Sunday, May 19, 2013

Stones Into Schools

Stones Into Schools
Penulis: Greg Mortenson
(ISBN: 978-602-8767-41-5)
Buku ini merupakan sekuel dari buku memoar Greg sebelumnya yaitu, Three Cups of Tea. Buku pertama yang berisi kisah bagaimana Greg tersesat dalam usaha mencapai puncak Karakoram 2 (K2) hingga tiba dengan tertatih dan tubuh lemah di desa yang tidak pernah didengarnya, Desa Korphe. Dia diberi tempat beristirahat dan dijamu dengan baik oleh Haji Ali dan keluarganya hingga dia pulih. Greg kemudian melihat kondisi anak-anak Desa Korphe yang belajar di alam terbuka tanpa guru, yang membuat dia merasa menemukan cara untuk membalas utang budi kebaikan Haji Ali.

Setelah berhasil mendirikan sekolah di Desa Korphe sesuai janjinya, ternyata Greg tidak bisa berhenti begitu saja, karena banyak pemuka dan pemimpin dari wilayah di sekitar Korphe yang menuntut dan berharap Greg juga mendirikan sekolah buat anak-anak mereka. Jumlah sekolah terus bertambah dari wilayah utara Pakistan hingga akhirnya merambah wilayah Afghanistan.

Tradisi dan tirani telah membelenggu para perempuan di daerah-daerah terpencil Pakistan dan Afghanistan untuk mengecap pendidikan tinggi. Mereka tidak berdaya menanti nasib mengubah takdir mereka. Namun, semua berubah sejak Greg Mortenson datang. Dengan menggalang dana ratusan ribu dollar dari para dermawan di seluruh dunia, dia membangun sekolah-sekolah khusus perempuan di kaki Himalaya tersebut. Dia melakukannya demi sebuah janji dan keyakinan dalam dirinya bahwa perempuan yang berpendidikan akan mengubah masyarakat secara menyeluruh.

Pepatah Afrika yang sering diucapkan Greg berulang-ulang, ibarat sebuah mantra, " Jika kita mengajar anak lelaki, kita mendidik seorang individual; tetapi jika kita mengajar anak perempuan, kita mendidik satu komunitas."

Buku ini mengisahkan bagaimana upaya Greg dan timnya dari Central Asia Institute (CAI) membangun sekolah yang selalu diawali dengan bagaimana dia menjalin hubungan dengan para penguasa lokal dan bahkan para mullah untuk mengijinkan dia mendirikan sekolah khusus anak perempuan. Sebuah usaha yang tidak mudah dan butuh waktu lama karena tradisi lokal yang menganggap bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Sebagaimana disampaikan oleh semua sesepuh desa yang bijaksana, segala yang benar-benar penting layak dijalani dengan sangat, sangat lambat.

Kemudian Greg menetapkan ukuran kesuksesan bukan dari berapa jumlah dana yang berhasil dia kumpulkan atau berapa jumlah sekolah yang berhasil CAI dirikan, tetapi sangat terkait dengan anak-anak perempuan  yang kehidupannya diubah melalui pendidikan. Buku ini kemudian banyak menceritakan kisah-kisah perjuangan anak-anak perempuan tersebut mengejar cita-cita mereka. Seperti yang dituliskan Greg dalam pendahuluan bukunya.

Ambil contoh kasus Jahan Ali, yang kakeknya, Haji Ali, merupakan nurmadhar (kepala desa) Korphe dan mentorku yang paling penting. Pada hari pertama aku bertemu Jahan, bulan september 1993, dia memintaku berjanji bahwa jika dia lulus, kami akan mengirimkannya ke program kebidanan - surat utang yang dengan penuh kemenangan dia tagih sembilan tahun kemudian. Setelah merampungkan pendidikan tinggi di Korphe, dia melanjutkan sekolah di kajian lanjut administrasi kebijakan publik. Sementara itu, di kampung halamannya, ayah Jahan berusaha menikahkan Jahan - saat ini perempuan muda ini berusia dua puluh tiga tahun, dan harga maskawinnya, berkat pendidikannya, sekarang telah melonjak menjadi lima puluh biri-biri jantan dewasa. Akan tetapi, Jahan menyatakan bahwa pertama-tama dia berniat menjadi pemimpin komunitas dan anggota parlemen Pakistan. "Aku tidak akan menikah sampai cita-citaku tercapai," demikian dia memberitahuku baru-baru ini. "Insya Allah, suatu hari nanti aku akan menjadi wanita super."

Kemudian ada pula kisah Shakila Khan, lulusan kelas pertama sekolah kami di Hushe, sebuah desa di lembah sebelah selatan Korphe yang terletak di bawah bayang-bayang Masherbrum, salah satu pegunungan tertinggi di muka bumi ini. Berada di tahun ketiganya di Rumah Sakit Fatima Memorial di Lahore dan mendapat nilai rata-rata sembilan puluh, Shakila rencananya akan menjadi dokter perempuan berpendidikan lokal pertama yang berasal dari warga Baltistan yang berpenduduk 300.000 orang. Dia saat ini berusia dua puluh dua tahun dan berencana kembali ke Lembah Hushe untuk bekerja di tengah masyarakatnya. "Dua target utama saya," ujarnya, "adalah saya tak ingin perempuan mati saat melahirkan atau bayi-bayi mati pada tahun pertama mereka."

Terakhir, pertimbangkan Aziza Hussain, yang tumbuh besar di Lembah Hunza, tak jauh dari titik persimpangan Jalan Raya Karhuram ke Cina. Setelah lulus dari SMA Putri Pemerintah Federal Gulmit pada 1997 dan merampungkan program kebidanan dengan beasiswa CAI, Aziza juga bersikeras kembali ke kampung halaman guna menerapkan keterampilan yang dia peroleh dalam komunitasnya sendiri - suatu wilayah tempat dua puluh perempuan mati setiap tahun saat melahirkan anak. Sejak Aziza kembali pada tahun 2000, tak satu pun perempuan di area itu meninggal saat melahirkan.



Wassalam,
Takbir

No comments: