Wednesday, January 30, 2013

Bapaknya Si Cahaya

Cerita berikut ketika saya masih kerja di Jeddah, Saudi Arabia. 

Pukul lima sore seperti biasa saya bersiap pulang dari kantor. Dari lantai empat gedung perkantoran Serafi Mega Mall, Jeddah, saya turun untuk mencegat taksi seperti hari-hari sebelumnya. Taksi sangat banyak berlalu lalang di sini, karena lokasinya memang di salah satu jalan poros di Jeddah dan juga terdapat Danube hypermarket dan toko meubel IKEA yang populer di Saudi Arabia. Taksi menjadi satu-satunya pilihan kendaraan umum dalam kota di Saudi. Di sana rata-rata punya mobil pribadi, karena harga mobil yang lebih murah jika di bandingkan dengan harga di negara lain. Dan juga harga seliter bensin kelas Pertamax yang lebih murah dari harga seliter air mineral. Bahkan kalau beli bensin dalam jumlah tertentu, sering dikasih hadiah sekotak tissue atau sebotol besar air mineral.

Di Saudi semua taksi berargo, tapi orang-orang lokal lebih suka tawar menawar sebelum naik taksi. Kebanyakan supir taksi berasal dari Pakistan yang umumnya sedikit bisa berbahasa Inggris, sehingga gampang buat kita untuk bertanya atau menjelaskan alamat. Ada beberapa juga yang saya temui berasal dari Indonesia, Filipina, Srilanka dan Bangladesh. Ada juga orang Saudi yang menjadi supir taksi. Banyak kawan yang sudah lebih lama tinggal di Saudia, merekomendasikan untuk tidak naik taksi yang pengemudinya orang Saudi. Karena sudah banyak yang mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan jika supirnya orang Saudi. Yang paling sering adalah jika kita sudah sepakat harga di awal, tetapi ketika akan sampai mereka suka minta lebih dengan alasan macet, atau jaraknya lebih jauh dari perkiraan dia. Ada juga yang ketinggalan barang di bagasi, karena taksinya kabur begitu saja ketika dia turun.

Dari kantor ke tempat tinggal dan sebaliknya, biasanya saya bayar 15 riyal saudi (SAR). Atau kalau mau sedikit sabar dan keukeuh menawar, kadang ada juga yang mau hanya dengan 10 riyal. Tapi sepanjang jalan muka supirnya merengut.. hahaha... Selama saya di sana 15 riyal sudah menjadi deal yang saling menguntungkan antara saya dan supir.

Beberapa saat saya menunggu taksi, banyak yang lewat, tapi entah kenapa sedikit yang kosong. Ada yang kosong, tidak mau singgah. Ada yang mau singgah, supirnya menolak karena arahnya berlawanan dengan arah pulangnya dia. Ada kejadian apa hari ini? Hingga datang sebuah sedan Toyota coklat muda yang agak butut. Di beberapa bagian body-nya kelihatan bekas dempul. Dari balik kemudi, seorang bapak, umurnya pertengahan 40-an perkiraan saya, yang dari kesan pertama saja saya lihat berwajah ramah, menyapa saya dan bertanya hendak ke mana? Oiya, dia menyapa saya dalam bahasa Inggris, sehingga saya juga dengan mudah bisa mengerti. Ketika mengetahui saya mau pulang dan dia bilang tahu lokasi tempat tinggal saya, dia pun menawari untuk naik mobil dia saja. Entah kenapa, tanpa ada rasa curiga, saya balas bertanya, saya harus bayar berapa? Dia balik nanya lagi, biasanya kamu bayar berapa? Saya jawab saja 15 riyal. Dia mengiyakan. Singkat cerita, saya naik mobil bapak itu. Sepanjang perjalanan kami bercakap-cakap. Dia memperkenalkan namanya sebagai Abu Nur, nama aslinya saya lupa. Tapi begitulah orang Arab sering memanggil dirinya atau bapak yang lain dengan nama Abu Fulan, jika nama anaknya adalah si Fulan.

