Wednesday, January 30, 2013

Tips dan Cerita Menjaga Sholat Ketika Sedang Traveling

Tips ini cocok buat yang sudah bisa atau terbiasa menjaga sholatnya dalam situasi normal. Saya yakin muslim dalam golongan yang ini, juga akan memasukkan hal penting tersebut sebagai pertimbangan ketika akan melakukan perjalanan. Buat yang dalam situasi normalpun masih sering acak jadwal sholatnya, silakan tersungging (nyengir kuda), asal jangan tersinggung :) . Bagaimana kita sholat nantinya di perjalanan, apakah sempat? apakah ada tempat? Kalau tidak, bagaimana? Lantas bagaimana menentukan waktunya? Itu adalah beberapa pertanyaan yang paling sering kita hadapi jika kita melakukan perjalanan ke Negara-negara atau tempat yang mayoritas penduduknya bukan muslim.

Pegangan saya tentang melaksanakan sholat dalam perjalanan adalah saya yakin bahwa diantara rahmat dan kasih sayang Tuhan, Dia tidak menjadikan perintah-Nya ini sebagai sesuatu yang memberatkan hamba-Nya. Namun Dia telah menjadikan agama-Nya sebagai sesuatu yang mudah untuk diamalkan dan diaplikasikan dalam kehidupan. Yang umum diketahui umat muslim, bahwa kita boleh meng-qasharkan sholat atau meringkas jumlah rakaatnya (Dhuhur, Ashar, dan Isha dari 4 rakaat di kondisi normal menjadi 2 rakaat saja ketika sedang dalam perjalanan). Serta melaksanakan 2 shalat siang (Dhuhur dan Ashar) dan 2 shalat malam (Magrib dann Isha) dalam 1 waktu saja. 1 waktu di siang hari dan 1 waktu di malam hari yang dikenal dengan istilah menjamakkan sholat. Untuk jarak perjalanan berapa jauh kah dibolehkan menjamak sholat? Yang saya ketahui adalah jika perjalanan lebih jauh dari 80 Km*. Tapi ada juga yang saya ketahui dan dengar jika jarak perjalanan sudah lebih dari 60 Km, maka boleh meng-qasharkan dan menjamakkan sholat. Tambahan lainnya jika menetap di tempat tujuan lebih dari 3 hari, maka 3 hari pertama boleh meng-qashar dan menjamak sholat, dan hari-hari berikutnya mesti melakukan sholat seperti biasa*. Yang di atas tadi adalah dasar-dasar hukumnya, nah saya sendiri bagaimana dalam pelaksanaannya? Berikut adalah kisah nyata pengalaman saya dalam usaha menjaga sholat yang mungkin atau ternyata masih belum terjaga dengan benar.

Hal terpenting pertama menurut saya adalah memperkirakan kapan harus mulai berangkat dan kapan perkiraan tiba ditujuan. Jika sudah masuk waktu sholat dan kita masih punya waktu sebelum mulai berangkat, maka sebaiknya laksanakan dulu sholatnya, supaya di jalan nanti tidak kepikiran lagi. Pengalaman ketika traveling di Jepang dan Rusia yang susah menemukan tempat sholat, saya biasanya justru sengaja menunggu di hostel, hingga masuk waktu sholat dhuhur supaya bisa saya jamak sekalian dengan ashar. Tidak apa-apa kesiangan jalan-jalannya asalkan hati juga tenang tidak memikirkan sholat lagi sampai malam.

Kalau sudah terlanjur jalan dari pagi bagaimana mencari tempatnya? Di sarankan selalu menyiapkan sajadah yang bisa dilipat kecil dan mudah diselipkan dalam tas yang dibawa ke mana-mana. Selama traveling di Jepang, ketika masuk waktu sholat saya biasanya berkeliaran tanpa arah mencari tanah yang lapang, dan sejauh ini tempat yang paling cocok dan gampang menurut saya adalah lapangan parkir. Lapangan parkir di Jepang banyak, bersih dan beberapa sangat luas (umumnya lahan parkir bus pariwisata). Saya tinggal nyari tempat yang kosong dan sepi tentunya. Biar bagaimanapun saya selalu keki jika sedang sholat dilihat orang yang lewat. Yang mungkin tidak tahu apa yang sedang saya lakukan sehingga terlihat aneh, mencurigakan atau eksotis menurut mereka :) .  Tetapi sejauh ini, Alhamdulillah, belum menemui masalah. Ada juga beberapa teman sejalan, yang jika di tempat ramai dan sulit menemukan tempat kosong, lebih memilih untuk sholat sambil duduk dengan isyarat saja. Tetapi bagi saya, cara itu adalah cara terakhir dan sudah kepepet. Tetap sholat dengan gerakan biasa walau orang lain pada ngeliatin. Setelah selesai, yah cepat-cepat pergi saja dari situ, sambil pasang tampang datar seperti tidak terjadi apa-apa hehehe...

Waktu jalan-jalan ke Danau Kawaguchiko, kami sempat salah jurusan ketika naik bus dan nyasar ke salah satu danau di dekatnya yaitu Danau Saiko. Tapi di tepi danau yang lebih sepi ini, kami menemukan tempat kosong yang sempurna buat sholat. Setiap kejadian memang selalu ada kebaikan yang menyertainya.
 

Traveling di Turki paling tidak ada masalah soal sholat. Karena mereka memang mayoritas muslim dan sangat mudah menemukan masjid (cami dalam bahasa turkinya) di setiap kota. Ketika masuk waktu sholat dan kebetulan lewat mesjid, saya ikut berjamaah sebagai makmum. Karena ikut makmum dalam rombongan jamaah yang melaksanakan sholat secara normal (dhuhur/ashar 4 rakaat) maka saya pun harus ikut jumlah rakaat mereka walaupun sebenarnya saya boleh meng-qashar nya. Beda lagi ketika saya masih di Jeddah, Saudi Arabia. Ada kawan kantor (orang Arab) yang melakukan business trip dari Riyadh ke Jeddah. Kami hanya berdua waktu itu (saya telat ikut rombongan jamaah awal), kawan ini yang menjadi imam, dia lalu memberitahu bahwa dia dalam kondisi musafir, jadi dia hanya akan melaksanakan 2 rakaat saja. Dan setelah dia menutup salam, saya harus berdiri melanjutkan sisa 2 rakaat lagi, karena saya memang tidak dalam kondisi sebagai musafir. Jadi ada 2 kondisi berbeda disini. Sebagai musafir ikut berjamaah maka saya harus ikut Imam dan melaksanakan sholat secara normal atau tanpa meringkas sholat. Atau sebaliknya ikut berjamaah oleh Imam yang sedang musafir sedangkan kita sendiri tidak dalam keadaan musafir, Imamnya meringkaskan sholat sedang kita mesti menggenapkan sholat seperti biasa setelah Imam menutup salam.

Situasi ketika traveling ke Iran beda lagi, tidak ada masalah dengan tempat sholat, tetapi Iran kan warganya mayoritas syi’ah. Berbeda sedikit dalam pelaksaan sholat. Mereka dalam kondisi normal (tidak dalam perjalanan) sudah menjamak dan meng-qasharkan sholatnya. Jadi selama di Iran cuma mendengar azan 3 kali sehari, yakni Subuh, Dhuhur dan Magrib. Pernah satu kali saat akan ke Qazvin dari Tehran bersama Arul (mahasiswa Indonesia yang menemani saya di Iran), kami sholat di musholla terminal bus. Di saat yang sama muslim lokal sedang melaksanakan sholat berjamaah yang tentu saja dijamak dan diqashar. Kami yang memang juga bisa menjamak dan meng-qashar memutuskan tidak ikut mereka, karena perbedaan cara sholat. Orang syiah meluruskan tangan ke bawah, kami bersedekapkan tangan di dada. Orang syiah mengeraskan suara bacaan walaupun siang, yang setahu saya hanya diwajibkan saat sholat di waktu malam. Serta mereka juga membaca qunut pada rakaat kedua di setiap sholatnya. Saat selesai sholat, saya merasa (mungkin perasaaan saya saja) mereka memandangi kami dengan aneh, seperti kami memandang tidak biasa pada mereka karena perbedaan pelaksaanaan rukun sholat ini. Saya sendiri tidak pernah mau mengklaim bahwa cara sholat sayalah yang paling benar, tetapi saya hanya berusaha melaksanakan sholat yang saya ketahui, pelajari dan yakini paling tepat pelaksanaannya. Urusan pahala sholat kita serahkan sama yang di atas sajalah. Saat mengikuti tur di Yazd, hari menjelang magrib dan saya belum sholat. Lokasi terakhir di salah satu Dakhmeh atau makam kuno orang Zoroaster yang lebih dikenal dengan Tower of Silence. Yang lain, yang memang non muslim, segera mendaki ke atas Dakhmeh, sedangkan saya dan Arul serta dua orang Iran supir tur bergantian melaksanakan sholat di atas sajadah yang sama. Muslim syiah dan sunni, sholat bergantian di atas makam Zoroaster menghadap Dakhmeh, yang kebetulan adalah arah kiblat dilihat dari posisi di mana kami melaksanakan sholat. Kombinasi yang tidak biasa bukan?

