Wednesday, July 23, 2008

Radovan Karadzic Akhirnya Tertangkap.....???

Akhirnya penjahat perang ini tertangkap juga,....


Mungkin cuma kebetulan, saya baru aja nonton Film "The Hunting Party" yang dibintangi oleh Richard Gere yang menyindir tentang susahnya UN dan NATO untuk menangkap Radovan Karadzic Pemimipin Serbia-Bosnia waktu itu tersangka utama pembantaian Muslim Bosnia dan Kristen Suku Croatia di Srebrenica pada tahun 1995. Di akhir Film itu disebutkan bahwa UN, NATO, dan Amerika terlalu ”sibuk” mencari Osama Bin Laden yang belum jelas dia bersalah atau tidak dibandingkan dengan Karadzic yang sudah jelas-jelas terbukti sebagai pembantai, dan kemungkinan besar berada di bawah perlindungan pemerintah Serbia.

Perlu diketahui bahwa daerah Balkan (Slavia Selatan atau Yugoslavia) didominasi oleh 3 suku utama: Croats, Bosniak, dan Serbs. Di abad pertengahan sebelum invasi Turki ke Balkan, Wilayah ini menjadi rebutan pengaruh antara kerajaan Romawi Barat (Roma) yang menganut Katolik dan kerajaan Romawi Timur (Konstantinopel)
yang menganut Kristen orthodoks. Katolik banyak dianut oleh suku Croats (sampai sekarang) dan suku Serbs menganut Kristen Orthodoks, sedangkan suku Bosnia waktu itu menganut aliran kepercayaan Kristen yang lain yang dianggap sesat oleh Roma maupun Konstantinopel. Dan ketiga suku ini saling bermusuhan satu sama lain. Setelah Turki berhasil menguasai Wilayah Balkan, para bangsawan Bosnia banyak yang pindah agama ke Islam diikuti oleh para penduduk Bosnia lainnya. Menurut sebagian sejarawan, hal ini disebabkan oleh Pemerintahan Turki mewajibkan membayar Jizyah atau pajak tambahan bagi pemeluk agama lain yang berada di dalam wilayah kekuasaan Turki, yang merupakan Kerajaan Islam, sebagai bentuk jaminan dari kerjaan Turki bagi kebebasan mereka untuk tetap melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Untuk menghindari pajak itulah para bangsawan Bosnia convert ke Islam, dan akhirnya menjadi kaki tangan kerajaan Turki di wilayah itu.

Ada korelasi yang kuat antara identitas etnic dengan agama yang dianut, dimana 95% etnis Bosnia adalah Muslim, 95% etnis Croatia adalah Katolik, dan 95% etnis Serbia adalah penganut kristen Orthodoks. Tensi antara ketiga kelompok ini selalu tinggi sehingga kadang menjadi pemicu terjadinya ketegangan diantara mereka.

Dari sedikit keterangan fakta Sejarah inilah, mungkin kita bisa mengetahui mengapa sampai terjadi pembantaian etnis di Srebrenica itu. Radovan Karadzic yang seorang dari etnis Serbia yang Kristen Orthodoks membantai penduduk Bosnia yang mayoritas muslim dan penduduk suku Croatia yang memeluk Kristen Katolik. Di antara ketiga suku ini memang sudah lama memendam sentimen antar suku yang bisa meledak kapan saja. Contohnya yang baru saja terjadi misalnya, ketika tim Croatia dikalahkan Oleh Tim Turki pada perempat final EURO 2008 kemarin, terjadi keributan di daerah Mostar (masuk ke Wilayah Bosnia tapi distribusi etnis Bosnia dan Croatia sama banyaknya) antara pendukung Croatia dan Bosnia yang tentu saja mendukung Tim Turki.

