Tuesday, September 20, 2011

Buddha di Kamakura - Jepang


Ketika traveling ke Persepolis, Iran, pada akhir Desember 2010, saya bertemu dengan turis Jepang bernama Yokota Koji. Ketika itu battery kamera dia habis, jadi selama di Persepolis, saya menawarkan memotret dia dengan kamera saya, dan nantinya akan saya kirim via email. Dari situlah awal perkenalan kami dan saling bertukar alamat email. Ketika akhirnya dapat kesempatan berkunjung ke Jepang, saya pun coba mengontak dia dan voila dia masih sangat ingat. Kemudian kami mengatur waktu untuk bertemu. Karena saya tinggalnya dekat stasiun Sakuragicho, Yokota-san meminta saya untuk bertemu di stasiun hari minggu pagi. Setelah bertemu, saya sempat tanyakan ke Yokota-san, di mana dia berada ketika gempa dahsyat yang menimpa Jepang beberapa bulan yang lalu. Katanya, ketika itu dia sedang di kantor, dan karena gempa, semua jalur transportasi ditutup. Jarak rumah dia dengan kantor sekitar 14 kilometer, terpaksa pulang dengan jalan kaki, dan tiba dirumah setelah 10 jam kemudian.

Karena saya masih baru di Jepang, Yokota-san mengantarkan saya ke pusat informasi turis di dekat stasiun Sakuragicho. Sekedar info, kantor informasi turis di Yokohama terdapat di stasiun Sakuragicho dan stasiun Yokohama. Di sini kita bisa mendapatkan peta dan informasi tempat-tempat tujuan wisata di sekitar Yokohama, Kanagawa Prefecture, gratis. Saya baru sadar ternyata tempat-tempat menarik di Yokohama berada disekitar Sakuragicho. Tetapi hari ini, Yokota-san ingin mengajak saya ke Kamakura. Katanya di sana terdapat patung Buddha raksasa. Tanpa pikir panjang, saya iyakan saja. Untungnya, kamera memang saya bawa, dan batteries are fully charge.

Untuk menuju Kamakura, kami naik JR (Japan Railway) dari Sakuragicho ke Stasiun Kamakura, ongkosnya 380 JPY. Karena saya sama sekali tidak tau apa-apa sebelumnya tentang Kamakura, makanya saya ikut saja sesuai saran Yokota-san. Kami turun di stasiun Kiita-Kamakura, satu stasiun sebelum stasiun Kamakura. Dari sini kami akan berjalan kaki, karena disepanjang jalan menuju Kamakura kami akan singgah di beberapa kuil Budha yang ada di daerah ini. Kamakura pernah menjadi ibukota Jepang ketika dipimpin oleh Shogun Minamoto no Yoritomo, dan disebut periode Kamakura (1185-1333). Mongol mencoba menginvasi Jepang dua kali yang keduanya berujung pada kegagalan. Walaupun perlawanan Jepang juga dahsyat, tetapi faktor utama yang menggagalkan invasi mongol adalah akibat topan yang menyerang kapal-kapal perang pasukan Mongol. Pada masa ini, Kamakura dipimpin oleh Tokimune Hojo, dari klan Hojo, yang juga seorang pemeluk Buddha Zen. Di masa pemerintahannya, agama Buddha Zen berkembang di Kamakura. Ajaran Buddha Zen dibawa oleh para biksu dari Cina. Bangunan kuil yang ada juga menyerupai struktur bangunan di Cina.

Komplek kuil yang pertama kami masuki adalah Engaku-Ji yang berarti kuil pencerahan sempurna. Kuil ini dibangun setelah bangsa Jepang berhasil mengusir pasukan penyerang Mongol. Selain bertujuan untuk memberi penghormatan bagi arwah yang tewas dikedua pihak, Jepang dan Mongol, ketika perang invasi Mongol terjadi. Tokimune juga berkeinginan menyebarkan ajaran Buddha Zen sekaligus sebagai penghormatan kepada gurunya Mugoku Sogen atau Bukko Kukoshi, seorang Guru Zen dari daratan Cina. Di dalam komplek ini juga terdapat sebuah tempat suci bagi umat Buddha Jepang yang dinamai Shari-den, yang dikatakan menyimpan gigi sang Buddha. Pengunjung dilarang masuk ke dalam tempat ini.


Seorang biksu dalam komplek Shari-den


Selanjutnya kami menuju ke Kuil kedua, Kencho-Ji. Merupakan biara tertua untuk tempat belajar Zen Buddha.





Tipikal taman tradisional Jepang dalam komplek Kencho-Ji

Berikutnya kami menuju ke sebuah tempat suci bagi agama Shinto. Tsurugaoka Hachiman-Gu. Shinto merupakan agama tradisional Jepang yang masih ada hingga sekarang. Dari info Yokota-san, ketika akan memasuki sebuah tempat suci, orang Jepang diwajibkan melakukan Temizu, yaitu membasuh telapak tangan kiri dengan air kemudian telapak tangan kanan, dan dengan tangan kiri membasuh mulut dan berkumur.



Walaupun orang Jepang hidup dengan peralatan serba canggih dan modern, mereka tetap percaya dengan ramalan-ramalan. Mereka mengundi kertas sambil menyebutkan keinginan mereka dalam hati. Kertas itu kemudian mereka ikatkan. Jika ramalan mereka buruk, maka biarlah keburukan itu terikat disitu. Tetapi, jika ramalan mereka bagus dan ramalan itu terbukti, maka mereka wajib kembali ke kuil ini tahun depan dan memberikan persembahan. Di sini banyak dijual cendera mata yang sesuai dengan harapan anda, apakah ingin mujur dalam keuangan, selamat di perjalanan, hingga mujur dalam hal asmara.


Dilarang memotret didalam tempat suci Shinto ini. Tetapi saya baru diperingatkan setelah mengutip satu gambar.

Saya beruntung hari ini, karena ada acara pernikahan Orang Jepang di halaman kuil Shinto. Ketika keluarga pengantin berpose untuk berfoto, saya juga ikut-ikutan ambil gambar mereka.

Pemain musik tradisional yang menyertai acara pernikahan.

Dari kuil Tsurugaoka Hachiman-Gu, kami berjalan kaki menuju Stasiun Kamakura untuk kemudian naik kereta lagi ke 3 stasiun berikutnya, yaitu stasiun Hase (190 JPY). Stasiun Hase adalah stasiun pemberhentian untuk menuju ke patung Buddha Raksasa. Di sepanjang jalan menuju stasiun Kamakura, kami melewati jalan sempit yang di kiri-kanannya menjual berbagai suvenir. Tempat ini mereka labeli shopping town.

Sesampai di Hase, Yokota-san mengajak saya untuk keliling melihat pantai Yuigahama, yang katanya populer dikunjungi orang dari Tokyo untuk bermain selancar. Dari situ kami menuju kuil Hase-Dera.

Menurut legenda, pada tahun 721, seorang biarawan yang saleh menemukan sebuah pohon yang sangat besar di dekat desa Hase, di wilayah Nara. Ukuran pohon yang besar memungkinkan dia untuk memahat dua buah patung Kannon atau Dewi Guan yin berkepala sebelas. Bagian bawah pohon kayu yang sudah dipahat jadi patung tersebut kemudian ditaruh dan disucikan di kuil Hasedera dekat wilayah Nara. Sedangkan bagian atasnya yang juga sudah dipahat jadi patung, dijadikan persembahan dan dibuang ke laut, di pantai dekat Osaka dimasa kini. Dengan harapan akan muncul kembali dan menyelamatkan masyarakat. 15 tahun kemudian, pada tahun 736, patung tersebut tersapu ombak hingga ke pantai Nagai di semenanjung Miura, tidak jauh dari Kamakura. Patung tersebut kemudian dibawa ke Kamakura dan sebuah kuil dibangun untuk menghormati patung tersebut.

Berikut beberapa foto di dalam komplek Kuil Hasedera-Kamakura. Di semua hall dilarang memotret. Kecuali bangunannya tidak masalah.




Saya memang beruntung hari ini. Di Kuil Hasedera ini terdapat sebuah rak buku yang berisikan Sutra atau kitab-kitab yang disucikan umat Buddha, yang bisa berputar. Katanya jika kita memutar rak buku tersebut sekali, pahalanya sama dengan membaca semua Sutra yang ada di dalam rak tersebut. Memutar rak buku tersebut hanya dilakukan sekali sebulan setiap tanggal 18. Dan hari ini adalah tanggal 18. Pantesan saja banyak orang Jepang yang ngantri di depan bangunan kecil ini.


Dari Kuil Hasedera kami berjalan lagi menuju tempat Kamakura Daibutse atau Patung Buddha Besar. Patung ini ternyata berongga dan kita bisa masuk ke dalamnya. Di dalamnya tidak ada apa-apa, cuma ruangan yang sempit saja.



Akhirnya, jalan-jalan hari ini selesai. Kami benar-benar jalan kaki sekitar 4 jam dibawah teriknya matahari, mana semua kuil letaknya di atas bukit, kaki rasanya pegal dan berbotol-botol air habis karena hausnya. Sekedar catatan dan info, tiket masuk untuk semua kuil di wilayah Kamakura, harganya 300 JPY.

Saya dan Yokota-san di depan sebuah patung di Persepolis, Iran.

Kami berpose lagi dengan posisi yang sama di depan pintu Kuil Hasedera-Kamakura, Jepang. Yokota-san bersedia menjadi travel adviser saya selama di Jepang. Dia akan menjadi sumber informasi tempat-tempat yang wajib dikunjungi di Jepang.

Jalan-jalan dengan Yokota-san hari ini selesai, tetapi jadwal saya hari ini masih ada satu lagi. Menonton langsung pertandingan sepakbola antara tuan rumah Yokohama F. Marinos melawan Gamba Osaka, di Nissan Stadium, yang merupakan Stadion tempat berlangsungnya partai Final Piala Dunia 2002. Setelah terburu-buru ke Stadion untuk kemudian antri beli tiket (2600 JPY), akhirnya saya bisa menyaksikan pertandingan di Stadion yang modern ini.




Wassalam,
Takbir

1 comment:

Fahriel said...

rajin nulis luw bang ternyata ... naiz !