Teringat saat kuliah agama Islam di semester pertama dahulu. Ketika sekelas mendiskusikan berbagai hal tentang sholat dan kami mendapati adanya berbagai perbedaan pendapat dan pandangan, dosen agama kami menutup acara kuliah hari itu dengan mengatakan, semakin lama kalian akan semakin banyak mendapati dan menjumpai adanya perbedaan dalam pelaksanaan sholat oleh berbagai muslim di dunia. Terus yang mana yang benar? Jawaban sementara untuk  menenangkan kami, yang benar itu yang melaksanakan sholat, dan yang tidak benar yang tidak melaksanakannya.

Saat traveling bersama teman, walaupun dalam status musafir, ada juga yang tetap mengusahakan melaksanakan sholat secara normal. Tapi saya memilih meng-qasharnya. Perbedaan ini tidak masalah sama sekali karena keduanya benar menurut saya. Saya mengambil pilihan meng-qasharnya sebagai kemudahan yang diberikan Allah bagi yang sedang musafir. Ada ulama yang mengatakan dan saya setuju dengan pendapat ini, bahwa Allah senang ketika kita mengambil kemudahan yang diberikan oleh Dia, sebagaimana Dia senang ketika kita menghindari larangan-Nya.

Jika banyak muslim yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, maka salah satu bukti kesempurnaannya akan bisa kita saksikan dan alami langsung ketika kita berada dalam situasi yang tidak biasa. Seperti ketika sedang dalam perjalanan. Karena dalam setiap situasi, semuanya telah diatur oleh agama ini. Mudah-mudahan cerita tidak singkat alias panjang ini bisa mengajarkan kita bahwa tidak ada alasan untuk meninggalkan sholat. Yang setuju silakan tersenyum, yang tidak setuju silakan nyengir :)

*Sangat diharapkan komentarnya jika ada yang bisa menambahkan atau mengoreksi mengenai aturan sholat ketika dalam perjalanan.


Salam,
Takbir

6 comments:

Anonymous said...

Subhanllah, terus tingkatkan sholatnya.. :D

atik said...

Saya biasanya lbh suka di taman (utk negara yg punya taman cukup bagus). Cari tempat dibalik pohon atau tanaman utk gelar sajadah dan pake bawahan mukena. Yg agak parah, pernah sholat di klenteng yg ga kepake (abis keliatan bersih) atau depan gapura. Kadang kalo suka susah wudhu, suka bawa semprotan kecil,kyk mirip tempat cologne, trus diisi air minum, trus buat wudhunya tinggal semprot2 pake itu.

Takbir said...

Saya juga pernah sholat di halaman kuil Higashi Honganji di Kyoto. Pernah juga di balik dinding di belakang patung Budha di Kamakura :)

Anonymous said...

Nah mas, kalau di hostel apalagi yg roomnya dorm, foreigner yg menginap kan pasti mondar mandir dan kayanya ga nyante aja, boleh ga sih shalat dengan cara duduk di tempat tidur kalau kondisinya seperti itu?

Takbir said...

Saya beberapa kali di kamar dorm dgn 6 orang asing. Dalam kondisi itu, biasanya saya tungguin mereka pergi, atau di saat mereka sdh di atas bed masing2. Pasti ada rasa keki diliatin saat sholat, saya anggap biasa saja.

Sholat duduk itu buat org sakit yg tidak mampu berdiri, duduk dalam perjalanan jauh yg tidak mungkin mampir sholat, atau kondisi lain yg benar-benar tidak memungkinkan melaksanakannya secara biasa.

Rieska said...

Wah klo sy selalu dlm keadaan duduk sholatnya,di taman,di pinggir jalan,di restaurant,disamping toilet, diatas kereta shinkansen...hbs gmn yah ga afdhol rasanya kl ga pake mukena jd dg gerakan dan sajadah sy canggung diliatin terus...klo gt gimana yah ...huhuhu