Wassalam,
Takbir

Sunday, July 13, 2008

Laskar Pelangi



Judul: Laskar Pelangi
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan ke-6, Februari 2007
Bab 2
Antediluvium
IBU Muslimah yang beberapa menit lalu sembab, gelisah, dan coreng-moreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum giganteum. Sebab tiba-tiba ia mekar sumringah dan posturnya yang jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna bunga crinum demikian pula bau bajunya, persis crinum yang mirip bau vanili. Sekarang dengan ceria beliau mengatur tempat duduk kami.
Bu Mus mendekati setiap orangtua murid di bangku panjang tadi, berdialog sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami. Semua telah masuk ke dalam kelas, telah mendapatkan teman sebangkunya masing-masing, kecuali aku dan anak laki-laki kecil kotor berambut keriting merah yang tak kukenal tadi. Ia tak bisa tenang. Anak ini berbau hangus seperti karet terbakar.
“Anak Pak Cik akan sebangku dengan Lintang,” kata Bu Mus pada ayahku.
Oh, itulah rupanya namanya, Lintang, sebuah nama yang aneh.
Mendengar keputusan itu Lintang meronta-ronta ingin segera masuk kelas. Ayahnya berusaha keras menenangkannya, tapi ia memberontak, menepis pegangan ayahnya, melonjak, dan menghambur ke dalam kelas mencari bangku kosongnya sendiri. Di bangku itu ia seumpama balita yang dinaikkan ke atas tank, girang tak alang kepalang, tak mau turun lagi. Ayahnya telah melepaskan belut yang licin itu, dan anaknya baru saja meloncati nasib, merebut pendidikan.
Bu Mus menghampiri ayah Lintang. Pria itu berpotongan seperti pohon cemara angin yang mati karena disambar petir: hitam, meranggas, kurus, dan kaku. Beliau adalah seorang nelayan, namun pembukaan wajahnya yang mirip orang Bushman adalah raut wajah yang lembut, baik hati, dan menyimpan harap. Beliau pasti termasuk dalam sebagian besar warga negara Indonesia yang menganggap bahwa pendidikan bukan hak asasi.
Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau bercerita pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawanan burung pelintang pulau mengunjungi pesisir. Burung-burung keramat itu hinggap sebentar di puncak pohon ketapang demi menebar pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir ini maka hasil laut tak pernah memadai. Apalagi ia hanya semacam petani penggarap, bukan karena ia tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu.
Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun ini beliau menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, tak akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan duduk di samping pria kecil berambut ikal yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap hari naik sepeda. Jika panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan, maka biarkanlah jalan kerikil batu merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya. Bau hangus yang kucium tadi ternyata adalah bau sandal cunghai, yakni sandal yang dibuat dari ban mobil, yang aus karena Lintang terlalu jauh mengayuh sepeda.
Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kalumpang, desa nun jauh di pinggir laut. Menuju ke sana harus melewati empat kawasan pohon nipah, tempat berawa-rawa yang dianggap seram di kampung kami. Selain itu di sana juga tak jarang buaya sebesar pangkal pohon sagu melintasi jalan. Kampung pesisir itu secara geografis dapat dikatakan sebagai wilayah paling timur di Sumatra, daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman Pulau Belitong. Bagi Lintang, kota kecamatan, tempat sekolah kami ini, adalah metropolitan yang harus ditempuh dengan sepeda sejak subuh. Ah! Anak sekecil itu....
Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan. Energi yang berlebihan di tubuhnya serta-merta menjalar padaku laksana tersengat listrik. Ia berbicara tak henti-henti penuh minat dengan dialek Belitong yang lucu, tipikal orang Belitong pelosok. Bola matanya bergerak-gerak cepat dan menyala-nyala. Ia seperti pilea, bunga meriam itu, yang jika butiran air jatuh di atas daunnya, ia melontarkan tepung sari, semarak, spontan, mekar, dan penuh daya hidup. Di dekatnya, aku merasa seperti ditantang mengambil ancang-ancang untuk sprint seratus meter. Sekencang apa engkau berlari? Begitulah makna tatapan matanya.
...........................
Sebaliknya, bagiku pagi itu adalah pagi yang tak terlupakan sampai puluhan tahun mendatang karena pagi itu aku melihat Lintang dengan canggung menggenggam sebuah pensil besar yang belum diserut seperti memegang sebilah belati. Ayahnya pasti telah keliru membeli pensil, karena pensil itu memiliki warna yang berbeda di kedua ujungnya. Salah satu ujungnya berwarna merah dan ujung lainnya biru. Bukankah pensil semacam itu dipakai para tukang jahit untuk menggaris kain? Atau para tukang sol sepatu untuk membuat garis pola pada permukaan kulit? Sama sekali bukan untuk menulis.
Buku yang dibeli juga keliru. Buku bersampul biru tua bergaris tiga. Bukankah buku semacam itu baru akan kami pakai nanti saat kelas dua untuk pelajaran menulis rangkai indah? Hal yang tak akan pernah kulupakan adalah bahwa pagi itu aku menyaksikan seorang anak pesisir melarat –temanku sebangku- untuk pertama kalinya memegang pensil dan buku, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya, setiap apapun yang ditulisnya merupakan buah pikiran yang gilang gemilang, karena nanti ia-seorang anak miskin pesisir- akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin ini, sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur hidupku.

Bab 3
Inisiasi
TAK susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
...............................
Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang sudah tua tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?
Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian seperti umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya atau gambar seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan di sana adalah sebuah poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan. Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang pria tadi melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!
...................................
Pak harfan seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecoklatan yang kusam dan beruban. K.A pada nama depan pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A mengalir dalam garis laki-laki silsilah kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apapun demi motif syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan rumahnya.
Hari ini pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana panjang yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat pinggang plastik murahan bermotif ketupat melilit tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah dipakai sejak beliau berusia belasan.
.................................
Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu maka ketika pertama kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil yang tak kuat mental bisa-bisa langsung terkena sawan. Namun, ketika beliau angkat bicara, tak dinyana, meluncurlah mutiara-mutiara nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh atmosfer sukacita di sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam waktu singkat beliau telah merebut hati kami. Bapak yang jahitan kerah mejanya telah lepas itu bercerita tentang perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang.
..................................
Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang Badar sekaligus setenang embun pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan gerak lakunya yang memikat. Ada semacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil risiko, dan menikmati daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang mengerti.
Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang yang tak hanya mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering menaik turunkan intonasi, menekan kedua ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua tangannya laksana orang berdoa minta hujan.
Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir dengan lancar ayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai hati kami, berpantun, membelai hati kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah sekali.
Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui kata-katanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengobarkan semangat kami untuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apapun. Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan untuk berkorban untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria ini buruk rupa dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya bercahaya. Jika ia mengucapkan sesuatu, kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung didaftarkan orangtuaku di sekolah miskin Muhammadiyah. Aku merasa telah terselamatkan karena orangtuakua memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling dasar bagiku. Aku merasa amat beruntung berada di sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Ada keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang takkan kutukar dengan seribu kemewahan sekolah lain.

Bab 4
Perempuan-Perempuan Perkasa
AKU pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu karang untuk mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri belasan tahun sendirian di tengah rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani mengambil resiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang anak yang sama sekali tak dikenalnya nun jauh di Somalia. Di sekolah Muhammadiyah setiap hari aku membaca keberanian berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini.
N.A Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya –K.A. Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong- untuk terus mengobarkan pendidikan Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan guru –lagipula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajarkan semua mata pelajaran- mulai dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya.
Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan yang jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi –jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan. Dasar-dasar moral itu menuntun kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks Islam. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengamalan lainnya.
“ Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati kami.
Bukankah ini kata-kata yang diilhami surah An-Nisa dan telah diucapkan ratusan kali oleh puluhan khatib? Seringkali dianggap sambil lalu saja oleh umat. Tapi jika yang mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengung-dengung di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah terlambat shalat.
.......................................
Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi munkar sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat. Mereka mengajari kami membuat rumah-rumahan dari perdu apit-apit, mengusap luka-luka di kaki kami, membimbing kami cara mengambil wudlu, melongok ke dalam sarung kami ketika kami disunat, mengajari kami doa sebelum tidur, memompa ban sepeda kami, dan kadang-kadang membuatkan kami air jeruk sambal.
Mereka adalah kesatria tanpa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka laksana manfaat yang diberikan pohon filicium yang menaungi atap kelas kami. Pohon ini meneduhi kami dan dialah saksi seluruh drama ini. Seperti guru-guru kami, filicium memberi napas kehidupan bagi ribuan organisme dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem.

Bab 10
Bodenga
..................
Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak seharipun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda tiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa ngeri membayangkan perjalanannya.
Kesulitan itu belum termasuk jalan yang tergenang air, ban sepeda yang bocor, dan musim hujan yang berkepanjangan dengan petir yang menyambar-nyambar. Suatu hari rantai sepedanya putus dan tak bisa disambung lagi karena sudah terlalu pendek sebab terlalu sering putus, tapi ia tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan kilometer, dan sampai di sekolah kami sudah bersiap-siap akan pulang. Saat itu adalah pelajaran seni suara dan dia begitu bahagia karena masih sempat menyanyikan lagu Padamu Negeri di depan kelas. Kami termenung mendengarkan ia bernyanyi dengan sepenuh jiwa, tak tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka. Setelah itu ia pulang dengan menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer.
...................................
Dulu ayahnya pernah mengira putranya itu akan takluk pada minggu-minggu pertama sekolah dan prasangka itu terbukti keliru. Hari demi hari semangat Lintang bukan semakin pudar tapi malah meroket karena ia sangat mencintai sekolah, mencintai teman-temannya, menyukai persahabatan kami yang mengasyikkan, dan mulai kecanduan pada daya tarik rahasia-rahasia ilmu. Jika tiba di rumah ia tak langsung beristirahat melainkan segera bergabung dengan anak-anak seusia di kampungnya untuk bekerja sebagai kuli kopra. Itulah penghasilan sampingan keluarganya dan juga sebagai kompensasi terbebasnya dia dari pekerjaan di laut serta ganjaran yang ia dapat dari “kemewahan” bersekolah.
...................................
Lintang hanya dapat belajar setelah agak larut karena rumahnya gaduh, sulit menemukan tempat kosong, dan karena harus berebut lampu minyak. Namun sekali ia memegang buku, terbanglah ia meninggalkan gubuk doyang berdinding kulit itu. Belajar adalah hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat dan kesulitan hidup. Buku baginya adalah obat dan sumur kehidupan yang airnya selalu memberi kekuatan baru agar ia mampu mengayuh sepeda menantang angin setiap hari. Jika berhadapan dengan buku ia akan terisap oleh setiap kalimat ilmu yang dibacanya, ia tergoda oleh sayap-sayap kata yang diucapkan oleh para cerdik cendekia, ia melirik maksud tersembunyi dari sebuah rumus, sesuatu yang mungkin tak kasat mata bagi orang lain.

Bab 11
Langit Ketujuh
..............................
Tuhan menakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang agar dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya. Dan di malam yang tua dulu ketika Copernicus dan Lucretius duduk di samping Lintang, ketika angka-angka dan huruf menjelma menjadi kunang-kunang yang berkelap-kelip, saat itu Tuhan menyemaikan biji zarah kecerdasan, zarah yang jatuh dari langit dan menghantam kening Lintang.
Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada Lintang. Anak pengumpul kerang ini pintar sekali. Matanya menyala-nyala memancarkan intelegensi, keingintahuan menguasai dirinya seperti orang kesurupan. Jarinya tak pernah berhenti mengacung tanda ia bisa menjawab. Kalau melipat dia paling cepat, kalau membaca dia paling hebat. Ketika kami masih gagap menjumlahkan angka-angka genap ia sudah terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongak, dia sudah pintar memabgi angka desimal, menghitung akar dan menemukan pangkat, lalu, tidak hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungan keduanya dalam tabel logaritma. Kelemahannya, aku tak yakin apakah hal ini bisa disebut kelemahan, adalah tulisannya yang cakar ayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak mampu mengejar pikirannya yang berlari sederas kijang.
............................
Meskipun rumahnya paling jauh, tapi kalau datang ia paling pagi. Wajah manisnya senantiasa bersinar walaupun baju, celana, dan sandal cunghai-nya buruknya minta ampun. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam tempurung kepalanya yang ditumbuhi rambut gimbal awut-awutan itu tersimpan cairan otak yang encer sekali. Pada setiap rangkaian kata yang ditulisnya tersirat kecemerlangan pemikiran yang gilang gemilang. Di balik tubuhnya yang tak terawat, kotor, miskin, serta berbau hangus, dia memiliki an absolutely beautiful mind. Ia adalah buah akal yang jernih, bibit genius asli, yang lahir di sebuah tempat nun jauh di pinggir laut, dari sebuah keluarga yang tak satupun bisa membaca.
................................
Dapat dikatakan bahwa Bu Mus sering kewalahan menghadapi Lintang, terutama untuk pelajaran matematika, sehingga ia sering diminta membantu. Ketika Lintang menerangkan sebuah persoalan yang rumit dan membuat simbol-simbol rahasia matematika menjadi sinar yang memberi terang bagi kami, Bu Mus memerhatikan dengan seksama bukan hanya apa yang diucapkan Lintang tapi juga pendekatannya dalam menjelaskan. Lalu beliau menggeleng-gelengkan kepalanya, komat-kamit, berbicara sendiri tak jelas seperti orang menggerendeng. Belakangan aku tahu apa yang dikomat-kamitkan beliau. Bu Mus mengucapkan pelan-pelan kata-kata penuh kagum, “Subhanallah.... Subhanallah....”
“Yang paling membuatku terpesona,” cerita Bu Mus pada Ibuku. “Adalah kemampuannya menemukan jawaban dengan cara lain, cara yang tak pernah terpikirkan olehku,” sambungnya sambil membetulkan jilbab.

Bab 30
Elvis has left the Building
.................................
Perdebatan semakin seru. Diperlukan seorang penengah dangan wawasan dan kata-kata cerdas pamungkas untuk mengakhiri perseteruan ini. Sayangnya si cerdas itu sudah dua hari tak tampak batang hidungnya. Tak ada kabar berita.
Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir. Sembilan tahun bersama-sama tak pernah ia bolos. Saat ini sedang musim hujan, bukan saatnya kerja kopra. Buka pula musim panen kerang, sementara karet telah digerus bulan lalu. Pasti ada sesuatu yang sangat penting. Rumahnya terlalu jauh untuk mencari berita.
Sekarang hari kamis, sudah empat hari Lintang tak muncul. Aku melamun memandangi tempat duduk disebelahku yang kosong. Aku sedih melihat dahan filicium tempat ia bertengger jika kami memandangi pelangi. Ia tak ada di sana. Kami sangat kehilangan dan cemas. Aku rindu pada Lintang.
Kelas tak sama tanpa Lintang. Tanpanya kelas kami hampa kehilangan auranya, tak berdaya. Suasana kelas menjadi sepi. Kami rindu jawaban-jawaban hebatnya, kami rindu kata-kata cerdasnya, kami rindu melihatnya berdebat dengan guru. Kami juga rindu rambut acak-acakannya, sandal jeleknya, dan tas karungnya.
Bu Mus berusaha ke sana sini mencari kabar dan menitipkan pesan pada orang yang mungkin melalui kampung pesisir tempat tinggal Lintang. Aku cemas membayangkan kemungkinan buruk. Tapi biarlah kami tunggu sampai akhir minggu ini.
Senin pagi, kami semua berharap menjumpai Lintang dengan senyum cerianya dan kejutan-kejutan barunya. Tapi ia tak muncul juga. Ketika kami sedang berunding untuk mengunjunginya, seorang pria kurus tak beralas kaki masuk ke kelas kami, menyampaikan surat kepada Bu Mus. Begitu banyak kesedihan kami lalui dengan Bu Mus selama hampir sembilan tahun di SD dan SMP Muhammadiyah tapi baru pertama kali ini aku melihatnya menangis. Air matanya berjatuhan di atas surat itu.
Ibunda guru,
Ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah.
Salamku, Lintang.
...............................
Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikitpun untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi.
Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudra. Begitu banyak energi positif, keceriaan, dan daya hidup terpancar dari dirinya. Di dekatnya kami terimbas cahaya yang masuk ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan pikiran, memicu keingintahuan, dan membuka jalan menuju pemahaman. Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad, dan persahabatan. Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni pada lomba kecerdasan dulu, ia telah menyihir kepercayaan diri kami sampai hari ini, membuat kami berani bermimpi melawan nasib, berani memiliki cita-cita.
Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam lingkaran bayang kobaran api. Kami tercengang karena terobosan pemikirannya, terhibur oleh ide-ide segarnya yang memberontak, tak biasa, dan menerobos. Ia belum pergi tapi aku sudah rindu dengan sorot mata lucunya, senyum polosnya, dan setiap kata-kata cerdas dari mulutnya. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam kepalanya, sebuah dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak bertepi. Inilah kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini, hari yang membuat gamang seorang lelaki kurus cemara angin sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga.
Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa. Aku tahu hatinya menjerit, meronta-ronta dalam putus asa karena penolakan yang hebat terhadap perpisahan ini. Sekolah, kawan-kawan, buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh kecintaannya. Suasana sepi membisu, suara-suara unggas yang biasanya riuh rendah di pohon filicium sore ini lengang. Semua hati terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dari lingkaran pendidikan. Ketika kami satu per satu memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan, pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung tercabut paksa meninggalkan sekolah.
Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku yang mengharu biru telah mencurahkan habis air mataku, tak dapat kutahan-tahan sekeras apapun aku berusaha. Kini ia menjadi tangis bisu tanpa air mata, perih sekali. Aku bahkan tak kuat mengucapkan sepatahpun kata perpisahan. Kami semua sesenggukan. Bibir Bu Mus bergetar menahan tangis, matanya semerah saga. Tak setitik pun air matanya jatuh. Beliau ingin kami tegar. Dadaku sesak menahankan pemandangan itu. Sore itu adalah sore yang paling sendu di seantero Belitong, dari muara Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkalan Punai, dari Jembatan Mirang sampai ke Tanjong Pandan. Itu adalah sore yang paling sendu di seantero jagad alam.
Saat itu aku menyadari bahwa kami sesungguhnya adalah kumpulan persaudaraan cahaya dan api. Kami berjanji setia di bawah halilintar yang menyambar-nyambar dan angin topan yang menerbangkan gunung-gunung. Janji kami tertulis pada tujuh tingkatan langit, disaksikan naga-naga siluman yang menguasai Laut Cina Selatan. Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan.
======================================================

Resensi buku ini pertama kali saya baca di harian Kompas pada akhir tahun 2006. Sekilas ceritanya mengingatkan saya ketika masih di Sekolah Dasar di kampung, tapi belum kepikiran untuk membelinya. Dua bulan kemudian di sebuah pameran buku di Istora Senayan, saat melewati salah satu stand yang ada, mata saya secara tak sengaja tertumbuk pada sebuah sampul buku yang sepertinya pernah saya lihat. Ternyata buku itu adalah buku yang resensinya saya baca di koran beberapa bulan yang lalu. Tanpa pikir panjang lagi akhirnya buku itu saya beli.

Pelajaran moral yang saya petik dari buku ini adalah, pelajari dan bersikap tamaklah terhadap ilmu, karena ilmu menawarkan pengetahuan yang luas tak terbatas dan mampu menanamkan kerendahan hati yang tak bertepi.
Siapa saja yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, Allah memperjalankannya di atas salah satu jalan surga” (H.R Abu Dawud)



Wassalam,
Takbir

Tuesday, July 8, 2008

Pelangi di Persia (Menyusuri Eksotisme Iran)



Judul: Pelangi di Persia (Menyusuri Eksotisme Iran)
Penulis: Dina Y. Sulaeman
Penerbit: Pustaka IIMAN
Cetakan I: Desember 2007/Dzulqaidah 1428.
Dalam buku ini, Dina Y. Sulaeman dan suaminya Otong Sulaeman menceritakan pengalaman mereka selama 8 tahun tinggal di Iran. Selama 8 tahun tersebut mereka sempat tinggal di 3 kota, Qom (135 km dari Teheran ke arah selatan), Qazvin (130 km dari Teheran ke arah utara), dan Teheran.
Penulis mampu menceritakan bagaimana interaksi mereka dengan masyarakat Iran, yang oleh orang-orang barat disebut sebagai ‘keras kepala’. Dari buku ini penulis bisa menggambarkan situasi masyarakat Iran yang bisa dibilang sangat ramah dan santun. Pertemanan mereka dengan masyarakat Iran begitu mengharukan, di mana mereka mendapat begitu banyak bantuan dari orang-orang Iran selama mereka tinggal di sana, dan itu terlihat ketika mereka melakukan perjalanan mengelilingi Iran.
Masyarakat Iran yang begitu Syi’ah sentris ternyata sangat menjamin kebebasan penganut madzhab yang berbeda yaitu kaum Sunni dan agama lainnya seperti kristen dan zoroaster atau majusi. Yang paling menarik bagi saya dalam buku ini adalah bagaimana hubungan Sunni-Syi’ah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaan sholat, orang-orang Sunni bersedekap sedangkan orang-orang Syi’ah meluruskan tangan ke bawah. Adapun gerakan sholat yang lain, jumlah rakaat, dan bacaannya adalah sama. Azan yang umum di Iran yang Syi’ah ditambahkan dengan kalimat “Asyhadu anna Aliyyan Waliyyullah” (Aku bersaksi bahwa Ali adalah Wali Allah) setelah kata “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” dan kata “Hayya ala khairil amal” (mari kita melakukan amal terbaik) setelah kata “ Hayya alal falah”. Tetapi, di beberapa masjid Sunni tetap menggunakan azan yang sama yang biasa kita dengar di Indonesia. Kalau di Indonesia, kita sebagai orang awam menganggap orang Syi’ah itu aneh dan berbeda, sebaliknya di Iran, masyarakat Iran menganggap Sunni itu berbeda dan aneh. Tetapi hal itu tidak menghalangi mereka dalam hubungan sosial sehari-hari termasuk dalam pernikahan beda madzhab dimana sumpah nikah dibacakan dua kali, sekali dengan cara Sunni dan sekali dengan cara Syi’ah. Dan yang lainnya, ketika Ramadhan, orang-orang Syi’ah tidak melaksanakan sholat Tarawih berjamaah, tetapi pada malam ke-19, 21, dan 23 Ramadhan mereka melakukan I’tikaf di masjid untuk menjemput malam Lailatul Qadar seperti yang dihaditskan oleh nabi Muhammad SAW.
Penghormatan masyarakat Iran terhadap keturunan nabi Muhammad SAW sangatlah besar. Hampir di setiap penjuru Iran ada makam Imamzadeh, sebutan mereka untuk para Imam dalam madzhab Syi’ah yang sebagian besar adalah para keturunan nabi Muhammad SAW. Setiap tanggal 1-10 Muharram, mereka melakukan upacara duka cita untuk menghormati kematian Imam Husein dan Keluarganya yang terbunuh di padang Karbala oleh para tentara dari Dinasti Umayyah. Pada hari-hari tersebut banyak dilantunkan azadari atau lantunan bait-bait syair yang berisikan tumpahan rasa duka cita yang mendalam.
Buku ini juga sedikit menceritakan bagaimana sikap masyarakat Iran ketika PBB mengeluarkan resolusi yang mengembargo mereka, berkaitan dengan proyek pengayaan uranium untuk installasi nuklir di Iran. Dari sini kita bisa melihat betapa besar dan tingginya semangat nasionalisme orang-orang Iran. Dari ibu rumah tangga hingga kepala negara begitu bangga dengan proyek nuklir mereka yang bisa mensejajarkan mereka dengan bangsa-bangsa maju yang lain di dunia. Penulis juga menceritakan suasana pemilu 2005 yang begitu ramai di Iran. Di tengah gencarnya propaganda Amerika kepada masyarakat Iran untuk memboikot pemilu, masyarakat Iran malah dengan semangat datang berbondong-bondong datang untuk memberikan suara mereka.
Embargo terhadap Iran sepertinya tidak berdampak pada kemunduran orang-orang Iran. Mungkin benar juga kata Imam Khomeini yang sering dikutip di tivi-tivi Iran, “Kita jangan pernah takut atas embargo ini. Jika mereka mengembargo kita, kita akan lebih giat bekerja, dan hal ini bermanfaat bagi kita. Orang-orang yang takut terhadap embargo hanyalah orang-orang yang menjadikan ekonomi dan duniawiah sebagai tujuan hidupnya semata”. Setelah 27 tahun diembargo (sejak 1980), Iran telah menjadi negara yang bisa berswasembada dalam berbagai hal. Termasuk dalam teknologi militernya, dimana mereka mampu memproduksi sendiri persenjataan dan kendaraan-kendaraan perang. Bisa dibandingkan dengan Amerika Serikat yang akhir-akhir ini diberitakan malah mengalami kesulitan ekonomi akibat sistem perbankan mereka yang morat-marit dan naiknya harga minyak dunia. Di Indonesia harga bensin mencapai 6000 rupiah per liter sedangkan di Iran masih 1000 rupiah per liternya. Bahkan mereka sedang beralih kepada kendaraan berbahan bakar gas, dimana 1 tabung gas berharga 2000 rupiah bisa digunakan untuk perjalanan 100 km. Jadi, dimana efek buruk embargonya?
Menjelang 2 bulan kepulangan penulis bersama suami kembali ke Indonesia, mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan mengelilingi Iran. Dalam perjalanan itu mereka berjumpa orang-orang Iran dari berbagai etnis, budaya, dan agama. Mereka menyaksikan keanggunan dan keningratan orang-orang Gilan di utara, militansi kesukuan orang-orang Kurdi di barat, kehangatan nyala api orang-orang Majusi di timur, hingga keramahan khas orang-orang etnis Arab di selatan Iran. Desa kuno berusia lima ribuan tahun di Abyaneh, kebun-kebun mawar yang air sulingan bunganya dipakai untuk mencuci Ka’bah, kebun teh dipinggir laut Kaspia, puing-puing perang di Khuramshahr, kuil sesembahan orang Persia kuno di pedalaman Shoush, kota kuno di Shoustar yang pernah diperebutkan pada era Khalifah Umar bin Khattab, masjid kaum Sunni di Sanandaj dengan beranda tuanya yang tenang, pegunungan Zagros yang membuat nafas tertahan, dan puing istana Parsepolis yang menjadi bukti kemegahan peradaban Persia kuno, adalah di antara keeksotisan Iran yang mereka saksikan dalam perjalanan itu.
Perjalanan mereka mengelilingi Iran hanya dilakukan dalam rentang waktu 2 bulan. Namun, yang tertuang di buku ini sejatinya adalah catatan tentang warna-warni pelangi yang selama 8 tahun mereka saksikan di Iran.



Wassalam,
Takbir

Monday, July 7, 2008

Danone Cup-Jakarta Book Fest-Judgement Day

Pertandingan Final Danone Cup 2008, Jawa Timur vs Sumatera Barat

Hari minggu 6 Juli 2008, saya punya beberapa jadwal rencana yang ingin saya lakukan. Acara pertama di mulai pukul 15.00 WIB. Bertempat di Stadion Kuningan Soemantri Brodjonegoro, ada pertandingan Final Danone Cup 2008. Melalui ajang ini akan dipilih tim sepakbola U-12 yang akan mewakili Indonesia di ajang Danone Cup International 2008 yang akan diselenggarakan di Paris, Perancis, pada bulan September 2008 mendatang. Di partai Final kali ini, mempertemukan tim dari Jawa Timur dan Sumatera Barat. Untuk menonton pertandingan ini tidak perlu untuk bayar tiket masuk. Di antara penonton yang datang, kebanyakan adalah para ibu yang membawa serta anak-anaknya. Acaranya sendiri lumayan seru dan dibawakan oleh presenter olahraga yang sering nongol di TV, Terry Putri. Presenter cewek yang susah berhenti bicara.

Setelah beberapa acara pembuka selesai, akhirnya pertandingan dimulai juga. Pemain dari tim Jawa Timur, yang perawakannya rata-rata lebih kecil dibandingkan pemain Sumbar, ternyata lebih mampu menguasai pertandingan. Tim Jatim juga memperlihatkan kemampuan individu yang lebih baik. Di Babak pertama berkali-kali mereka menyerang tetapi masih belum berbuah hasil, akibat penyelesaian yang buru-buru. Akhirnya Jatim bisa mencetak gol pada babak kedua, setelah memanfaatkan kesalahan penjaga gawang tim Sumbar ketika melakukan passing ke pemain belakangnya. Gol tunggal tersebut akhirnya mengantarkan tim Jatim untuk memenangkan pertandingan dengan skor akhir 1-0. Seusai pertandingan, saya tidak bisa menyaksikan acara penyerahan Piala hingga selesai, karena bermaksud untuk segera ke Senayan. Tetapi sebelumnya mampir bentar di Pasfes buat sholat ashar, isi perut, dan beli beberapa DVD.

Acara penyerahan piala Indonesia Danone Cup 2008.

Pukul 17.00 WIB, saya tiba di Istora Senayan yang sedang menggelar Jakarta Book Festival 2008. Sejak tahun 2006, setiap kali ada acara pameran buku di Istora Senayan, saya pasti berusaha untuk berkunjung dan membeli beberapa buku. Apalagi hari ini adalah hari penutupan. Sudah sejak minggu lalu saya berniat untuk pergi ke festival buku ini tapi tidak pernah sempat. Setelah berkeliling selama sejam akhirnya saya beli 5 buah buku yang menurut saya menarik, diantaranya: The Naked Traveller (Catatan seorang backpacker wanita Indonesia keliling dunia) dan Pelangi di Persia (Menyusuri eksotisme Iran). Beli buku pas pameran lumayan dapat harga lebih miring dibandingkan kalau kita beli di toko buku. Pilihan bukunya juga lebih banyak, karena menghadirkan para penerbitnya langsung.

Suasana Jakarta Book Festival 2008 di Istora Senayan.

Sejak tahun 2006 pula saya mengamati bahwa buku Laskar Pelangi dan tetraloginya karya Andrea Hirata masih tetap menjadi buku yang paling laris. Yang saya amati pula, bahwa pameran buku merupakan pameran yang paling ramai dikunjungi apabila ada pameran yang diselenggarakan di Istora senayan atau di JCC, selain pameran otomotif dan properti.

Tumpukan buku yang dijual di salah satu stand di acara Jakarta Festival Book 2008.

Diacara pameran buku ini juga kita bisa melihat begitu tingginya minat baca masyarakat kita. Banyak penulis muda yang muncul dengan buku-buku yang berhasil mencapai best seller. Penerbit buku yang membahas agama Islam adalah yang paling banyak mengikuti pameran buku ini. Mungkin ini juga sebagai indikasi bahwa agama Islam itu mempunyai ilmu yang sangat luas. Pameran buku juga bisa menjadi sarana pendidikan yang bagus bagi anak untuk menumbuhkan minat baca dan melahirkan kecintaan mereka akan buku dan ilmu pengetahuan.

Tumbuhkan minat baca sejak usia dini.

Tidak terasa sudah pukul 18.30 WIB. Sebenarnya baru sebentar saya berkeliling, tetapi saya harus segera ke Stadion Gelora Bung Karno untuk nonton bola. Setelah shalat Maghrib, dengan terburu-buru saya bergegas ke Stadion. Setelah membeli tiket akhirnya saya bisa masuk ke stadion dan mencari tempat duduk yang paling bagus sudut pandangnya. Suasana di dalam stadion tidak terlalu ramai. Malah bisa dibilang sangat sedikit penonton yang datang, padahal pertandingannya lumayan seru. Tim Super 11 yang terdiri dari para pemain lokal terbaik melawan tim Fantastic 11 yang didukung oleh para pemain asing terbaik yang akan bermain di Liga Super Indonesia 2008 mendatang. Pertandingan eksebisi ini dibari tajuk ‘Judgement Day’. Pertandingan ini pula sekaligus menjadi acara pembuka dan peluncuran logo Liga super 2008. Pertandingannya sendiri berakhir dengan skor 3-2 untuk tim Super 11. Setelah sempat tertinggal 0-3 terlebih dahulu hingga pertengahan babak ke-2, tim Fantastic 11 bisa memperkecil kekalahan dengan 2 gol. Bahkan nyaris menyamakan kedudukan jika saja gol terakhir tidak di anulir, karena bola sudah terlebih dahulu dianggap keluar oleh wasit. Semoga penyelenggaraan Liga super mendatang bisa berlangsung sukses dan melahirkan bakat-bakat baru yang nantinya bisa membela tim nasional Indonesia. “ No tawuran, no anarki, just good football” (jiplak quote dari salah satu acara sepakbola nasional di TV).

Acara pembukaan dan launching logo Liga Super Indonesia 2008.

Pukul 21.00 WIB, akhirnya saya bisa pulang untuk istirahat sebentar kemudian nulis blog ini dan meng-upload nya, kemudian tidur. Akhir pekan yang lumayan melelahkan tapi menyenangkan.

-Wassalam-

Takbir