Monday, July 22, 2013

Manchester United Tour 2013 di Bangkok


Klub sepakbola Manchester United (MU) pernah akan mengunjungi Jakarta pada tahun 2009 seandainya saja tidak ada kejadian ledakan bom di Hotel Marriot Kuningan yang berujung pada batalnya kunjungan klub MU. Saya ingat betapa hebohnya para penggemar bola membeli tiket untuk menyaksikan MU bertanding di senayan, dan lebih heboh lagi ketika akhirnya tidak jadi datang, heboh minta uang tiket dikembalikan. Untung waktu itu tidak kebagian tiket, bisa ikutan heboh juga.

Sekarang saya malah mendapatkan kesempatan nonton MU bermain di Bangkok. Hari pertandingan MU di Bangkok bertepatan dengan hari adik dan tante saya pulang ke Indonesia. Paginya antar mereka ke Bandara Suvarnabhumi dan setelah itu bergegas ke Siam Paragon untuk mengecek dan membeli tiket jika masih ada. Di Thailand ada perusahaan penyedia tiket segala acara, konser musik, pertandingan olahraga  dan juga tiket perjalanan. Konter mereka salah satunya ada di lantai 5 mall Siam Paragon, dekat loket tiket bioskop. Paling pojok sebelah kiri.

Pertandingannya dimulai pukul 20.00 dan masih punya waktu istirahat sebentar sebelum berangkat ke stadion. Apalagi saat ini sudah bulan puasa, harus hemat energi.

Lokasi Stadion Rajamanggala dari tempat tinggal saya lumayan jauh. Harus naik airport link dan turun di stasiun Ramkamhaeng. Ketika akan berangkat dari Phayathai saja sudah sangat banyak orang yang berpakaian seragam merah MU. Sebagian besar penumpang airport link sepertinya punya tujuan yang sama dengan saya. Karena belum pernah ke Stadion Rajamanggala dan tidak tahu pastinya bagaimana menuju ke sana, jadi lebih tenang. Tinggal ikuti rombongan saja.

Setelah baca-baca review tentang bagaimana menuju ke sana, dan semuanya mengingatkan agar berangkat setidaknya 4 jam sebelum pertandingan, karena akses menuju ke Stadion akan macet total.

Pasukan ojek yang menyambut pendukung MU di stasiun Ramkamhaeng

Setiba di stasiun Ramkamhaeng, begitu turun dan keluar dari stasiun, sudah berjejer puluhan tukang ojek yang siap panen, karena begitu banyaknya pendukung MU yang datang. Seorang polisi terlihat malah yang mengatur antrian tukang ojek. Karena polisinya mungkin sadar jalanan macet dan jumlah bus kota tidak bisa mengangkut semua penonton yang mau ke Stadion. Manfaatkan semua sumber daya transportasi yang ada, termasuk ojek motor. Sampai-sampai satu ojek ngangkut dua penumpang. Saya juga ikut naik ojek yang sama dengan orang lain. Baru kali ini saya naik ojek bonceng tiga. Saya duduk paling belakang dan tidak dapat pijakan kaki. Abang tukang ojeknya ngebut, mengambil jalur lain yang sepertinya lebih sepi kendaraan, tetapi sempat berjalan melawan arus kendaraan yang lain. Melaju dengan kecepatan tinggi sambil bonceng tiga saya berpegangan sekuatnya, khawatir jika motornya tersandung batu kecil saja, saya bisa terpelanting. Belum lagi kaki pegel berusaha nahan supaya sendal ga copot. Selangkangan rasanya pegel banget setelah sekitar lima belas menitan naik motor bonceng tiga, sambil kebut-kebutan dengan kaki menggantung tanpa pijakan.

Tiba sekitar pukul lima sore dan segera mencari tempat penukaran voucher dengan tiket aslinya. Setelah bertanya pada petugasnya, sayapun bisa menukar dengan tiket aslinya. Suasana stadion sudah sangat meriah dan memerah oleh pendukung MU. Suasananya mirip di GBK senayan jika Timnas PSSI bertanding. Thailand juga negeri penggila bola sama seperti Indonesia. Untuk menghabiskan waktu saya berkeliling melihat para pendukung MU. Bukan cuma warga lokal tapi juga banyak warga asing yang datang. 

Di luar komplek stadion banyak penjual makanan tepi jalan, dan ternyata banyak pedagang makanan halal. Saya jadi tidak perlu repot mencari makanan untuk berbuka puasa. Warga lokal banyak yang datang ke komplek stadion bukan untuk nonton bola, tapi sekedar makan dan duduk di atas rumput.



Setelah buka puasa saya bertanya arah mesjid terdekat kepada dua gadis Thai berjilbab. Awalnya mereka terlihat agak enggan ketika saya sapa, tetapi ketika tahu saya menanyakan lokasi mesjid, mereka dengan semangat menunjukkan arahnya. Dari gerbang utama komplek Stadion, menyeberang jalan dan cari jalan 53 atau soi 53 (soi ha sib sam), mesjidnya ada di situ. Saya perhatikan di area sekitar komplek Stadion Rajamanggala ini memang banyak wanita yang berjilbab, baru saya ketahui ternyata komunitas muslim di Ramkamhaeng ini cukup besar, bahkan Islamic Center Thailand ada di area ini.

Sehabis sholat dengan tergesa-gesa kembali menuju Stadion. Kick off akan dimulai setengah jam lagi. Antrian penonton memasuki stadion terlihat masih sangat banyak. Bahkan mesti antri berdesak-desakan. Masuk melalui sektor barat (W) sesuai tiket, dan ketika memasuki stadion di pintu W5, ternyata di situ ada ruangan tempat sholat (Muslim Prayer Room). Wah hebat juga nih, di dalam GBK senayan aja nggak di sediain tempat sholat. Di Thailand, di mana muslimnya minoritas malah disediain.


Tiket yang saya beli ternyata ada di level 3, lantai paling atas. Hmmm... pantas aja tadi perasaan tidak enak ketika melihat disekitar stadion banyak penjual teropong, tenyata ini toh maksudnya. Tiket saya juga free seat, siapa cepat dia dapat. Kursi hampir semuanya penuh, untung tidak butuh lama untuk menemukan kursi yang masih kosong.

Satu diantara sekian pedagang teropong di sekitar stadion Rajamanggala

Antusias penonton bola di Thailand sama persis dengan Indonesia. Tapi mereka terlihat lebih teratur. Di Indonesia penonton masih suka liar. Penonton yang merokok di dalam stadion juga tidak terlihat. 

Secara desain, stadion GBK senayan masih lebih bagus menurut saya dibandingkan stadion Rajamanggala. Tetapi di Rajamanggala, semua kursi penontonya sudah plastik dan bisa terlipat sendiri, tidak seperti halnya di GBK yang 75 persen adalah bangku kayu. Keunggulan GBK mungkin yang paling terasa adalah aksesnya jauh lebih mudah, dibandingkan Rajamanggala yang lokasinya jauh, tidak banyak tranportasi publik yang memadai ditambah lagi dikelilingi jalur macet.
Pertandingan sendiri berlangsung menarik, rasanya senang sekali bisa secara langsung melihat para pemain MU bermain, terutama pemain senior Ryan Giggs yang paling sering mendapat tepuk tangan riuh dari penonton setiap kali dia mendapat bola atau mengambil tendangan sudut. Sayangnya MU yang didominasi pemain muda, malah kalah 0-1 oleh tim tuan rumah.

Dari kejauhan terlihat pendukung MU dari Indonesia membentangkan spanduk bertuliskan "We'll wait in INDONESIA".
Selesai pertandingan penonton berjalan keluar dengan teratur dan sudah saya duga jalanan depan komplek stadion macet total. Saya memutuskan untuk nongkrong dulu sambil makan jajanan dan buah yang masih ada di sekitar situ. Menunggu beberapa saat sepertinya jalanan bakal macet dalam waktu lama, akhirnya menawar ojek yang lewat untuk mengantar ke stasiun Ramkamhaeng, takut kemaleman dan airport link nya sudah tidak ada untuk kembali ke tengah kota Bangkok. 


Salam,
Takbir

Belanja Gila di Bangkok


Harga barang terutama pakaian dan makanan relatif lebih murah di Bangkok di bandingkan Jakarta atau kota-kota besar Indonesia lainnya. Makanya kadang orang Indonesia dan atau Malaysia yang datang ke Bangkok tujuannya adalah wisata belanja. Terutama wanita tentu saja. Termasuk tante saya yang berlibur ke Bangkok. Sejak datang yang dipikirkan hanya belanja oleh-oleh, pakaian dan tas. Ada banyak pusat belanja pakaian yang ramai di Bangkok. Di antaranya MBK, Pratunam dan Platinum. Yang pastinya tidak akan dilewatkan oleh para gila belanja.

Siam Paragon, dekat stasiun BTS Siam

Akhir pekan saya mengajak mereka ke pasar mingguan Chatuchak. Pasar segala macam barang yang juga populer bagi warga lokal dan tentu turis asing. Pasar ini begitu luas dan masuk ke dalamnya bagai masuk lorong labirin, sulit untuk saling menemukan jika satu di antara kami ketinggalan. Bahkan ketika membeli baju kaos untuk oleh-oleh, saya hendak menitipkannya ke pemilik kios tapi dia mengatakan akan sulit bagi kami untuk menemukan kembali kiosnya jika sudah berkeliling dalam Chatuchak. Sebenarnya setiap lorong kios sudah di nomorin tetapi tetap saja sulit. Di tengah-tengah pasar ini, kalau tidak salah masuk dari lorong no.16 ada warung masakan halal yang enak. Sekitar 100an baht per porsi. Di luar pasar Chatuchak juga ada musholla, di dekat parkiran motor di belakang deretan kantor bank.

Belum benar-benar masuk ke dalam pasarnya, tante saya mulai berhenti di setiap kios melihat, mengecek kain dan menyuruh saya menanyakan harganya ke pedagang. Tante saya ini sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris jadi butuh saya untuk menanyakan harga setiap kali dia singgah di kios. Huff... Awalnya hanya satu celana kain, kemudian bertambah dengan satu kain yang lain, 10 tas suvenir buat oleh-oleh. Tidak terasa sudah menjinjing 2 tas kresek penuh belanja, dan sepertinya tante saya tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Ketika saya bilang mau rehat duduk dulu, dia tetap masuk ke kios yang lain dan saya pura-pura tidak lihat. Dengan bahasa Isyarat dia meminta kalkulator ke pedagangnya dan terjadilah transaksi tawar menawar dengan kalkulator... Hahahaha... Berhasil dengan teknik menawar dengan kalkulatornya menjadikan tante saya makin pede memasuki setiap kios sendirian. Saya yang sambil duduk terus awas memperhatikan ke mana dia pergi jangan sampai hilang dari pengamatan.

Cukup empat jam di Chatuchak, kami pulang dengan 3 kantong belanjaan. Oiya, di pasar Chatuchak ini kami secara tak sengaja bertemu dengan Irfan Bachdim, pemain timnas PSSI yang memang saat ini bermain untuk klub Chonburi FC. Dia datang dengan istri dan anaknya yang masih balita.

Tante dan adik saya memang datang dengan hanya satu koper berdua. Dan di dalam koper ternyata sudah ada dua tas cadangan. Kopernya datang hamil dan pulang melahirkan anak kembar dari Thailand.

Tidak puas belanja di Chatuchak, hari-hari berikutnya tante dan adik saya mengunjungi pasar grosir Bobae dekat Prince Palace. Tempat kami dibawa oleh supir taksi yang salah mengerti dengan Grand Palace tempo hari. Lokasinya tidak begitu jauh dari tempat saya. Mereka senang berbelanja di sini dibandingkan kalau saya ajak ke mall. Karena di sini mereka bisa menemukan barang yang sama dengan harga yang lebih murah dari pasar Chatuchak apalagi di mall. Kalau cuma mall biasa, di Makassar juga ada kata mereka.

Sehari sebelum pulang mereka tidak keluar lagi. Alasannya sih betis sudah pegal jalan terus. Selidik punya selidik, ternyata uang mereka dah habis.. Hahahahaha.. Alhasil seharian mereka merapikan bagasi yang akan dibawa pulang. Datang dengan satu koper, pulang dengan tambahan satu tas belanja besar dan dua tas kecil penuh belanjaan. Mereka kini khawatir akan over bagasi. Tapi untunglah akhirnya mereka berhasil lolos tanpa over bagasi. Dan berhasil membawa semua oleh-oleh dan belanjaan ke kampung untuk dibagi-bagikan ke sanak saudara.


Salam,
Takbir

Jalan-jalan Seputar Bangkok - Asiatique dan Taling Chan

Beberapa orang lokal yang ketika mengetahui saya turis, selalu menanyakan apakah sudah pernah ke Asiatique? Katanya sangat bagus jika ke sana sore hari menjelang matahari terbenam. Saya ke sana sudah dua kali. Yang pertama ketika diajak teman dan yang kedua ketika mengajak adik dan tante yang sedang berlibur ke Bangkok.


Asiatique adalah komplek pertokoan dan restoran yang ditata dengan sangat bagus di tepi sungai Chao Phraya. Untuk menuju ke sini bisa dengan perahu dari Saphan Taksin (stasiun BTS) atau yang paling tidak repot ya dengan taksi. Di sini ada tempat belanja berbagai suvenir, tapi sepertinya orang-orang ke sini untuk menikmati malam dan matahari terbenam di tepi sungai Chao Phraya sambil duduk di kafe yang ada di situ. Kadang juga pengelola mengadakan acara seperti konser musik atau bazar jajanan makanan halal selama Ramadhan tahun ini. Di sini juga ada Gedung Calypso, untuk anda yang tertarik melihat pertunjukan bencong menari.




Taling Chan atau dikenal juga sebagai water market hanyalah berupa restoran perahu yang menyajikan berbagai sajian ikan bakar, cumi bakar dan udang bakar. Ikannya dipanggang oleh ibu-ibu di atas perahu sampan kecil. Harganya lumayan murah, bersama teman kami bertujuh memesan 3 porsi ikan, 2 porsi cumi dan nasi 8 porsi hanya membayar sekitar 900 baht atau hampir 300 ribu Rupiah. Di sekitarnya juga banyak penjual makanan kecil dan cemilan serta buah.
 

Setelah kenyang, kita bisa naik perahu dengan membayar 60 baht, berkeliling sungai-sungai kecil yang ternyata cabangnya sangat banyak dan berliku-liku. Di sepanjang sungai adalah rumah warga. Sungainya sama saja dengan sungai di Indonesia, rada butek, tapi sepengamatan saya bersih dari sampah plastik. Karena sungainya yang kecil, setiap kali berpapasan dengan perahu yang lain terutama yang lebih kecil, maka mesin perahu dimatikan, supaya tidak menghasilkan gelombang yang bisa menghempaskan salah satu perahu.


Berkeliling naik perahu ini lumayan lama, sekitar sejam lebih. Perut yang kekenyangan, naik perahu dengan hembusan angin cepoi-cepoi jadinya bikin ngantuk. Perahu ini ada pemandunya juga dengan dwi bahasa Thai dan Inggris. Suatu ketika pemandunya bilang, "please see on your left side, it's a banana tree".. saya langsung buka mata dan bilang wow! Habis itu merem lagi..

Sempat berhenti memberi makan ikan sungai yang brutal berebutan remah-remah roti. Pantas saja ikannya lezat, ternyata makannya roti.

Dari sini kami pulang naik bus kota, halte busnya tepat di tikungan, atau cukup berdiri di depan 7eleven. Bus AC cukup bayar 17 baht. Dan bus ini lewat depan Khaosan Road. Butuh sekitar sejam jika macet, bisa lanjutkan tidur lagi di atas bus.


Salam,
Takbir

Jalan-jalan Seputar Bangkok - Grand Palace

 
Saya sengaja menunggu hingga tante dan adik saya datang berlibur ke Bangkok untuk mengunjungi Grand Palace. Karena tiket masuknya yang mahal 500 Baht atau sekitar 165 ribu Rupiah. Satu-satunya hal yang hingga saat ini saya anggap kemahalan di Bangkok. Buat warga lokal sih gratis. Kalau berani  dan bermuka tebal sebenarnya bisa aja nyelonong masuk ikut di antrian warga lokal karena tampang kita yang mirip mereka, tapi ga tau gimana kalau ketahuan, mungkin mukanya makin tebal.. hahahaha

Berangkat dari tempat tinggal saya di daerah Rong Mueang, saya nyegat taksi dan yakin bahwa semua supir taksi pasti tau di mana itu Grand Palace. Benar saja, taksi pertama aja langsung mengangguk begitu saya menyebut Grand Palace. Di belokan pertama taksi belok ke arah yang benar. Oke, artinya ga ada masalah pikir saya, supirnya tau. Masih belum jauh kami berjalan di perempatan di mana seharusnya dia lurus tapi malah belok kanan, saya belum berpikir kami salah, saya masih berpikir dia ambil jalur lain, karena memang di perempatan tadi sangat macet. Melewati semacam pasar grosir, sambil ngobrol, tante saya menunjuk dengan jari ke arah pasar, sang supir juga ikut-ikutan nunjuk ke arah yang sama sambil berbicara bahasa Thai yang jelas saya tidak mengerti, namun saya mengangguk-angguk saja. Kemudian taksi kami berbelok ke kiri masuk ke pasar, eittss... mau kemana nih.. Ternyata bapak supirnya membawa kami ke Prince Palace, hotel berbintang di dekat pasar itu. Baru saya sadar ternyata pak supirnya salah mengerti dengan tujuan kami. Saya berulang-ulang sebutin Grand Palace, malah dia jadi kelihatan bingung. Sempat pak supirnya sepertinya nanya ke petugas security depan hotel, tapi sepertinya petugasnya juga bingung.

