Wednesday, January 30, 2013

Bapaknya Si Cahaya

Cerita berikut ketika saya masih kerja di Jeddah, Saudi Arabia. 

Pukul lima sore seperti biasa saya bersiap pulang dari kantor. Dari lantai empat gedung perkantoran Serafi Mega Mall, Jeddah, saya turun untuk mencegat taksi seperti hari-hari sebelumnya. Taksi sangat banyak berlalu lalang di sini, karena lokasinya memang di salah satu jalan poros di Jeddah dan juga terdapat Danube hypermarket dan toko meubel IKEA yang populer di Saudi Arabia. Taksi menjadi satu-satunya pilihan kendaraan umum dalam kota di Saudi. Di sana rata-rata punya mobil pribadi, karena harga mobil yang lebih murah jika di bandingkan dengan harga di negara lain. Dan juga harga seliter bensin kelas Pertamax yang lebih murah dari harga seliter air mineral. Bahkan kalau beli bensin dalam jumlah tertentu, sering dikasih hadiah sekotak tissue atau sebotol besar air mineral.

Di Saudi semua taksi berargo, tapi orang-orang lokal lebih suka tawar menawar sebelum naik taksi. Kebanyakan supir taksi berasal dari Pakistan yang umumnya sedikit bisa berbahasa Inggris, sehingga gampang buat kita untuk bertanya atau menjelaskan alamat. Ada beberapa juga yang saya temui berasal dari Indonesia, Filipina, Srilanka dan Bangladesh. Ada juga orang Saudi yang menjadi supir taksi. Banyak kawan yang sudah lebih lama tinggal di Saudia, merekomendasikan untuk tidak naik taksi yang pengemudinya orang Saudi. Karena sudah banyak yang mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan jika supirnya orang Saudi. Yang paling sering adalah jika kita sudah sepakat harga di awal, tetapi ketika akan sampai mereka suka minta lebih dengan alasan macet, atau jaraknya lebih jauh dari perkiraan dia. Ada juga yang ketinggalan barang di bagasi, karena taksinya kabur begitu saja ketika dia turun.

Dari kantor ke tempat tinggal dan sebaliknya, biasanya saya bayar 15 riyal saudi (SAR). Atau kalau mau sedikit sabar dan keukeuh menawar, kadang ada juga yang mau hanya dengan 10 riyal. Tapi sepanjang jalan muka supirnya merengut.. hahaha... Selama saya di sana 15 riyal sudah menjadi deal yang saling menguntungkan antara saya dan supir.

Beberapa saat saya menunggu taksi, banyak yang lewat, tapi entah kenapa sedikit yang kosong. Ada yang kosong, tidak mau singgah. Ada yang mau singgah, supirnya menolak karena arahnya berlawanan dengan arah pulangnya dia. Ada kejadian apa hari ini? Hingga datang sebuah sedan Toyota coklat muda yang agak butut. Di beberapa bagian body-nya kelihatan bekas dempul. Dari balik kemudi, seorang bapak, umurnya pertengahan 40-an perkiraan saya, yang dari kesan pertama saja saya lihat berwajah ramah, menyapa saya dan bertanya hendak ke mana? Oiya, dia menyapa saya dalam bahasa Inggris, sehingga saya juga dengan mudah bisa mengerti. Ketika mengetahui saya mau pulang dan dia bilang tahu lokasi tempat tinggal saya, dia pun menawari untuk naik mobil dia saja. Entah kenapa, tanpa ada rasa curiga, saya balas bertanya, saya harus bayar berapa? Dia balik nanya lagi, biasanya kamu bayar berapa? Saya jawab saja 15 riyal. Dia mengiyakan. Singkat cerita, saya naik mobil bapak itu. Sepanjang perjalanan kami bercakap-cakap. Dia memperkenalkan namanya sebagai Abu Nur, nama aslinya saya lupa. Tapi begitulah orang Arab sering memanggil dirinya atau bapak yang lain dengan nama Abu Fulan, jika nama anaknya adalah si Fulan.

