Tuesday, October 15, 2013

Chiang Mai Ibukota Budaya Thailand di Utara


Mendarat di bandara Chiang Mai sekitar pukul sepuluh malam, setelah 2 jam penerbangan dari Phuket. Di sendal masih banyak menempel pasir dari pantai Patong. Setelah menelpon dan memastikan ada kamar yang kosong, dari bandara saya naik taksi 120 Baht menuju Lek Guesthouse yang berada di luar dinding kota lama. Lek Guesthouse hanya 200 Baht untuk single room, sangat murah menurut saya. Walaupun memang fasilitasnya standar dengan kipas angin, tapi kamar mandinya di dalam. Itu sudah cukup buat saya, yang butuh tempat menaruh barang dan rebahan saja. Di tambah lokasinya yang bagus, dekat dengan kota lama, dan ada restauran kebab halal di perempatan tidak jauh dari situ. Apalagi pemiliknya, Stephan, seorang Perancis beristrikan wanita Thailand, sangat banyak membantu dalam memberi petunjuk jalan, membantu memesan tur dan sewa sepeda motor. Untuk akomodasi di Chiang Mai memang sepertinya standarnya sekitar 200-500 Baht. Ada sangat banyak pilihan baik di dalam dinding kota lama ataupun di luar.

Dengan mengandalkan peta yang tersedia gratis di bandara, saya berjalan mengelilingi pusat kota lama Chiang Mai. Pusat kota lama ini dulunya di kelilingi dinding benteng yang masih bisa kita lihat sisa-sisanya dengan empat gerbang utama. Di luar dinding benteng dikelilingi oleh kanal.
Chiang Mai Gate

Di antara empat gerbang, Thapae Gate menjadi tempat buat warga Chiang Mai dan turis nongkrong dari sore hingga malam hari.

Salah satu bar dari sekian banyak bar di sekitar Thapae Gate

Chiang Mai dulunya bernama Lanna. Di kuasai oleh Burma sebelum direbut oleh kerajaan Siam untuk meminimalisir ancaman serangan dari Burma yang sudah dua kali mengalahkan Kerajaan Siam sebelumnya. Chiang Mai seperti kota budaya di Thailand. Terdapat begitu banyak bangunan kuil Buddha kuno dan modern di dalam dan di sekitar pusat kota lama. Saya merasa kota ini seperti Kyoto kalau di Jepang. Sangat banyak Wat atau kuil. Belum lagi di sekitar Chiang Mai, banyak etnik atau suku dengan budayanya yang unik satu sama lain.

Para bikhu melantunkan sutra saat petang di salah satu Wat yang ada di dalam kota lama.

Dari sekian banyak Wat, hampir semuanya mempunyai ukiran patung Gajah. Gajah yang menopang chedi. Dan di Chiang Mai inilah saya benar-benar melihat banyak Gajah. Di sekitar Chiang Mai terdapat beberapa taman pemeliharaan Gajah.


Di antara sekian banyak Wat, ada tiga wat terbesar yang saya kunjungi. Wat Chiang Mun adalah wat yang tertua. Dibangun ketika benteng kota mulai didirikan.

Wat Phra Singh.

Wat Chedi Luang.

Saya mengambil tur trekking dari Panda Tour dengan harga 1000 Baht plus 300 Baht untuk mengunjungi perkampungan suku berleher panjang. Tur ini menjemput pesertanya dengan songteaw yang ternyata juga menjadi kendaraan kami selama tur. Beberapa peserta sempat ingin komplain karena menurut mereka tidak sesuai harapan mereka, yaitu kendaraannya dengan minivan. Tapi akhirnya tetap jalan juga. Di antara beberapa lokasi tujuan tur, yang menjadikan saya tertarik sebenarnya hanyalah ingin melihat suku berleher panjang secara langsung. Setelah dari pemberhentian pertama, yang hanya berupa taman dengan koleksi bunga anggrek dan kupu-kupu yang menurut saya tidak seberapa, kami dibawa ke tempat suku berleher panjang. Sekitar satu setengah jam dari kota Chiang Mai.

Suku Karen yang wanitanya mengenakan cincin di leher. Semakin banyak cincin memperlihatkan derajat wanita tersebut untuk menarik perhatian para lelaki di sukunya. Ada juga yang mengatakan itu untuk menghindari gigitan binatang buas di leher. Tapi saya lebih setuju pendapat pertama. Suku Karen asalnya dari wilayah Myanmar (Burma) yang kemudian banyak beremigrasi ke wilayah utara perbatasan Thailand-Myanmar untuk menghindari perang di Myanmar.

Ketika berkunjung ke salah satu lokasi perkampungan mereka, dimana kita harus bayar tiket masuk (yang sudah termasuk dalam paket tur), saya hanya melihat ada sekitar belasan rumah panggung saja. Di dalamnya suku Karen ini sepertinya disituasikan untuk menjadi atraksi turis. Setiap kali saya mengarahkan kamera ke mereka, sepertinya mereka sudah biasa berpose di depan kamera. Mungkin karena mereka sudah sadar bahwa sumber pendapatan mereka hanyalah dari para turis. Di sini mereka juga menjual barang-barang cenderamata 'titipan' yang banyak saya temui di Bangkok.



Dari perkampungan suku Karen, kami dibawa ke taman pelatihan Gajah. Di sini untuk pertama kalinya saya naik Gajah. Lumayan seru karena jalur yang ditempuh medannya sangat sulit. Jalur offroad menurut saya. Jalan kecil terjal dan becek serta sungai diterabas Gajah. Gajah benar-benar binatang raksasa yang tangguh di segala medan.

Di tur ini juga saya berkenalan dengan seorang bapak dari Perancis bernama Michel dan istrinya yang keturunan Jawa bernama ibu Sukinem. Pak Michel memanggilnya Suki. Mereka tinggal di wilayah Perancis di Kaledonia Baru, lokasinya sebelah timur Australia. Ibu Sukinem ini tidak tahu berbahasa Indonesia karena lahir dan besar di Kaledonia Baru, setelah orang tuanya merantau ke sana. Ibu Sukinem berlatar pendidikan Perancis di Kaledonia Baru, hanya mengerti sedikit bahasa Jawa. Terakhir kali beliau ke Indonesia 20 tahun yang lalu ketika ayahnya meninggal di Jogjakarta. Ayah ibu Sukinem memutuskan kembali ke kampung halaman dan menghabiskan sisa hidupnya di sana. Ketika saya tanya apakah tidak terpikir untuk kembali dan tinggal di Indonesia saja, beliau menjawab bahwa sulit baginya yang walaupun keturunan Indonesia tetapi tidak mengetahui banyak tentang Indonesia karena dari kecil dia sudah terdidik sebagai orang Perancis. Kata pak Michel, Ibu Sukinem punya saudara/i bernama Sukinah, Sukini dan Sukanto. Saya hanya tertawa dan menjawab bahwa nama itu benar-benar sangat kental Jawanya. Setelah baca-baca artikel tentang Kaledonia Baru, ternyata memang banyak warganya yang berasal dari keturunan pendatang Indonesia terutama dari Jawa, yang datang sebagai pekerja ketika pertambangan Timah sedang booming di sana.

Pak Michel dan Ibu Sukinem

Selanjutnya penyelenggara tur membawa kami ke lokasi suku pegunungan dan air terjun yang ada di dekatnya. Menurut saya sih, tidak terlalu bagus. Kami mendaki bukit yang lumayan curam hanya untuk melihat beberapa rumah panggung yang sedikit penghuninya. Air terjunnya juga tidak se-wah harapan saya. Hanya berupa sungai dengan sedikit curam saja.


Kami mengakhiri tur tersebut dengan naik perahu bambu menyusuri sungai dan melihat beberapa desa di tepi sungai dan peternakan Gajah.

Keesokan harinya, saya akan terbang kembali ke Bangkok pukul 2 siang. Jadi, paginya saya masih ada kesempatan mengunjungi Wat Doi Suthep. Wat dengan chedi berlapis emas yang dibangun di atas bukit di luar kota Chiang Mai, sekitar 17 KM dari pusat kota. Saya menuju ke sana dengan menyewa sepeda motor yang dipesankan oleh Stephan. Harga sewa sepeda motor matic 200 Baht dan manual gear 150 Baht.

Untuk mencapai Doi Suthep tidak terlalu sulit karena tinggal mengikuti jalan utama menuju bukit yang terletak di Utara Barat laut dari arah pusat kota lama. Jalan menuju ke sana beraspal sangat bagus dengan jalan lebar namun berkelok-kelok melintasi bukit. Jalannya cocok untuk film Fast and Furious. Saya butuh 40 menit untuk tiba di Doi Suthep setelah memacu motor dengan kecepatan 40 Km/Jam saja. Jalan menuju ke sana kita juga akan melalui kebun binatang Chiang Mai dan beberapa lokasi air terjun.

Wat Dhoi Suthep terletak di atas bukit di mana kita bisa melihat kota Chiang Mai di bawahnya. Pemandanga ke arah kota Chiang Mai sendiri kurang begitu bersih karena polusi udara. Doi Suthep sendiri memang lebih mewah dibanding dengan wat lain yang ada di pusat kota Chiang Mai. Dengan chedinya yang berlapiskan emas. Saya melihat penganut Buddha Thailand berkeliling seakan bertawaf mengelilingi chedi tersebut sambil memegang persembahan berbentuk bunga dan melantunkan doa-doa.


Dari Lek Guesthouse saya naik songteaw hanya dengan 60 baht mau mengantarkan saya ke bandara yang letaknya memang tidak begitu jauh dari pusat kota. Hanya sekitar 15 menit. Penerbangan Chiang Mai ke Don Mueang Bangkok waktu tempuhnya hanya satu jam.

Sempat berfoto bersama Stephan pemilik Lek Guesthouse sebelum pamitan.
Penampakan Lek Guesthouse



Wassalam,
Takbir

2 comments:

Unknown said...

bro....dulu ke suku karennya di daerah mana yah ?
saya baca-baca artikel kok banyak banget tempat suku karen yah ?
soalnya saya mau cobak berangkat sendiri pakek motor.

Takbir said...

Ini yang dekat chaing mai. Dekat dari Doi Inthanon kalau tidak salah. Dulu saya pakai tour jadi tdk hapal jalan. Untuk masuk ke village bayar 300 THB.

Setau saya, di dekat Chiang Rai juga ada, di wilayah Myanmar juga ada.