Abu Nur menceritakan kalau dia berasal dari Libanon dan sudah lama tinggal di Jeddah. Sekitar 25 tahun kalau saya tidak salah ingat. Dari awal juga saya sudah menebak kalau dia bukan orang Saudi atau orang dari negara Asia Selatan yang banyak di sini. Rambutnya sedikit pirang kemerahan. Dari cerita dia pula saya jadi tahu kalau dia kena PHK dari perusahaan Tekstil tempat dia kerja sebelumnya selama hampir 20 tahun. Jadi saat ini dia kembali melamar pekerjaan ke sana ke mari. Dan nyambi sebagai supir taksi gelap (karena menggunakan mobil pribadi untuk mengangkut penumpang yang juga umum di Saudi). Sebelum melihat saya, katanya tadi dia barusan mengantar pelanggannya di dekat Serafi Mega Mall. Sepanjang perjalanan sekitar 15 hingga 20 menit tidak terasa, karena begitu banyak hal menarik yang dia ceritakan tentang kota Jeddah dan kehidupan di Saudi yang tidak saya tahu. Tiba di depan tempat tinggal saya, kemudian saya bayar sesuai kesepakatan. Dan dia memberi nomor teleponnya dan meminta nomor telepon saya. Katanya kalau pulang kantornya jam 5 sore dia akan menunggui saya di depan Serafi Mega Mall. Begitu awal perkenalan saya dengan Abu Nur.

Hari-hari berikutnya, hampir setiap hari saya ditunggui di depan kantor dan diantar Abu Nur pulang. Pernah ketika saya harus ke kantor Saudi Airlines untuk mengubah status tiket kembali saya ke Indonesia yang akan habis masa berlakunya hari itu juga, untuk di jadikan statusnya Open hingga setahun ke depan. jadi saya bisa menggunakannya kapan saja saya mau, sebelum habis masa berlakunya tahun depan. Sangat terbantu oleh Abu Nur yang hapal kota Jeddah, sehingga dia sudah tahu betul di mana kantor pelayanan Saudi Airlines. Dia juga yang menunggui saya antri untuk bisa dilayani petugas tiket Saudi Airlines. Ternyata tidak selancar yang saya duga, saya mesti menunggu hingga pukul 9 malam (dari jam setengah 6 sore tadi). Pada pukul 8 malam akhirnya Abu Nur pamitan duluan karena ada keperluan lain, dan saya cuma bayar ke dia seperti biasa, saya sampai tidak enak hati ditungguin begitu. Sebelum pergi dia sempat bilang, yah begitulah orang Saudi, suka sengaja melambat-lambatkan pekerjaan... hehehehe...

Saya juga sering pulang bersama teman yang tempat tinggalnya sama dengan saya. Saya pun memperkenalkan mereka dengan Abu Nur. Mereka yang awalnya tidak setuju saya ajak naik yang bukan taksi resmi itu, akhirnya akrab juga dengan Abu Nur. Ketika ada teman Indonesia yang mengundang semua rekan sekantor asal Indonesia untuk makan malam bersama di rumahnya, saya hari itu pulang agak telat dari kantor, sekitar pukul 7. Dan ternyata Abu Nur masih menunggu. Biasanya kami janjian pukul 5 sore, dan kalau sampai saya belum meneleponnya dia saya persilakan pergi duluan, tidak perlu menunggu saya. Malam itu saya naik mobil dia lagi mengantar saya ke rumah kawan yang mengundang itu. Ketika kami sudah menjauh dari kantor, kawan saya yang lain menelpon menanyakan mau ikut bareng saya... Yah, saya sudah jalan. Tapi Abu Nur malah menawarkan untuk berputar dan menjemput kawan itu. Kami pun menjemput dia lalu meneruskan menuju ke rumah teman Indonesia yang mengundang itu. Ketika tiba di tujuan, saya menyodorkan 20 riyal karena sudah merasa tidak enak ditungguin hingga malam dan sempat berputar kembali menjemput kawan di kantor, tetapi dia cuma mengambil 10 riyal. Abu Nur bilang, jaraknya dekat dan untuk jarak segini ongkos seharusnya memang hanya 10 riyal. Saya paksa dia menerimanya tetap dia juga ngotot menolak bahkan tidak mau menyentuh uang saya. Akhirnya dengan perasaan yang sangat tidak enak, saya menyodorkan 10 riyal saja, dan dia tersenyum menerimanya kemudian mengucap salam lalu pergi. Saya bersama kawan hanya berdecak kagum, ketemu orang seperti Abu Nur di Saudi.