Abu Nur menceritakan kalau dia berasal dari Libanon dan sudah lama tinggal di Jeddah. Sekitar 25 tahun kalau saya tidak salah ingat. Dari awal juga saya sudah menebak kalau dia bukan orang Saudi atau orang dari negara Asia Selatan yang banyak di sini. Rambutnya sedikit pirang kemerahan. Dari cerita dia pula saya jadi tahu kalau dia kena PHK dari perusahaan Tekstil tempat dia kerja sebelumnya selama hampir 20 tahun. Jadi saat ini dia kembali melamar pekerjaan ke sana ke mari. Dan nyambi sebagai supir taksi gelap (karena menggunakan mobil pribadi untuk mengangkut penumpang yang juga umum di Saudi). Sebelum melihat saya, katanya tadi dia barusan mengantar pelanggannya di dekat Serafi Mega Mall. Sepanjang perjalanan sekitar 15 hingga 20 menit tidak terasa, karena begitu banyak hal menarik yang dia ceritakan tentang kota Jeddah dan kehidupan di Saudi yang tidak saya tahu. Tiba di depan tempat tinggal saya, kemudian saya bayar sesuai kesepakatan. Dan dia memberi nomor teleponnya dan meminta nomor telepon saya. Katanya kalau pulang kantornya jam 5 sore dia akan menunggui saya di depan Serafi Mega Mall. Begitu awal perkenalan saya dengan Abu Nur.

Hari-hari berikutnya, hampir setiap hari saya ditunggui di depan kantor dan diantar Abu Nur pulang. Pernah ketika saya harus ke kantor Saudi Airlines untuk mengubah status tiket kembali saya ke Indonesia yang akan habis masa berlakunya hari itu juga, untuk di jadikan statusnya Open hingga setahun ke depan. jadi saya bisa menggunakannya kapan saja saya mau, sebelum habis masa berlakunya tahun depan. Sangat terbantu oleh Abu Nur yang hapal kota Jeddah, sehingga dia sudah tahu betul di mana kantor pelayanan Saudi Airlines. Dia juga yang menunggui saya antri untuk bisa dilayani petugas tiket Saudi Airlines. Ternyata tidak selancar yang saya duga, saya mesti menunggu hingga pukul 9 malam (dari jam setengah 6 sore tadi). Pada pukul 8 malam akhirnya Abu Nur pamitan duluan karena ada keperluan lain, dan saya cuma bayar ke dia seperti biasa, saya sampai tidak enak hati ditungguin begitu. Sebelum pergi dia sempat bilang, yah begitulah orang Saudi, suka sengaja melambat-lambatkan pekerjaan... hehehehe...

Saya juga sering pulang bersama teman yang tempat tinggalnya sama dengan saya. Saya pun memperkenalkan mereka dengan Abu Nur. Mereka yang awalnya tidak setuju saya ajak naik yang bukan taksi resmi itu, akhirnya akrab juga dengan Abu Nur. Ketika ada teman Indonesia yang mengundang semua rekan sekantor asal Indonesia untuk makan malam bersama di rumahnya, saya hari itu pulang agak telat dari kantor, sekitar pukul 7. Dan ternyata Abu Nur masih menunggu. Biasanya kami janjian pukul 5 sore, dan kalau sampai saya belum meneleponnya dia saya persilakan pergi duluan, tidak perlu menunggu saya. Malam itu saya naik mobil dia lagi mengantar saya ke rumah kawan yang mengundang itu. Ketika kami sudah menjauh dari kantor, kawan saya yang lain menelpon menanyakan mau ikut bareng saya... Yah, saya sudah jalan. Tapi Abu Nur malah menawarkan untuk berputar dan menjemput kawan itu. Kami pun menjemput dia lalu meneruskan menuju ke rumah teman Indonesia yang mengundang itu. Ketika tiba di tujuan, saya menyodorkan 20 riyal karena sudah merasa tidak enak ditungguin hingga malam dan sempat berputar kembali menjemput kawan di kantor, tetapi dia cuma mengambil 10 riyal. Abu Nur bilang, jaraknya dekat dan untuk jarak segini ongkos seharusnya memang hanya 10 riyal. Saya paksa dia menerimanya tetap dia juga ngotot menolak bahkan tidak mau menyentuh uang saya. Akhirnya dengan perasaan yang sangat tidak enak, saya menyodorkan 10 riyal saja, dan dia tersenyum menerimanya kemudian mengucap salam lalu pergi. Saya bersama kawan hanya berdecak kagum, ketemu orang seperti Abu Nur di Saudi.

Pengalaman lainnya dengan supir taksi seorang anak muda Arab keturunan Yaman. Kami sepakat 10 riyal, dari tempat saya ke tempat teman yang memang tidak begitu jauh, di jalan Mubahitz. Jalan Mubahitz ternyata ada beberapa. Mubahitz 1 hingga 5. Ketika saya sudah sadar kalau sudah lewat dari alamat tujuan, saya baru mengingatkan supirnya kalau saya mau ke Mubahitz 2. Saya yang salah, malah supirnya, anak muda itu, yang minta maaf. Ketika tiba di tujuan saya menambahkan jadi 15 riyal, karena memang sudah memutar agak jauh. Tapi seperti halnya Abu Nur, anak muda ini juga menolak mengambil uang saya. Dia bersikeras maunya hanya 10 riyal, sesuai kesepakatan awal. Alamatnya sempat terlewat dia anggap itu kesalahan dia yang lupa menanyakan jelas kepada saya. Takjub lagi ketemu orang seperti ini. 

