Sunday, May 19, 2013

The Hidden Face of Iran

The Hidden Face of Iran
Penulis: Terence Ward
(ISBN: 978-979-15037-6-1)
Terence Ward atau dipanggil Terry adalah warga Amerika Serikat yang orang tuanya bekerja di perusahaan minyak Iran sebelum Revolusi Iran 1979. Selama di Iran, keluarga Ward dilayani oleh pembantu rumah tangga mereka yang bernama Hassan. Hassan ini yang mengajari Terry dan ketiga saudara laki-lakinya tentang kebudayaan Iran. Keluarga Ward meninggalkan Iran di awal tahun 70-an. Hingga tahun 1998, ketika Ibu si Terry ini begitu ingin mengetahui nasib dan keberadaan Hassan, karena selama hampir 30 tahun meninggalkan Iran, Iran telah mengalami revolusi dan juga perang Iran-Irak dari 1980-1988. Apa yang terjadi dengan Hassan? berbekal foto tua tahun 1960-an dan ingatan Ibu si Terry tentang nama desa asal Hassan, Tudeshk, akhirnya mereka keluarga Ward (sepasang orang tua dan 4 anak lelaki) memutuskan mencari Hassan ke Iran. Negara dengan berjuta lelaki bernama Hassan. 

Meskipun tugas resminya adalah menangani urusan rumah tangga, bagi kami, peran Hassan jauh lebih besar.Bagaikan Virgil, dia memandu kami melewati labirin remang-remang berbagai pasar dan dengan penuh kasih sayang mengajarkan kepada kami kebiasaan-kebiasaan yang diperlukan untuk dapat lebih menyatu dengan kebudayaannya. Dia menjadi bagian yang penting dalam keluarga kami, memuaskan daya khayal kami, memperluas dunia kami. Tubuhnya yang kekar dan kuat, juga kumisnya yang hitam dan tebal menawarkan kebijakan sederhana yang berpadu dengan keramahtamahan. Sebagai ganti televisi, dia menceritakan kepada kami keantikan sikap "Mullah Nasruddin" dalam menghadapi dilema kehidupan, dan caranya memecahkan masalah dengan bijaksana namun jenaka. Di dalam matanya selalu terdapat kilatan cahaya. 

Begitulah Terry sedikit menggambarkan tentang Hassan dalam pendahuluan bukunya. Keluarga Ward tidak hanya menyambut baik Hassan dan Istrinya Fatimeh, tetapi juga Khorsid, Ibu Fatimeh yang bertugas merawat kedua anaknya, Ali dan Mahdi. Lalu ada pula saudara lelaki Hassan, Mohammad yang dikeluarkan dari angkatan bersenjata dan menganggur karena menggulingkan sebuah jip. Jadi, Mohammad pun menjadi supir keluarga Ward.

Setelah sepuluh tahun tinggal di Iran, perpisahan pun datang juga. Seperti diceritakan Terry, kami berdiri dengan muram di depan gerbang untuk mengucapkan selamat tinggal. Anehnya, saat itu adalah tanggal 4 Juli. Hassan dan Fatimeh memeluk kami sementara dengan khidmat, kami mengucapkan janji untuk tetap berhubungan dengan mereka. Untuk terakhir kalinya, Hassan menarik telingaku dan memberitahuku supaya "menghormati ibu dan ayah." Tenggorokanku tercekat, dan aku pun mengangguk untuk menyatakan janjiku. Hassan menyambutnya dengan kedipan puas. Fatimeh yang masih belia menggapai dan menggenggam tangan ibuku. Kedua wanita tersebut berpelukan erat. Waktu seolah berhenti selama perpisahan yang berjalan panjang itu. Lalu, kami pun mendengar jeritan klakson. Ketika taksi menjauh, pandangan terakhir kami melalui kaca jendela adalah Hassan, Fatimeh, bayi Maryam, si kecil Ali dan Mahdi, nenek Khorsid, dan Mohammad, bergerombol, melambaikan tangan dengan murung di depan pagar bercat merah.

Buku ini tidak sekedar menuliskan cerita perjalanan Keluarga Ward mencari Hassan, tetapi Terry juga banyak membahas tentang sejarah bangsa Persia, sejak raja pertama mereka Cyrus the Great atau yang orang Iran sebut Khorosh.

