Sunday, May 26, 2013

Titik Nol – Makna Sebuah Perjalanan


Titik Nol – Makna Sebuah Perjalanan
Penulis: Agustinus Wibowo
(ISBN: 978-979-22-9271-8)


Aku menjuluki Agustinus ‘Si ceroboh yang selalu selamat’. Sepertinya di dahimu tertera besar-besar tulisan 3R –rob me, rape me, rescue me- rampok aku, perkosa aku, tolong aku. (Lam Li, petualang wanita asal Malaysia, sahabat Agustinus)

Dalam perjalanannya bertahun-tahun melintasi Negara, dia pernah dirampok, atau barang-barang berharganya dicuri oleh orang-orang yang baru dikenal atau tidak dicurigainya, dia sudah mengalami pelecehan seksual lebih sering daripada yang dialami oleh petualang perempuan; dia pernah berada dalam situasi-situasi berbahaya dan mengundang maut. Namun dia selalu berhasil lolos dan tak pernah kehilangan kepercayaannya kepada manusia, dan “kelemahannya” karena dengan lugu serta mudah percaya pada orang -sahabat atau orang tak dikenal- entah bagaimana menjadi kekuatannya, yang justru menolongnya keluar dari masalah pelik. Dia selamat keluar dari zona perang, penyakit mematikan, dll, bukan karena dia pintar atau waspada sepanjang waktu, tapi karena dia bisa menjalin ikatan dengan penduduk setempat di tempat-tempat yang dikunjunginya, dan sering kali, dia diberkahi kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal dan niat baik.

Melalui tulisannya, Agustinus tidak hanya berhasil mengingatkan dirinya pada kenyataan dalam perjalanannya sendiri, tapi ia juga membantu para pembaca merasa ikut terhubung dengan orang-orang  di negeri-negeri nun jauh di sana yang dalam kenyataannya tak penah mereka temui.

Buku ini menuturkan kisah Agustinus memulai petualangan yang dicita-citakannya, melakukan perjalanan darat dari Beijing hingga ke Cape Town, Afrika Selatan. Sebuah Grand Journey.  Perjalanan dimulai dengan kereta api kelas ekonomi dari Beijing menuju Urumqi, ibukota provinsi Xinjiang. Dilanjutkan menuju Kashgar, menembus Tibet yang dijaga ketat oleh polisi dan tentara Cina. Saya bisa merasakan sedikit kekecewaan Agustinus ketika mendapati Tibet yang sudah terkomersialkan. Kota Tibet berubah menyerupai kota-kota Cina lainnya. Menembus Nepal, merasakan ‘Surga Himalaya’ versi obral. Berleyeh-leyeh di Kathmandu hingga kehilangan dompet di tengah keramaian. Bagaimana dia melaporkannya ke polisi dan hanya menerima janji investigasi yang tidak jelas.

Agustinus memasuki India, negeri yang penuh kejutan, penuh tipu-tipu. Kejutan yang ditawarkan India itu laksana gempa. Begitu banyak formula kata orang tentang perjalanan di India. Ada yang bilang, datang ke India kita dipastikan akan mengalami horror 3S: Stolen, Sickness, Sex. Ada yang bilang India itu singkatan I Never Do it Again – sekali saja sudah bikin kapok. Ada yang bilang, India itu hanya memberi dua opsi: benci total atau cinta total, tak ada yang tengah-tengah. Ada pula yang bilang, setelah perjalanan di India kita jadi tipe manusia dengan dua kemungkinan: orang sentimental berhati lemah yang trauma disuguhi kemelaratan bertubi-tubi, atau sebaliknya, jadi orang yang kebal rasa, ketika pengemis dan anak jalanan jadi makhluk tembus pandang tak kasat mata.

Paradoks India itu adalah fantasi ala Bollywood di tengah kesemrawutan dan bau pesing. Pengalaman yang paling menyeramkan adalah ketika Agustinus menderita hepatitis di India. Pengalaman yang menjadi mimpi buruk setiap solo traveler.

Menembus Kashmir yang terkena gempa untuk menjadi sukarelawan. Memasuki Tharpatar yang merupakan wilayah gurun terpencil di Pakistan. Mendapati kericuhan di Lahore sebagai reaksi protes terhadap kartunis Denmark yang menggambarkan sang Nabi. Setiap kali dia berkenalan dengan warga Pakistan, dia akan berhadapan dengan pertanyaan yang sama, apa agama kamu? Menjadikan Agustinus banyak berpikir dan memaknai agama.

“Agama itu asalnya harus dari hati, dan kembali lagi ke hati. Dalam hati, kau temukan Tuhan. Kita berangkat dari hati, mengembara mencari-cari sampai akhirnya kita berpulang lagi ke hati. Hati adalah inti dari ajaran agama”

Perjalanan Agustinus mencapai Afghanistan. Negara yang hampir tiap hari diwarnai dengan ledakan bom. Justru di Negara yang paling tidak aman inilah dia banyak menghabiskan waktunya, mendapatkan pekerjaan sebagai fotografer untuk mengumpulkan  dana dan kemudian melanjutkan perjalanan berikutnya hingga ke Afrika Selatan. Sampai akhirnya Agustinus menerima kabar Ibunya yang menderita kanker. Panggilan hatinya untuk menjadi anak yang berbakti membuatnya harus kembali ke Tanah Air, merawat Ibu dan dengan menguras tabungannya sendiri mengantarkan Ibu untuk mendapatkan pengobatan yang terbaik di negeri leluhurnya, Tiongkok.

Agustinus menuliskan cerita buku ini dengan mengibaratkan kisah seribu satu malam, Shahrazad si putri yang cantik bercerita satu cerita setiap malam untuk memperpanjang hidupnya dari ancaman hukuman mati sang raja. Agustinus terus bercerita tentang pengalaman perjalanannya kepada sang Ibu, dengan harapan bisa memperpanjang pula hidup sang Ibu yang telah menderita akibat kanker dan menjelang dijemput ajal.

Perjalananku bukan perjalananmu, tapi perjalananku adalah perjalananmu. Masing-masing kita punya safarnama sendiri-sendiri, tapi hakikat safarnama itu adalah sama. Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali. Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang.


Wassalam,
Takbir

No comments: