Sunday, March 30, 2014

Jaipur - Kota Maharaja Yang Suka Pink

Karena tidak mendapatkan tiket kereta dari Chandigarh ke Jaipur, terpaksa beli tiket bus yang harganya lebih mahal. Perjalanan sekitar 11 jam. Naik kereta jauh lebih nyaman karena bisa tidur selonjoran dibanding bus yang lebih terbatas ruang buat kakinya. Apalagi supir bus yang kami tumpangi sepanjang jalan ngebut dan tidak berhenti membunyikan klakson. Jalan raya dari Chandigarh menuju Jaipur melewati kota Delhi dipenuhi oleh truk pengangkut barang. Bus kami dengan kecepatan tinggi menyalib dari sisi kanan maupun kiri dengan klakson yang senantiasa berteriak. Mungkin karena aturan jalan raya di India sudah begitu, di belakang semua truk angkutan barang di India punya tulisan 'Blow Horn' atau yang lebih halus 'Please Horn'.

Tiba pukul 8 pagi. Dari terminal bus yang terletak di bagian kota lama, langsung menuju guesthouse yang disediakan kantor. Jadi selama di Jaipur saya gratis akomodasi. Istirahat sebentar kemudian jalan-jalan keluar karena kebetulan hari minggu.

Kota Jaipur adalah ibukota negara bagian Rajashtan. Wilayah Rajashtan memiliki area gurun pasir yang paling luas di India. Gurun pasir hanya ada di wilayah Rajashtan dan Gujarat yang berada di sebelah baratnya. Namanya diambil dari Maharaja Jai Singh, yang dulu jadi penguasa wilayah ini. Kota ini dikenal dengan sebutan pink city, tapi sepanjang penglihatan saya tidak berwarna pink, tapi berwarna merah bata. Ada juga yang menyebutnya ini warna pink terracotta atau merah pasir. Seluruh bangunan kemudian dicat seragam oleh penguasa lokal, Maharaja Sawai Ram Singh II,  ketika menerima kunjungan Pangeran Albert dari Kerajaan Inggris, saat India masih wilayah koloni Inggris. Agar sang pangeran mendapat kesan yang baik tentang kota ini dan penguasanya tentunya. Warna pink ini dianggap punya makna penyambutan dan keramahtamahan. Bahkan sejak itu, penguasa mengharuskan setiap bangunan harus dicat berwarna yang sama. Saat ini hanya di sekitaran kota lama dimana bangunan Hawa Mahal yang sering dijadikan ikon kota ini juga berada.




Albert Hall yang sekarang menjadi museum, peletakan batu pertamanya ketika kunjungan Pangeran Albert. Ketika awal pembangunan gedung ini belum ditentukan peruntukannya, kemudian diputuskan untuk dijadikan museum oleh pemerintah lokal.

Ada begitu banyak merpati disekitar dan diatap Albert Hall


Maharaja yang berkuasa di Jaipur bertempat tinggal di Istana, sekitar 50 meter dari Hawa Mahal. Beberapa bagian Istana dan koleksinya kini dijadikan museum. Tiket bagi orang asing 300 rupee. Banyak Istana milik Maharaja yang oleh pewarisnya dijadikan museum atau hotel mewah, sebagai sumber pendapatan bagi mereka yang punya pengeluaran besar untuk mendukung gaya hidup mereka sebagai keturunan Maharaja. Yang menarik disini adalah begitu banyaknya koleksi senjata yang digunakan oleh pasukan Maharaja dari sejak masa pemerintahan Mughal hingga masa kolonial Inggris. Serta koleksi perhiasan dan pakaian Maharaja dan keluarganya. Semuanya terjaga dengan baik. Hal ini dikarenakan dari dulu Maharaja Jaipur mengambil keputusan untuk tidak berkonfrontasi dengan kekuatan dominan di masanya seperti Mughal dan Inggris. Sehingga kota ini tidak pernah mengalami yang namanya penjarahan dan penghancuran. Dilarang memotret di dalam ruang koleksi istana tersebut. 
Bangunan utama Chandra Mahal
Bangunan yang dijadikan semacam pendopo oleh Maharaja untuk mendengarkan pendapat dari para pembantunya.
Mubarak Mahal, bangunan dengan kombinasi arsitektur khas Rajashtan. Tempat Maharaja menyambut tamunya. Sekarang menjadi museum tempat koleksi baju kebesaran Maharaja jaman dulu, yang saya lihat ukuran dan modelnya seperti yang ada di Topkapi Palace di Istanbul Turki. Sepertinya model tersebut menjadi trend di masanya.

Teko dari perunggu yang katanya terbesar di dunia, terbuat dari 14000 keping perunggu dengan kapasitas 4000 liter.


Amer atau Amber yang berada di atas bukit sekitar 2 KM di luar kota Jaipur merupakan ibukota wilayah ini sebelum dipindah ke Jaipur. Istana sekaligus benteng dibangun diatas bukit. Sekarang di kenal sebagai Amber Fort. Menjadi daya tarik utama wisatawan asing dan domestik di kota ini. Ukurannya sangat besar dan terlihat megah karena berada di atas bukit yang mempunyai danau kecil di  bawahnya.



Benteng yang menyerupai tembok besar di Cina, di atas bukit sekeliling Amber Fort
Ukuran dan arsitektur Amber Fort sepertinya tidak kalah megah dengan benteng istana yang ada di eropa sana. Dan disekelilingnya terdapat beberapa benteng yang saling terhubung menyerupai tembok besar di Cina. Untuk menuju ke sini bisa dengan bus no.5 dari tengah kota Jaipur. Atau menyewa auto alias bajai. Tiket masuk Amber Fort 300 Rupee untuk orang asing.




Pemandangan dari atas Amber Fort


Pada malam hari di Amber Fort diadakan pertunjukan tentang sejarah Jaipur dengan narasi oleh Amitabh Bachan, aktor Bollywood yang terkenal itu. Disertai dengan efek lampu pada Amber Fort untuk mendramatisir ceritanya. Harus bayar 100 rupee untuk pertunjukan ini. Tapi hanya tertarik untuk memotret efek cahaya di Amber Fort di malam hari, jadi saya menunggu di seberang jalan dengan kamera yang sudah siap. Setelah berhasil mengambil beberapa gambar, saya didatangi petugas bahwa tidak boleh mengambil gambar karena sedang ada pertunjukan. Sempat berargumentasi bahwa saya cuma ambil gambar foto bukan video, lagipula dari jarak sejauh ini saya tidak bisa mendengar suara pertunjukan itu. Tapi petugasnya tetap keukeuh tidak bisa, dan saya pun pergi. Setidaknya sempat mendapatkan gambar bagus seperti di bawah ini.

Jal Mahal atau Istana Air berada di sisi sebelah kanan di jalan menuju ke Amber. Saya mampir disini ketika jalan pulang  setelah dari Amber. Di saat air tenang dan langit bersih, kita akan bisa melihat cerminan istana ini di air. Sayangnya tidak begitu ketika saya datang. Jadi saya sengaja menunggu hingga matahari terbenam agar cerminan Jal Mahal lebih terlihat di air.
Danau Man Sagar yang mengelilingi Istana ini adalah tempat penampungan air untuk masyarakat wilayah ini. Dahulu sempat terjadi krisis air yang berdampak pada krisis kelaparan membuat sang penguasa setempat memperluas ukuran danau dan membuat waduk di dekatnya. Sumber air danau ini sendiri adalah dari air hujan tahunan setiap bulan juni hingga oktober. Istana yang berada di tengah danau dulu digunakan oleh keluarga kerajaan yang ingin bertamasya. Di Istana ini katanya tidak ada kamar, hanya berupa ruangan besar dan taman diatapnya. Istana ini mempunyai lima tingkat dimana empat tingkat terendam oleh air.   


Di sepanjang taman tepi jalan banyak warga lokal yang berkumpul, menghabiskan waktu sore sambil menikmati pemandangan Jal Mahal.



Foto ini jadi hadiah setelah sengaja menunggu hingga matahari terbenam.

Hawa Mahal berada di tengah pasar di kota lama. Bangunan ini diperuntukkan bagi para wanita keluarga kerajaan. Berupa bangunan bertingkat lima dengan banyak jendela kecil yang berwarna warni, agar para wanita keluarga raja bisa melihat kehidupan pasar di luar istana tanpa harus keluar istana. Banyaknya jendela juga bertujuan untuk membiarkan hawa udara masuk di saat musim panas yang gerah. Kata hawa bermakna sama dengan kata yang kita gunakan dalam bahasa Indonesia. Arsitekturnya dikatakan meniru model mahkota yang dikenakan Khrishna, salah satu Dewa yang di puja umat Hindu. Ada juga yang mengatakan modelnya seperti sarang lebah.

Pasar di sekitar Hawa Mahal.


Jendela warna-warninya terlihat jelas saat malam hari ketika lampu dinyalakan.
Sebagai wilayah yang dikelilingi gurun pasir, sepertinya tidak afdol tanpa kehadiran makhluk yang satu ini.
Ajmeri Gate di malam hari, salah satu dari banyak gerbang kota lama Jaipur.
Tips: Mulai dari Albert Hall, kemudian jalan kaki menyusuri jalanan kota lama hingga Hawa Mahal. Jaraknya Mungkin sekitar 15 menit jalan kaki. Dari Hawa Mahal sekitar 50 meter memasuki City Palace. Dari city Palace kembali ke bunderan dekat Hawa Mahal dan naik bus no.5, no.21 atau no.1, semuanya menuju arah Amber Fort dan juga melalui Jal Mahal. Busnya besar dan nyaman. Sebaiknya ambil bus no.5 karena tidak terlalu padat penumpang. Hanya bayar 15 rupee sekali jalan. Bayar dengan uang pas, karena kondektur suka lupa kasih kembalian, jadi harus kita minta.


Wassalam,
Takbir

Sunday, March 23, 2014

Chandigarh - Ibukota Yang Dibagi Dua Karena Beda Bahasa

Taman Mawar (Rose Garden) Chandigarh
Chandigarh berjarak sekitar 700 kilometer arah utara barat laut Kota Lucknow. Atau hanya sekitar 250 kilometer arah utara Delhi. Dengan Kereta Api Lucknow-Chandigarh Ekspress, kami berangkat pukul 22.30 malam dari Lucknow dan tiba pukul 10.30 pagi. Sekitar 12 jam perjalanan. Dengan kereta sleeper yang cukup nyaman membuat perjalanan tidak terasa, karena sepanjang perjalanan tidur. Stasiun kereta Chandigarh tidak terletak di pusat kota seperti kebanyakan stasiun kereta. Butuh sekitar 15 menit untuk mencapai pusat kota. Untungnya di Chandigarh tidak seketat Lucknow soal orang asing, saya tidak kesulitan mendapatkan hotel yang tidak terlalu mahal. Hotel Sarao seharga 1700 rupee untuk double bed, karena saya bareng seorang teman ditugaskan ke sini.

Chandigarh adalah ibukota dari dua negara bagian, yaitu Punjab dan Haryana. Sebagian penduduk berbahasa Punjabi dan Sebagian berbahasa Hindi masuk wilayah Haryana. Untuk mencegah adanya perselisihan antara dua negara bagian, maka Chandigarh secara administratif dibawah kendali pemerintah pusat. Menjadikan kota ini unik di India, secara administrasi.

Chandigarh merupakan kota di India yang pertama dirancang dengan sangat bagus setelah India merdeka. Jadi kota ini tergolong baru. Jika saya bandingkan dengan Lucknow yang baru saja saya tinggalkan beberapa hari yang lalu, Kota Chandigarh memang jauh lebih rapih dan bersih. Dan lebih lengang dari riuh kendaraan. Jalanan lebih lebar, bangunan tertata rapi dan tidak terlihat area kumuh. Kota di bagi dalam kotak-kotak berupa sektor. Mencari alamat akan mudah dengan mengetahui sektor nya.

Teman lokal sini mengklaim, bahwa Chandigarh adalah kota paling tertata bahkan paling indah menurut dia di India. Cuma di kota ini pengemudi mobil taat menggunakan sabuk pengaman, walau pengemudi masih suka kebut-kebutan, tidak ada yang berani menerobos lampu merah. Polisi berjaga di setiap lampu merah yang ramai. Sudah siap dengan buku tilangnya jika ada yang melanggar. Saya melihat banyak mobil yang kena tilang di beberapa persimpangan jalan. Di sini tidak boleh sembarang berjualan di pinggir jalan. Sebagian besar wilayahnya adalah area pemukiman, di mana dilarang keras menjadikan rumah sebagai tempat usaha. Sangat banyak rumah bagus dan mewah di sini.

Taman seperti ini ditemui di setiap sektor pemukiman warga.

Area perbelanjaan, di sektor 17


Tidak banyak objek menarik di kota ini. Karena kota ini relatif masih baru. Danau Sukhna yang menjadi tempat rekreasi warga kota, ternyata juga buatan. Kalau di Indonesia tidak disebut Danau, tapi Waduk atau Situ.


Panorama view Danau 'Waduk' Sukhna

Yang sempat saya kunjungi juga adalah Rock Garden. Taman buatan yang didominasi bebatuan cadas, karang dan beberapa hiasan dengan benda daur ulang, seperti pecahan keramik. Masuk ke sini bayar 20 Rupee. Jalan dari pintu masuk hingga pintu keluar sudah diatur jalurnya satu arah, hingga sulit jika anda sudah melewati satu lokasi, kemudian mau kembali ke lokasi itu lagi.




Yang sangat kentara terlihat di sini, dan sebagian besar wilayah Punjabi, adalah banyaknya warga Sikh dengan turban serta kumis dan janggut panjang yang tidak dipotong. Ada yang menyisir dan mengikatnya dengan rapi. Tapi ada juga yang membiarkannya tumbuh liar dan berkibar-kibar jika tertiup angin. Apalagi kalau naik motor, jenggotnya makin berkibar.

Chandigarh adalah kota transit bagi para turis yang ingin menuju beberapa tempat lain yang menarik di sekitar wilayah ini, seperti Shimla kota yang menjadi tujuan peristirahatan musim panas kolonial Inggris, Manali yang terkenal sebagai tempat resort bermain ski, dan Amritsar dengan Kuil Emas yang dianggap paling suci oleh umat Sikh. Di kota ini juga dengan mayoritas Sikh, lebih banyak terlihat Kuil Sikh dibandingkan Kuil Hindu.

Jalan rindang seperti ini banyak ditemui di Chandigarh. Menjadikannya kota yang menurut saya sendiri, nyaman buat menetap.


Wassalam,
Takbir