Pertemuan yang digambarkan Terry berlangsung dengan meriah dan gembira. Sementara semua orang berbicara berbarengan, air mata mengalir ke pipi Hassan. " Rasanya benar-benar bahagia bertemu dengan kalian! Sungguh, saya tak pernah lupa!" Dalamnya kerinduan Hassan juga begitu terasa ketika Hassan menatap semua keluarga Ward sambil berucap, "Hati saya sungguh merindukan kalian."

"Kalian tahu, pada hari kalian meninggalkan Teheran, kami menangis. Selama waktu yang kami habiskan di rumah kalian, ibu dan ayah kalian tak sekalipun memarahi kami. Mereka tak pernah menunjukkan bahwa mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kami. Mereka selalu bersikap sopan kepada semua orang. Mereka menganggap kami sebagai keluarga. Dan aku tak akan pernah melupakannya." 

"Pada malam hari aku berdoa untuk guruku, Ustad Ardabil, yang mengajarkanku membaca Al Quran ketika aku masih kanak-kanak di Tudeshk. Aku juga mengingat seorang wanita yang menolongku ketika aku berusia tujuh tahun. Aku pernah bekerja sebagai penggembala di Tajrish. Pada suatu hari, wanita ini melihatku lewat saat menggembalakan domba. Tubuhku sangat kotor dan bajuku compang-camping. Dia mengundangku masuk ke rumahnya dan menyuruhku mandi di kolam. Dia mengeramasi rambutku dan mencuci pakaianku. Aku tidak pernah tahu siapa dia sebenarnya, siapa namanya. Dan aku tak pernah melihatnya lagi. Untuk apa dia melakukan hal seperti itu? Mungkin sekarang dia sudah meninggal, namun aku selalu mendoakannya."

"Aku bukan siapa-siapa, hanya seorang pria sederhana. Aku bertanya kepada Tuhan, mengapa Dia melakukan hal ini padaku? Kalian lihat, aku tahu untuk apa kalian datang." Hassan terdiam dan menengadah menatap bulan. "Bahkan orang yang bersaudara pun tidak akan melakukan apa yang kalian lakukan. Aku menceritakan hal ini kepada salah seorang temanku, dan dia merasa terharu. Aku mengatakan kepadanya bahwa tiga puluh tahun yang lalu, aku bekerja untuk ibu dan ayahmu, dan mereka pergi ke tempat yang jauh. Lalu, mereka kembali, melewati lautan dan melintasi gurun. Aku mengatakan padanya bahwa cuaca sangat panas, gurun sangat panas, dan mereka tetap datang. Dia berkata 'oh aku tak bisa mempercayainya'. "

Hassan mencabut sebilah rumput, mencari kata yang tepat dalam bahasa Inggris untuk menjelaskan perasaannya.

"Mojezeh, Fatimeh mengatakannya kepadaku kemarin." 
"Apa maksudnya?" Aku bertanya
"Sama seperti ketika seorang pria meninggal dan Isa menghidupkannya kembali, inilah mojezeh"
"Bangkit dari kematian?"
"Ya."
Aku merasakan bulu kudukku meremang. Hassan menatap mata kami. "Dalem barayeh shoma tang meshawad, aku benar-benar merindukan kalian".

Kisah perjalanan menemukan kembali Hassan ini juga membuka sisi lain tentang citra Iran yang radikal, terisolasi, tidak modern, tidak ditemukan oleh Terry dan keluarganya. Buku ini juga menjadi semacam pembelaan dan remedy bagi Iran, “kampung halaman” Terry, kepada dunia internasional, terutama negaranya. Untuk mendukung semua ini, Terry juga mengisahkan berbagai kunjungannya ke situs-situs yang dianggap tabu untuk didatangi oleh orang asing, termasuk mengunjungi makam Ayatollah Khomeini. Semua ini merupakan upaya Terry untuk menunjukkan wajah yang sebenarnya dari Iran, yang jauh dari semua yang dicitrakan oleh negaranya, Amerika Serikat.

Dalam Epilog, Terry menutup karyanya dengan indah. Ia mengutip puisi karya pujangga Persia, Sa’adi: “ … Siapa pun yang tak mampu merasakan kepedihan orang lain, tak pantas menyebut dirinya manusia.” Kutipan ini diterakan di atas portal utama, di atas permukaan batu pualam putih, di gedung Mahkamah Internasional, The Hague, Belanda.


Wassalam,
Takbir

No comments: