam Imamzadeh, sebutan mereka untuk para Imam dalam madzhab Syi’ah yang sebagian besar adalah para keturunan nabi Muhammad SAW. Setiap tanggal 1-10 Muharram, mereka melakukan upacara duka cita untuk menghormati kematian Imam Husein dan Keluarganya yang terbunuh di padang Karbala oleh para tentara dari Dinasti Umayyah. Pada hari-hari tersebut banyak dilantunkan azadari atau lantunan bait-bait syair yang berisikan tumpahan rasa duka cita yang mendalam.
Buku ini juga sedikit menceritakan bagaimana sikap masyarakat Iran ketika PBB mengeluarkan resolusi yang mengembargo mereka, berkaitan dengan proyek pengayaan uranium untuk installasi nuklir di Iran. Dari sini kita bisa melihat betapa besar dan tingginya semangat nasionalisme orang-orang Iran. Dari ibu rumah tangga hingga kepala negara begitu bangga dengan proyek nuklir mereka yang bisa mensejajarkan mereka dengan bangsa-bangsa maju yang lain di dunia. Penulis juga menceritakan suasana pemilu 2005 yang begitu ramai di Iran. Di tengah gencarnya propaganda Amerika kepada masyarakat Iran untuk memboikot pemilu, masyarakat Iran malah dengan semangat datang berbondong-bondong datang untuk memberikan suara mereka.
Embargo terhadap Iran sepertinya tidak berdampak pada kemunduran orang-orang Iran. Mungkin benar juga kata Imam Khomeini yang sering dikutip di tivi-tivi Iran, “Kita jangan pernah takut atas embargo ini. Jika mereka mengembargo kita, kita akan lebih giat bekerja, dan hal ini bermanfaat bagi kita. Orang-orang yang takut terhadap embargo hanyalah orang-orang yang menjadikan ekonomi dan duniawiah sebagai tujuan hidupnya semata”. Setelah 27 tahun diembargo (sejak 1980), Iran telah menjadi negara yang bisa berswasembada dalam berbagai hal. Termasuk dalam teknologi militernya, dimana mereka mampu memproduksi sendiri persenjataan dan kendaraan-kendaraan perang. Bisa dibandingkan dengan Amerika Serikat yang akhir-akhir ini diberitakan malah mengalami kesulitan ekonomi akibat sistem perbankan mereka yang morat-marit dan naiknya harga minyak dunia. Di Indonesia harga bensin mencapai 6000 rupiah per liter sedangkan di Iran masih 1000 rupiah per liternya. Bahkan mereka sedang beralih kepada kendaraan berbahan bakar gas, dimana 1 tabung gas berharga 2000 rupiah bisa digunakan untuk perjalanan 100 km. Jadi, dimana efek buruk embargonya?
Menjelang 2 bulan kepulangan penulis bersama suami kembali ke Indonesia, mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan mengelilingi Iran. Dalam perjalanan itu mereka berjumpa orang-orang Iran dari berbagai etnis, budaya, dan agama. Mereka menyaksikan keanggunan dan keningratan orang-orang Gilan di utara, militansi kesukuan orang-orang Kurdi di barat, kehangatan nyala api orang-orang Majusi di timur, hingga keramahan khas orang-orang etnis Arab di selatan Iran. Desa kuno berusia lima ribuan tahun di Abyaneh, kebun-kebun mawar yang air sulingan bunganya dipakai untuk mencuci Ka’bah, kebun teh dipinggir laut Kaspia, puing-puing perang di Khuramshahr, kuil sesembahan orang Persia kuno di pedalaman Shoush, kota kuno di Shoustar yang pernah diperebutkan pada era Khalifah Umar bin Khattab, masjid kaum Sunni di Sanandaj dengan beranda tuanya yang tenang, pegunungan Zagros yang membuat nafas tertahan, dan puing istana Parsepolis yang menjadi bukti kemegahan peradaban Persia kuno, adalah di antara keeksotisan Iran yang mereka saksikan dalam perjalanan itu.
Perjalanan mereka mengelilingi Iran hanya dilakukan dalam rentang waktu 2 bulan. Namun, yang tertuang di buku ini sejatinya adalah catatan tentang warna-warni pelangi yang selama 8 tahun mereka saksikan di Iran.



Wassalam,
Takbir

Monday, July 7, 2008

Danone Cup-Jakarta Book Fest-Judgement Day

Pertandingan Final Danone Cup 2008, Jawa Timur vs Sumatera Barat

Hari minggu 6 Juli 2008, saya punya beberapa jadwal rencana yang ingin saya lakukan. Acara pertama di mulai pukul 15.00 WIB. Bertempat di Stadion Kuningan Soemantri Brodjonegoro, ada pertandingan Final Danone Cup 2008. Melalui ajang ini akan dipilih tim sepakbola U-12 yang akan mewakili Indonesia di ajang Danone Cup International 2008 yang akan diselenggarakan di Paris, Perancis, pada bulan September 2008 mendatang. Di partai Final kali ini, mempertemukan tim dari Jawa Timur dan Sumatera Barat. Untuk menonton pertandingan ini tidak perlu untuk bayar tiket masuk. Di antara penonton yang datang, kebanyakan adalah para ibu yang membawa serta anak-anaknya. Acaranya sendiri lumayan seru dan dibawakan oleh presenter olahraga yang sering nongol di TV, Terry Putri. Presenter cewek yang susah berhenti bicara.

Setelah beberapa acara pembuka selesai, akhirnya pertandingan dimulai juga. Pemain dari tim Jawa Timur, yang perawakannya rata-rata lebih kecil dibandingkan pemain Sumbar, ternyata lebih mampu menguasai pertandingan. Tim Jatim juga memperlihatkan kemampuan individu yang lebih baik. Di Babak pertama berkali-kali mereka menyerang tetapi masih belum berbuah hasil, akibat penyelesaian yang buru-buru. Akhirnya Jatim bisa mencetak gol pada babak kedua, setelah memanfaatkan kesalahan penjaga gawang tim Sumbar ketika melakukan passing ke pemain belakangnya. Gol tunggal tersebut akhirnya mengantarkan tim Jatim untuk memenangkan pertandingan dengan skor akhir 1-0. Seusai pertandingan, saya tidak bisa menyaksikan acara penyerahan Piala hingga selesai, karena bermaksud untuk segera ke Senayan. Tetapi sebelumnya mampir bentar di Pasfes buat sholat ashar, isi perut, dan beli beberapa DVD.

Acara penyerahan piala Indonesia Danone Cup 2008.

Pukul 17.00 WIB, saya tiba di Istora Senayan yang sedang menggelar Jakarta Book Festival 2008. Sejak tahun 2006, setiap kali ada acara pameran buku di Istora Senayan, saya pasti berusaha untuk berkunjung dan membeli beberapa buku. Apalagi hari ini adalah hari penutupan. Sudah sejak minggu lalu saya berniat untuk pergi ke festival buku ini tapi tidak pernah sempat. Setelah berkeliling selama sejam akhirnya saya beli 5 buah buku yang menurut saya menarik, diantaranya: The Naked Traveller (Catatan seorang backpacker wanita Indonesia keliling dunia) dan Pelangi di Persia (Menyusuri eksotisme Iran). Beli buku pas pameran lumayan dapat harga lebih miring dibandingkan kalau kita beli di toko buku. Pilihan bukunya juga lebih banyak, karena menghadirkan para penerbitnya langsung.

Suasana Jakarta Book Festival 2008 di Istora Senayan.

Sejak tahun 2006 pula saya mengamati bahwa buku Laskar Pelangi dan tetraloginya karya Andrea Hirata masih tetap menjadi buku yang paling laris. Yang saya amati pula, bahwa pameran buku merupakan pameran yang paling ramai dikunjungi apabila ada pameran yang diselenggarakan di Istora senayan atau di JCC, selain pameran otomotif dan properti.

Tumpukan buku yang dijual di salah satu stand di acara Jakarta Festival Book 2008.

Diacara pameran buku ini juga kita bisa melihat begitu tingginya minat baca masyarakat kita. Banyak penulis muda yang muncul dengan buku-buku yang berhasil mencapai best seller. Penerbit buku yang membahas agama Islam adalah yang paling banyak mengikuti pameran buku ini. Mungkin ini juga sebagai indikasi bahwa agama Islam itu mempunyai ilmu yang sangat luas. Pameran buku juga bisa menjadi sarana pendidikan yang bagus bagi anak untuk menumbuhkan minat baca dan melahirkan kecintaan mereka akan buku dan ilmu pengetahuan.

Tumbuhkan minat baca sejak usia dini.

Tidak terasa sudah pukul 18.30 WIB. Sebenarnya baru sebentar saya berkeliling, tetapi saya harus segera ke Stadion Gelora Bung Karno untuk nonton bola. Setelah shalat Maghrib, dengan terburu-buru saya bergegas ke Stadion. Setelah membeli tiket akhirnya saya bisa masuk ke stadion dan mencari tempat duduk yang paling bagus sudut pandangnya. Suasana di dalam stadion tidak terlalu ramai. Malah bisa dibilang sangat sedikit penonton yang datang, padahal pertandingannya lumayan seru. Tim Super 11 yang terdiri dari para pemain lokal terbaik melawan tim Fantastic 11 yang didukung oleh para pemain asing terbaik yang akan bermain di Liga Super Indonesia 2008 mendatang. Pertandingan eksebisi ini dibari tajuk ‘Judgement Day’. Pertandingan ini pula sekaligus menjadi acara pembuka dan peluncuran logo Liga super 2008. Pertandingannya sendiri berakhir dengan skor 3-2 untuk tim Super 11. Setelah sempat tertinggal 0-3 terlebih dahulu hingga pertengahan babak ke-2, tim Fantastic 11 bisa memperkecil kekalahan dengan 2 gol. Bahkan nyaris menyamakan kedudukan jika saja gol terakhir tidak di anulir, karena bola sudah terlebih dahulu dianggap keluar oleh wasit. Semoga penyelenggaraan Liga super mendatang bisa berlangsung sukses dan melahirkan bakat-bakat baru yang nantinya bisa membela tim nasional Indonesia. “ No tawuran, no anarki, just good football” (jiplak quote dari salah satu acara sepakbola nasional di TV).

Acara pembukaan dan launching logo Liga Super Indonesia 2008.

Pukul 21.00 WIB, akhirnya saya bisa pulang untuk istirahat sebentar kemudian nulis blog ini dan meng-upload nya, kemudian tidur. Akhir pekan yang lumayan melelahkan tapi menyenangkan.

-Wassalam-

Takbir