Pernah juga dengan seorang anak muda lainnya yang asli Saudi, dengan mobil pribadinya menghampiri saya yang sedang menunggu taksi untuk pulang. Waktu itu sekitar jam 8 malam, Abu Nur sudah pulang duluan, karena saya tidak bisa memastikan bisa pulang jam berapa. Saat itu saya bersama kawan orang Nigeria, Francis. Melihat yang singgah supir Saudi dan bukan taksi resmi, si Francis sudah berkeras jangan naik itu. Tapi  entah kenapa saya tertarik dengan bahasa Inggris anak muda itu yang fasih. Saya menyebutkan alamat dan harga, kami sepakat, dan saya langsung naik saja tanpa meminta persetujuan Francis yang hanya melongo melihat saya sudah di atas mobil. Si Francis akhirnya jadi ikut naik juga. Saya yang dari awal penasaran dengan anak muda Saudi ini, jadi aktif bertanya ke dia. Kamu supir beneran? kata saya. Dia tersenyum, lalu menjawab dengan bahasa Inggrisnya yang bagus, "Tidak. Saat ini saya masih aktif berkuliah. Saya mahasiswa program Master di Universitas King Abdulaziz Jeddah. Saya juga kerja sambilan di Bank Saudi Fransi (kerja sama Saudi dan Perancis)", sambil memperlihatkan kartu pengenalnya kepada saya. Kenapa kamu sekarang mengambil penumpang? "Saya ambil penumpang yang kebetulan searah dengan saya saja. Tidak sering. Lumayan mengganti ongkos bensin". Lanjutnya, "Saya berusaha memenuhi kebutuhan saya sendiri tanpa meminta kepada orang tua lagi." Kalau saya perhatikan mobilnya yang bagus, saya yakin anak ini bukan anak yang kurang mampu. Saya tidak banyak tanya lagi di sepanjang jalan. Agak takjub menjumpai pemuda Saudi yang seperti ini. Pengalaman yang langka jika melihat sehari-hari gaya anak-anak sekolahan Saudi yang lain yang berkeliaran di Mall-mall pada jam sekolah. Ketika si Francis salah nunjuk jalan pun anak muda ini tetap tersenyum dan bilang tidak apa-apa, dia juga tidak sedang buru-buru. Pengalaman bertemu 2 pemuda seperti ini begitu mengesankan saya. Andai semua pemuda muslim begini, indahnya dunia. Sayangnya saya tidak sempat menanyakan nama mereka.

Sempat beberapa hari saya tidak ditungguin oleh Abu Nur. Tanpa kabar dari dia dan tidak membalas sms saya, membuat saya was-was, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa terhadap dirinya. Hingga beberapa hari kemudian dia menunggui saya lagi seperti biasa. Ternyata beberapa hari kemarin dia sedang ikut tes untuk sebuah posisi pekerjaan di Bandara Internasional Jeddah. Tapi dia tidak lulus. Pesaing kandidatnya dengan yang jauh lebih muda. Susah katanya buat seumuran dia mencari lagi pekerjaan kantoran. Dulunya di tempat yang lama dia digaji sekitar 5000 riyal atau sekitar 12 juta setiap bulannya. Plus tunjangan lainnya. Sekarang dia mesti mengorek tabungan untuk bisa menghidupi keluarganya dengan 2 putri yang masih sekolah menengah.

Makin lama saya merasa hubungan dengan Abu Nur bukan lagi sekedar antara penumpang dan supir taksi gelap. Tapi seperti kawan lama. Hingga hari terakhir saya akan meninggalkan Jeddah, dia mengantarkan saya, yang ingin membeli koper baru, ke beberapa toko swalayan yang dia ketahui menjual koper yang bagus dan sedang diskon. Berkeliling dan kemudian mengantarkan saya pulang. Saya hendak memberinya lebih karena mambawa saya keliling sekaligus sebagai tanda perpisahan tapi seperti yang sudah saya tebak dia bersikeras menolaknya dan hanya ingin 15 riyal seperti biasa. Dari laci mobilnya dia memberi saya buku doa kecil dengan huruf Arab gundul. Kami bertukar salam dan berjabat tangan untuk berpisah. 

Selama hidup ini saya sudah banyak dipertemukan dengan orang-orang baik tapi tidak banyak yang seperti Abu Nur. Dalam kondisi dan situasi sulit yang dia hadapi, dia tetap taat lurus menjalankan hal-hal yang baik. Tidak memanfaatkan situasinya untuk menarik simpati agar mendapat keuntungan lebih. Apalagi koper merah yang saya beli bersama dia masih saya pakai ke mana-mana hingga sekarang. Ada tempat spesial di ingatan saya mengenai Abu Nur, Bapaknya si Cahaya (saya terjemahkan bebas namanya). Saya hanya bisa mendoakan mudah-mudahan kondisinya dia selalu baik dan sudah mendapatkan pekerjaan lagi, seperti harapan yang sering dia ceritakan berulang-ulang kepada saya dalam perjalanan pulang dari kantor menuju Jeddah Rock, tempat tinggal saya selama di sana, di sekitar jalan Falestin, Jeddah. 


Salam,
Takbir

Tips dan Cerita Menjaga Sholat Ketika Sedang Traveling

Tips ini cocok buat yang sudah bisa atau terbiasa menjaga sholatnya dalam situasi normal. Saya yakin muslim dalam golongan yang ini, juga akan memasukkan hal penting tersebut sebagai pertimbangan ketika akan melakukan perjalanan. Buat yang dalam situasi normalpun masih sering acak jadwal sholatnya, silakan tersungging (nyengir kuda), asal jangan tersinggung :) . Bagaimana kita sholat nantinya di perjalanan, apakah sempat? apakah ada tempat? Kalau tidak, bagaimana? Lantas bagaimana menentukan waktunya? Itu adalah beberapa pertanyaan yang paling sering kita hadapi jika kita melakukan perjalanan ke Negara-negara atau tempat yang mayoritas penduduknya bukan muslim.

Pegangan saya tentang melaksanakan sholat dalam perjalanan adalah saya yakin bahwa diantara rahmat dan kasih sayang Tuhan, Dia tidak menjadikan perintah-Nya ini sebagai sesuatu yang memberatkan hamba-Nya. Namun Dia telah menjadikan agama-Nya sebagai sesuatu yang mudah untuk diamalkan dan diaplikasikan dalam kehidupan. Yang umum diketahui umat muslim, bahwa kita boleh meng-qasharkan sholat atau meringkas jumlah rakaatnya (Dhuhur, Ashar, dan Isha dari 4 rakaat di kondisi normal menjadi 2 rakaat saja ketika sedang dalam perjalanan). Serta melaksanakan 2 shalat siang (Dhuhur dan Ashar) dan 2 shalat malam (Magrib dann Isha) dalam 1 waktu saja. 1 waktu di siang hari dan 1 waktu di malam hari yang dikenal dengan istilah menjamakkan sholat. Untuk jarak perjalanan berapa jauh kah dibolehkan menjamak sholat? Yang saya ketahui adalah jika perjalanan lebih jauh dari 80 Km*. Tapi ada juga yang saya ketahui dan dengar jika jarak perjalanan sudah lebih dari 60 Km, maka boleh meng-qasharkan dan menjamakkan sholat. Tambahan lainnya jika menetap di tempat tujuan lebih dari 3 hari, maka 3 hari pertama boleh meng-qashar dan menjamak sholat, dan hari-hari berikutnya mesti melakukan sholat seperti biasa*. Yang di atas tadi adalah dasar-dasar hukumnya, nah saya sendiri bagaimana dalam pelaksanaannya? Berikut adalah kisah nyata pengalaman saya dalam usaha menjaga sholat yang mungkin atau ternyata masih belum terjaga dengan benar.

Hal terpenting pertama menurut saya adalah memperkirakan kapan harus mulai berangkat dan kapan perkiraan tiba ditujuan. Jika sudah masuk waktu sholat dan kita masih punya waktu sebelum mulai berangkat, maka sebaiknya laksanakan dulu sholatnya, supaya di jalan nanti tidak kepikiran lagi. Pengalaman ketika traveling di Jepang dan Rusia yang susah menemukan tempat sholat, saya biasanya justru sengaja menunggu di hostel, hingga masuk waktu sholat dhuhur supaya bisa saya jamak sekalian dengan ashar. Tidak apa-apa kesiangan jalan-jalannya asalkan hati juga tenang tidak memikirkan sholat lagi sampai malam.

Kalau sudah terlanjur jalan dari pagi bagaimana mencari tempatnya? Di sarankan selalu menyiapkan sajadah yang bisa dilipat kecil dan mudah diselipkan dalam tas yang dibawa ke mana-mana. Selama traveling di Jepang, ketika masuk waktu sholat saya biasanya berkeliaran tanpa arah mencari tanah yang lapang, dan sejauh ini tempat yang paling cocok dan gampang menurut saya adalah lapangan parkir. Lapangan parkir di Jepang banyak, bersih dan beberapa sangat luas (umumnya lahan parkir bus pariwisata). Saya tinggal nyari tempat yang kosong dan sepi tentunya. Biar bagaimanapun saya selalu keki jika sedang sholat dilihat orang yang lewat. Yang mungkin tidak tahu apa yang sedang saya lakukan sehingga terlihat aneh, mencurigakan atau eksotis menurut mereka :) .  Tetapi sejauh ini, Alhamdulillah, belum menemui masalah. Ada juga beberapa teman sejalan, yang jika di tempat ramai dan sulit menemukan tempat kosong, lebih memilih untuk sholat sambil duduk dengan isyarat saja. Tetapi bagi saya, cara itu adalah cara terakhir dan sudah kepepet. Tetap sholat dengan gerakan biasa walau orang lain pada ngeliatin. Setelah selesai, yah cepat-cepat pergi saja dari situ, sambil pasang tampang datar seperti tidak terjadi apa-apa hehehe...

Waktu jalan-jalan ke Danau Kawaguchiko, kami sempat salah jurusan ketika naik bus dan nyasar ke salah satu danau di dekatnya yaitu Danau Saiko. Tapi di tepi danau yang lebih sepi ini, kami menemukan tempat kosong yang sempurna buat sholat. Setiap kejadian memang selalu ada kebaikan yang menyertainya.
 

Traveling di Turki paling tidak ada masalah soal sholat. Karena mereka memang mayoritas muslim dan sangat mudah menemukan masjid (cami dalam bahasa turkinya) di setiap kota. Ketika masuk waktu sholat dan kebetulan lewat mesjid, saya ikut berjamaah sebagai makmum. Karena ikut makmum dalam rombongan jamaah yang melaksanakan sholat secara normal (dhuhur/ashar 4 rakaat) maka saya pun harus ikut jumlah rakaat mereka walaupun sebenarnya saya boleh meng-qashar nya. Beda lagi ketika saya masih di Jeddah, Saudi Arabia. Ada kawan kantor (orang Arab) yang melakukan business trip dari Riyadh ke Jeddah. Kami hanya berdua waktu itu (saya telat ikut rombongan jamaah awal), kawan ini yang menjadi imam, dia lalu memberitahu bahwa dia dalam kondisi musafir, jadi dia hanya akan melaksanakan 2 rakaat saja. Dan setelah dia menutup salam, saya harus berdiri melanjutkan sisa 2 rakaat lagi, karena saya memang tidak dalam kondisi sebagai musafir. Jadi ada 2 kondisi berbeda disini. Sebagai musafir ikut berjamaah maka saya harus ikut Imam dan melaksanakan sholat secara normal atau tanpa meringkas sholat. Atau sebaliknya ikut berjamaah oleh Imam yang sedang musafir sedangkan kita sendiri tidak dalam keadaan musafir, Imamnya meringkaskan sholat sedang kita mesti menggenapkan sholat seperti biasa setelah Imam menutup salam.

Situasi ketika traveling ke Iran beda lagi, tidak ada masalah dengan tempat sholat, tetapi Iran kan warganya mayoritas syi’ah. Berbeda sedikit dalam pelaksaan sholat. Mereka dalam kondisi normal (tidak dalam perjalanan) sudah menjamak dan meng-qasharkan sholatnya. Jadi selama di Iran cuma mendengar azan 3 kali sehari, yakni Subuh, Dhuhur dan Magrib. Pernah satu kali saat akan ke Qazvin dari Tehran bersama Arul (mahasiswa Indonesia yang menemani saya di Iran), kami sholat di musholla terminal bus. Di saat yang sama muslim lokal sedang melaksanakan sholat berjamaah yang tentu saja dijamak dan diqashar. Kami yang memang juga bisa menjamak dan meng-qashar memutuskan tidak ikut mereka, karena perbedaan cara sholat. Orang syiah meluruskan tangan ke bawah, kami bersedekapkan tangan di dada. Orang syiah mengeraskan suara bacaan walaupun siang, yang setahu saya hanya diwajibkan saat sholat di waktu malam. Serta mereka juga membaca qunut pada rakaat kedua di setiap sholatnya. Saat selesai sholat, saya merasa (mungkin perasaaan saya saja) mereka memandangi kami dengan aneh, seperti kami memandang tidak biasa pada mereka karena perbedaan pelaksaanaan rukun sholat ini. Saya sendiri tidak pernah mau mengklaim bahwa cara sholat sayalah yang paling benar, tetapi saya hanya berusaha melaksanakan sholat yang saya ketahui, pelajari dan yakini paling tepat pelaksanaannya. Urusan pahala sholat kita serahkan sama yang di atas sajalah. Saat mengikuti tur di Yazd, hari menjelang magrib dan saya belum sholat. Lokasi terakhir di salah satu Dakhmeh atau makam kuno orang Zoroaster yang lebih dikenal dengan Tower of Silence. Yang lain, yang memang non muslim, segera mendaki ke atas Dakhmeh, sedangkan saya dan Arul serta dua orang Iran supir tur bergantian melaksanakan sholat di atas sajadah yang sama. Muslim syiah dan sunni, sholat bergantian di atas makam Zoroaster menghadap Dakhmeh, yang kebetulan adalah arah kiblat dilihat dari posisi di mana kami melaksanakan sholat. Kombinasi yang tidak biasa bukan?

Teringat saat kuliah agama Islam di semester pertama dahulu. Ketika sekelas mendiskusikan berbagai hal tentang sholat dan kami mendapati adanya berbagai perbedaan pendapat dan pandangan, dosen agama kami menutup acara kuliah hari itu dengan mengatakan, semakin lama kalian akan semakin banyak mendapati dan menjumpai adanya perbedaan dalam pelaksanaan sholat oleh berbagai muslim di dunia. Terus yang mana yang benar? Jawaban sementara untuk  menenangkan kami, yang benar itu yang melaksanakan sholat, dan yang tidak benar yang tidak melaksanakannya.

Saat traveling bersama teman, walaupun dalam status musafir, ada juga yang tetap mengusahakan melaksanakan sholat secara normal. Tapi saya memilih meng-qasharnya. Perbedaan ini tidak masalah sama sekali karena keduanya benar menurut saya. Saya mengambil pilihan meng-qasharnya sebagai kemudahan yang diberikan Allah bagi yang sedang musafir. Ada ulama yang mengatakan dan saya setuju dengan pendapat ini, bahwa Allah senang ketika kita mengambil kemudahan yang diberikan oleh Dia, sebagaimana Dia senang ketika kita menghindari larangan-Nya.

Jika banyak muslim yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, maka salah satu bukti kesempurnaannya akan bisa kita saksikan dan alami langsung ketika kita berada dalam situasi yang tidak biasa. Seperti ketika sedang dalam perjalanan. Karena dalam setiap situasi, semuanya telah diatur oleh agama ini. Mudah-mudahan cerita tidak singkat alias panjang ini bisa mengajarkan kita bahwa tidak ada alasan untuk meninggalkan sholat. Yang setuju silakan tersenyum, yang tidak setuju silakan nyengir :)

*Sangat diharapkan komentarnya jika ada yang bisa menambahkan atau mengoreksi mengenai aturan sholat ketika dalam perjalanan.


Salam,
Takbir

Monday, January 28, 2013

Kota Pelabuhan Yokohama

Di tulisan saya sebelumnya tentang Yokohama, saya menceritakan bagaimana berkeliling dengan jalan kaki berdasarkan rekomendasi  peta yang saya dapatkan secara gratis di pusat informasi turis Stasiun Sakuragicho. Kali ini juga jalan kaki tetapi sekalian saya memanfaatkan sightseeing bus Akaikutsu. Situs resminya di sini. Saya start nya dari halte bus no.4 di Stasiun Sakuragicho. Dengan hanya 100 yen sekali naik atau 500 yen untuk one day pass, bus Akaikutsu ini bisa dikatakan melewati semua tempat menarik di sekitar pelabuhan Yokohama. Tempat menarik banyak di sekitar pelabuhan Yokohama, karena memang Yokohama awalnya berkembang dari desa nelayan kecil menjadi pelabuhan dan sampai sekarang juga masih menjadi kota pelabuhan yang penting di Jepang.  Kapal-kapal pesiar yang singgah di Jepang, pasti berlabuh di Yokohama. Bus ini memiliki 2 rute yaitu  M dan C. Rute M berkeliling sekitar Minato Mirai dan Rute C berkeliling di sekitar China Town (Chukagai) dan Motomachi. Lengkapnya bisa unduh pamfletnya di link berikut

Menumpang sightseeing bus Akikutsu
Saya mengambil rute-C atau Chukagai. Saya turun di halte C-10, di atas sebuah bukit yang dari atas kita bisa memandang pelabuhan Yokohama dan area Minato Mirai dari kejauhan. Dari atas bukit ini saya berjalan turun menuju Motomachi. Motomachi adalah area pertokoan khusus pejalan kaki. Saya lihat sebagian besar adalah toko pakaian atau sepatu. Dan sepertinya semuanya adalah merk yang terkenal. Tidak berpikir untuk membeli sesuatu, sekedar lihat-lihat saja. Area pertokoan Motomachi ini mengingatkan saya dengan area pertokoan Pokrovskaya di kota Nizhniy Novgorod, Rusia. Hanya saja di sini tidak ada patung seperti halnya di Nizhniy. Dan juga di sini jalan lebih sempit dan lebih pendek.

View point di atas bukit memandang ke arah pelabuhan Yokohama dan Minato Mirai
Gerbang masuk area Motomachi
Motomachi, area pertokoan  untuk pejalan kaki
Salah satu gerbang masuk ke China Town di Yokohama
Dari Motomachi saya berjalan menuju China Town. China town ini memiliki beberapa gerbang. Kalau naik kereta JR, bisa di akses dari arah Stasiun Kannai atau Stasiun Ishikawacho. Di China Town, banyak dijual pernak-pernik dan kuliner khas negeri Tiongkok. Keluar dari China Town saya tidak lurus menuju Yamashita Park karena sebelumnya sudah beberapa kali ke situ, kali ini saya mengambil jalan lain yaitu Yamashitacho yang belum pernah saya lalui untuk menuju Pelabuhan Yokohama dan kembali berputar menuju Stasiun Sakuragicho.  Di sepanjang jalan Yamashita ini, masih banyak terdapat bangunan tua yang masih terawat dengan baik. Bangunan yang modelnya sudah mengikuti gaya barat. Pembukaan Yokohama sebagai pelabuhan internasional di Jepang sekaligus menandai terbukanya masyarakat Jepang setelah restorasi Meiji terhadap kebudayaan luar, terutama dari bangsa barat.

Yamashitacho dan beberapa gedung tua yang sangat terawat dan masih digunakan hingga saat ini.
Gedung yang awalnya adalah kantor bea cukai ketika Yokohama dibuka sebagai pelabuhan internasional tempat masuk dan keluarnya barang dari luar negeri. Saat ini merupakan kantor pemerintahan Prefecture Kanagawa.
Red brick alias bangunan dengan bata merah, yang dulunya merupakan gudang. Saat ini diubah fungsinya menjadi pusat pertokoan yang populer terutama di kalangan remaja dan sangat ramai pada setiap akhir pekan. Lokasinya di tepi laut sangat dekat dengan pelabuhan Yokohama.
Kapal pesiar yang sedang bersandar di Pelabuhan Internasional Yokohama
Pemandangan dengan latar belakang Gedung Landmark dan area Minato Mirai, tetap selalu menjadi favorit.


Salam,
Takbir


Sunday, January 20, 2013

Shin Okubo - Korea Kecil di Tokyo

Korea adalah etnik pendatang kedua terbanyak di Jepang setelah etnik Cina. Bermula ketika Jepang menguasai semenanjung Korea pada tahun 1910, banyak orang Korea yang didatangkan sebagai pekerja terutama di tambang-tambang batu bara. Gelombang kedua adalah pengungsi akibat perang Korea tahun 1950. Seperti halnya orang Cina, orang Korea juga berkumpul di satu tempat membentuk komunitas mereka sendiri. Warga Jepang keturunan Korea, dikenal dengan sebutan Zainichi. Di Tokyo, tempat yang terkenal sebagai area komunitas Korea (Korea Town) ada di sekitar stasiun Shin Okubo, satu stasiun setelah Shinjuku dengan Yamanote Line.
Keluar dari stasiun Shin Okubo, belok ke kanan saya langsung melihat deretan toko, di jalan yang tidak terlalu lebar, dengan tulisan dwi bahasa karakter Kanji Jepang dan Hangul Korea. Alunan lagu pop Korea atau K-Pop terdengar dari berbagai arah. Saya perhatikan ada 3 jenis toko yang mendominasi area ini. Toko yang menjual dvd dan berbagai suvenir para bintang K-Pop. Toko kecantikan dengan berbagai merk kosmetik dari Korea. Dan tentu saja, restoran masakan Korea. Di antara deretan Toko itu terdapat jalan-jalan  sempit , seukuran lajur untuk satu mobil, yang ramai dengan pejalan kaki. Di sini akan terlihat lebih banyak lagi toko-toko dengan tulisan bahasa Korea.
Sengketa pulau tidak cuma terjadi antara Jepang dan Cina yang saling mengklaim sebuah gugusan pulau kecil yang disebut Senkaku oleh Jepang atau Diaoyu oleh Cina. Korea dan Jepang juga saling mengklaim sebuah gugusan pulau karang, yaitu pulau Takeshima (Jepang) atau Dokdo oleh Korea.  Sengketa ini kadang menimbulkan ketegangan antara dua negara tetangga serumpun ini. Shin Okubo sering menjadi target demonstrasi oleh para pendukung kelompok Ultra Nasionalis Jepang, yang bukan hanya mengancam warga keturunan Korea yang ada di situ tetapi juga warga Jepang yang mereka temui sedang berbelanja di sini. 

Shin Okubo juga terkenal dengan cerita tentang seorang Mahasiswa asal Korea Selatan, Lee Su-Hyun. Pada 26 Januari tahun 2001, ketika sedang berada di stasiun Shin Okubo, seorang warga Jepang yang sedang mabuk terjatuh di atas rel kereta. Lee bersama seorang warga Jepang yang lain (Shiro Sekine) secara reflek mencoba membantu pemabuk yang jatuh tersebut, mereka melompat ke atas rel kereta, tetapi apa daya justru akhirnya mereka bertiga tewas terlindas kereta api. Kisah tragedi usaha seorang warga Korea berusaha menyelamatkan warga Jepang ini, membuat warga Jepang terkesan. Lee Su-Hyun menjadi salah satu simbol untuk memperbaiki hubungan baik kedua negara, Jepang dan Korea. Kisah kehidupan Lee, yang mempunyai pacar dan teman-teman warga Jepang, diangkat dalam sebuah film Jepang yang berjudul 26 Years Diary.
Shin Okubo terletak tidak jauh dari kawasan esek-esek Kabukicho.  Di Shin Okubo dan terutama di Kabukicho terdapat banyak bar, tempat pijat serta permainan judi  pachinko yang dikenal dikendalikan oleh kelompok kejahatan teroganisir (organized crime). Sehingga tingkat kriminal relatif tinggi dibanding wilayah Tokyo yang lain. Akan sering kita temui mobil patroli polisi berkeliling di area ini, bahkan di jalan-jalan yang sempit. Tetapi untuk sekedar berjalan-jalan di area ini, saya kira aman-aman saja karena memang sangat ramai. Tindakan kriminal yang disebut tinggi, maksudnya mungkin keributan antar pemabuk yang sudah kehilangan kendali, kejadian yang lumrah dilokasi yang padat hiburan malam. 

Deretan hotel short time dan permainan pachinko di area antara Kabukicho dan Shin Okubo.




Salam,
Takbir

Salju Karuizawa

Bagi yang berkunjung ke Jepang pada musim dingin dan ingin mengunjungi ski resort yang tidak terlalu jauh dari Tokyo, maka Karuizawa bisa menjadi pilihan yang bagus. Karuizawa terletak di antara Tokyo dan Nagano yang terkenal dengan ski resort Gala Yuzawa. Perjalanan sekitar 1 jam 10 menit dengan Shinkansen Asama dari Stasiun Tokyo (sekali jalan 5240 yen). Gala Yuzawa di Nagano yang pernah menjadi tuan rumah Olimpiade musim dingin 1998, menurut saya lebih cocok buat para profesional atau yang sudah bisa bermain ski. Karuizawa cocok bagi pemula atau yang sekedar ingin mencoba ski atau sekedar jalan-jalan melihat pemandangan sekitar yang tertutup salju yang tebal.
Jika berminat mencoba ski maka di sini terdapat tempat penyewaan alat ski, sekitar 4000 yen sehari.  Serta membayar tiket lift untuk ke atas bukit sekitar 4500 yen seharian. Saya pikir, olahraga musim dingin memang rata-rata mahal. Mahal ongkos transport, mahal di kostum, mahal fasilitas. Saya sendiri tidak berminat mencoba ski. Jalan biasa di atas salju saja sering terpeleset. Apalagi mencoba ski, bukannya meluncur, bisa jadi malah menggelinding. Beberapa kawan mencoba ski sedang saya dengan dua kawan yang lain, berkeliling di sekitar resort melihat-lihat dan memotret pemandangan sekitar.
Pondok penginapan yang berada sangat dekat dari tempat bermain ski.
Ski Resort Karuizawa juga dilengkapi pusat perbelanjaan Prince Shopping Plaza. Pakaian merk ternama dengan potongan harga yang lumayan. Tapi walaupun ada potongan harga, tetap saja mahal.
Berkeliling di sekitar perumahan warga tidak jauh dari Stasiun Karuizawa. Pada musim panas, Karuizawa yang berudara sejuk menjadi tujuan warga Tokyo untuk melarikan diri dari gerah.
Kami meninggalkan Karuizawa untuk kembali menuju Tokyo sesaat setelah matahari tenggelam.


Salam,
Takbir