Karena bingung, supirnya malah menepikan taksi, saya kemudian menelpon kawan untuk bertanya apa bahasa Thai nya Grand Palace. Tapi malah di jawab, pasti semua taulah di mana itu Grand Palace, tapi gw ga tau bahasa Thai nya. Yaahh.. tidak membantu juga. Akhirnya saya teringat kalau Grand Palace dekat dengan Khaosan Road, saya bilang aja Khaosan ke bapak supirnya dan dia langsung mengangguk paham. Kami pun di bawa ke Khaosan. Setiba di mulut jalan Khaosan, saya minta turun, jangan sampai kita muter-muter lagi kejauhan di dalam area Khaosan. Saya yakin pak supirnya tidak berniat membawa kami muter-muter ga jelas, ini semua karena saya yang tidak bisa menjelaskan alamat tujuan dengan baik. Jadinya siang-siang jalan kaki kepanasan. Dari Khaosan kami jalan kaki melihat-lihat sekitar dan berniat nyari taksi lain yang bisa membawa kami ke Grand Palace.

Sempat nampang bentar di depan monumen demokrasi dekat Khaosan Road

Tapi ternyata dari sekian banyak supir taksi dan tuk-tuk, benar-benar tak ada yang tau. Dan saya juga jadi bingung gimana lagi bilangnya. Akhirnya saya menelpon kawan orang lokal, dan ternyata kata dia, saya harus menyebut dalam bahasa Thai nya, yaitu Wat Phra Kaew (baca: wat pla kew, karena lidah cadel orang Thailand). Supir taksi atau tuk-tuk lokal jarang yang mengerti Grand Palace itu Wat Phra Kaew. Dan benar saja, supir tuk-tuknya langsung ngerti begitu saya bilang wat pla kew. Karena memang sudah tidak begitu jauh kami cukup bayar 50 baht saja dan diantar hingga dekat pintu masuknya. Akhirnya sampai juga, kami hanya menertawakan kebodohan kami tadi..

Grand Palace atau Wat Phra Kaew sepertinya menjadi tempat yang wajib dikunjungi oleh setiap wisatawan yang berkunjung ke Bangkok. Mungkin karena itulah harga tiket masuk sangat tinggi untuk mendapatkan pemasukan yang sebanyak-banyaknya tentunya. Untuk masuk pertama kali mungkin lumayan sepadan lah dengan harganya, tapi tidak untuk berkunjung dua kali, dengan harga yang sama tentunya. Kecuali kalau masuk gratis, hayuk aja.. hehehe..



Wat Phra Kaew pertama kali dibangun ketika ibukota Kerajaan Siam dipindahkan dari Ayuthaya ke Bangkok, setelah kekalahan Ayuthaya dari Kerajaan Burma (atau yang sekarang adalah Myanmar). Saat ini sudah tidak ditempati oleh keluarga kerajaan dan dibuka untuk umum. Bangunan yang ada di dalam memang megah dan sebagian dilapisi dengan corak keemasan.



Bangunan utama yang dikunjungi oleh umat Budha Thailand untuk berdoa adalah bangunan yang berisikan patung Budha yang terbuat dari batu zamrud berwarna hijau. Yang menurut legenda di buat di India, namun kemudian di bawa ke Srilanka untuk diselamatkan dari perang sipil yang terjadi. Pernah dibawa ke Kamboja dan Laos hingga akhirnya dibawa dan disimpan di Bangkok oleh Raja Pertama dinasti Chakri yang hingga saat ini berkuasa di Thailand. Dibolehkan masuk ke ruangan ini, tapi dilarang memotret.

Phra Thinang Maha Prasat bangunan dengan arsitektur eropa ini dibangun pada masa Raja Rama V, setelah dia berkunjung ke Jawa dan Singapura di mana dia melihat bangunan gaya Eropa masa kolonial.



Keluar dari Grand Palace, kami mampir sebentar minum air kelapa. Saya menawari untuk mengunjungi Wat Pho, patung Budha tidur tapi sepertinya adik dan tante saya ini tidak tertarik. Setelah itu kami hanya berjalan kaki menuju Tha Tien pier. Naik perahu ke seberang menuju Wat Arun.

Kami hanya berjalan-jalan di sekitarnya. Saya sih sudah pernah masuk dan mereka sepertinya juga tidak terlalu tertarik untuk masuk. Cukup berfoto dari luar saja. Dari Tha Tien pier kami naik perahu menuju Saphan Taksin untuk naik BTS menuju MBK dan jalan kaki ke Petchburi untuk makan siang yang sebenarnya waktu itu sudah sore. Setelah itu kami langsung pulang karena kecapean jalan keliling di siang hari yang panas.


Salam,
Takbir