Pengalaman lainnya dengan supir taksi seorang anak muda Arab keturunan Yaman. Kami sepakat 10 riyal, dari tempat saya ke tempat teman yang memang tidak begitu jauh, di jalan Mubahitz. Jalan Mubahitz ternyata ada beberapa. Mubahitz 1 hingga 5. Ketika saya sudah sadar kalau sudah lewat dari alamat tujuan, saya baru mengingatkan supirnya kalau saya mau ke Mubahitz 2. Saya yang salah, malah supirnya, anak muda itu, yang minta maaf. Ketika tiba di tujuan saya menambahkan jadi 15 riyal, karena memang sudah memutar agak jauh. Tapi seperti halnya Abu Nur, anak muda ini juga menolak mengambil uang saya. Dia bersikeras maunya hanya 10 riyal, sesuai kesepakatan awal. Alamatnya sempat terlewat dia anggap itu kesalahan dia yang lupa menanyakan jelas kepada saya. Takjub lagi ketemu orang seperti ini. 

Pernah juga dengan seorang anak muda lainnya yang asli Saudi, dengan mobil pribadinya menghampiri saya yang sedang menunggu taksi untuk pulang. Waktu itu sekitar jam 8 malam, Abu Nur sudah pulang duluan, karena saya tidak bisa memastikan bisa pulang jam berapa. Saat itu saya bersama kawan orang Nigeria, Francis. Melihat yang singgah supir Saudi dan bukan taksi resmi, si Francis sudah berkeras jangan naik itu. Tapi  entah kenapa saya tertarik dengan bahasa Inggris anak muda itu yang fasih. Saya menyebutkan alamat dan harga, kami sepakat, dan saya langsung naik saja tanpa meminta persetujuan Francis yang hanya melongo melihat saya sudah di atas mobil. Si Francis akhirnya jadi ikut naik juga. Saya yang dari awal penasaran dengan anak muda Saudi ini, jadi aktif bertanya ke dia. Kamu supir beneran? kata saya. Dia tersenyum, lalu menjawab dengan bahasa Inggrisnya yang bagus, "Tidak. Saat ini saya masih aktif berkuliah. Saya mahasiswa program Master di Universitas King Abdulaziz Jeddah. Saya juga kerja sambilan di Bank Saudi Fransi (kerja sama Saudi dan Perancis)", sambil memperlihatkan kartu pengenalnya kepada saya. Kenapa kamu sekarang mengambil penumpang? "Saya ambil penumpang yang kebetulan searah dengan saya saja. Tidak sering. Lumayan mengganti ongkos bensin". Lanjutnya, "Saya berusaha memenuhi kebutuhan saya sendiri tanpa meminta kepada orang tua lagi." Kalau saya perhatikan mobilnya yang bagus, saya yakin anak ini bukan anak yang kurang mampu. Saya tidak banyak tanya lagi di sepanjang jalan. Agak takjub menjumpai pemuda Saudi yang seperti ini. Pengalaman yang langka jika melihat sehari-hari gaya anak-anak sekolahan Saudi yang lain yang berkeliaran di Mall-mall pada jam sekolah. Ketika si Francis salah nunjuk jalan pun anak muda ini tetap tersenyum dan bilang tidak apa-apa, dia juga tidak sedang buru-buru. Pengalaman bertemu 2 pemuda seperti ini begitu mengesankan saya. Andai semua pemuda muslim begini, indahnya dunia. Sayangnya saya tidak sempat menanyakan nama mereka.

Sempat beberapa hari saya tidak ditungguin oleh Abu Nur. Tanpa kabar dari dia dan tidak membalas sms saya, membuat saya was-was, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa terhadap dirinya. Hingga beberapa hari kemudian dia menunggui saya lagi seperti biasa. Ternyata beberapa hari kemarin dia sedang ikut tes untuk sebuah posisi pekerjaan di Bandara Internasional Jeddah. Tapi dia tidak lulus. Pesaing kandidatnya dengan yang jauh lebih muda. Susah katanya buat seumuran dia mencari lagi pekerjaan kantoran. Dulunya di tempat yang lama dia digaji sekitar 5000 riyal atau sekitar 12 juta setiap bulannya. Plus tunjangan lainnya. Sekarang dia mesti mengorek tabungan untuk bisa menghidupi keluarganya dengan 2 putri yang masih sekolah menengah.

Makin lama saya merasa hubungan dengan Abu Nur bukan lagi sekedar antara penumpang dan supir taksi gelap. Tapi seperti kawan lama. Hingga hari terakhir saya akan meninggalkan Jeddah, dia mengantarkan saya, yang ingin membeli koper baru, ke beberapa toko swalayan yang dia ketahui menjual koper yang bagus dan sedang diskon. Berkeliling dan kemudian mengantarkan saya pulang. Saya hendak memberinya lebih karena mambawa saya keliling sekaligus sebagai tanda perpisahan tapi seperti yang sudah saya tebak dia bersikeras menolaknya dan hanya ingin 15 riyal seperti biasa. Dari laci mobilnya dia memberi saya buku doa kecil dengan huruf Arab gundul. Kami bertukar salam dan berjabat tangan untuk berpisah. 

Selama hidup ini saya sudah banyak dipertemukan dengan orang-orang baik tapi tidak banyak yang seperti Abu Nur. Dalam kondisi dan situasi sulit yang dia hadapi, dia tetap taat lurus menjalankan hal-hal yang baik. Tidak memanfaatkan situasinya untuk menarik simpati agar mendapat keuntungan lebih. Apalagi koper merah yang saya beli bersama dia masih saya pakai ke mana-mana hingga sekarang. Ada tempat spesial di ingatan saya mengenai Abu Nur, Bapaknya si Cahaya (saya terjemahkan bebas namanya). Saya hanya bisa mendoakan mudah-mudahan kondisinya dia selalu baik dan sudah mendapatkan pekerjaan lagi, seperti harapan yang sering dia ceritakan berulang-ulang kepada saya dalam perjalanan pulang dari kantor menuju Jeddah Rock, tempat tinggal saya selama di sana, di sekitar jalan Falestin, Jeddah. 


Salam,
Takbir

3 comments:

Anonymous said...

bole xundul dong.. kontak nya Abu Nur... sapa tau bisa bersaabat di jeddah

jomm... Abu Rayhan (freelancer.ejp@gmail.com)

sherly said...

assalamu'alaikum.. boleh minta no contact pak abu nur atau remaja yaman, insya allah oktober 2016 ini kami berniat ke jeddah. o ya, punya info apakah visa tourist tetap dibuka pada periode visa umroh ditutup periode setelah musim haji? jazakallah khoir.

Takbir said...

Nomornya hilang di hape yang lama.
Setau saya, visa umroh/turis baru di buka 3 bulan setelah musim haji berakhir. Tapi saya tidak tau keterangan pastinya.