Mendarat di bandara Chiang Mai sekitar
pukul sepuluh malam, setelah 2 jam penerbangan dari Phuket. Di sendal
masih banyak menempel pasir dari pantai Patong. Setelah menelpon dan
memastikan ada kamar yang kosong, dari bandara saya naik taksi 120
Baht menuju Lek Guesthouse yang berada di luar dinding kota lama. Lek
Guesthouse hanya 200 Baht untuk single room, sangat murah menurut
saya. Walaupun memang fasilitasnya standar dengan kipas angin, tapi
kamar mandinya di dalam. Itu sudah cukup buat saya, yang butuh
tempat menaruh barang dan rebahan saja. Di tambah lokasinya yang
bagus, dekat dengan kota lama, dan ada restauran kebab halal di
perempatan tidak jauh dari situ. Apalagi pemiliknya, Stephan, seorang
Perancis beristrikan wanita Thailand, sangat banyak membantu dalam
memberi petunjuk jalan, membantu memesan tur dan sewa sepeda motor.
Untuk akomodasi di Chiang Mai memang sepertinya standarnya sekitar 200-500 Baht. Ada sangat banyak pilihan baik di dalam dinding kota lama
ataupun di luar.
Dengan mengandalkan peta yang tersedia
gratis di bandara, saya berjalan mengelilingi pusat kota lama Chiang
Mai. Pusat kota lama ini dulunya di kelilingi dinding benteng yang
masih bisa kita lihat sisa-sisanya dengan empat gerbang utama. Di
luar dinding benteng dikelilingi oleh kanal.
Chiang Mai Gate
Di antara empat gerbang, Thapae Gate menjadi tempat buat warga Chiang Mai dan turis nongkrong dari sore hingga malam hari.
Salah satu bar dari sekian banyak bar di sekitar Thapae Gate
Di antara empat gerbang, Thapae Gate menjadi tempat buat warga Chiang Mai dan turis nongkrong dari sore hingga malam hari.
Salah satu bar dari sekian banyak bar di sekitar Thapae Gate
Chiang Mai dulunya bernama Lanna. Di
kuasai oleh Burma sebelum direbut oleh kerajaan Siam untuk
meminimalisir ancaman serangan dari Burma yang sudah dua kali
mengalahkan Kerajaan Siam sebelumnya. Chiang Mai seperti kota budaya
di Thailand. Terdapat begitu banyak bangunan kuil Buddha kuno dan modern di
dalam dan di sekitar pusat kota lama. Saya merasa kota ini seperti
Kyoto kalau di Jepang. Sangat banyak Wat atau kuil. Belum lagi di
sekitar Chiang Mai, banyak etnik atau suku dengan budayanya yang unik
satu sama lain.
Dari sekian banyak Wat, hampir semuanya
mempunyai ukiran patung Gajah. Gajah yang menopang chedi. Dan di
Chiang Mai inilah saya benar-benar melihat banyak Gajah. Di sekitar
Chiang Mai terdapat beberapa taman pemeliharaan Gajah.
Di antara sekian banyak Wat, ada tiga
wat terbesar yang saya kunjungi. Wat Chiang Mun adalah wat yang
tertua. Dibangun ketika benteng kota mulai didirikan.
Wat Phra Singh.
Wat Chedi Luang.
Saya mengambil tur trekking dari Panda
Tour dengan harga 1000 Baht plus 300 Baht untuk mengunjungi
perkampungan suku berleher panjang. Tur ini menjemput pesertanya
dengan songteaw yang ternyata juga menjadi kendaraan kami selama tur.
Beberapa peserta sempat ingin komplain karena menurut mereka tidak
sesuai harapan mereka, yaitu kendaraannya dengan minivan. Tapi
akhirnya tetap jalan juga. Di antara beberapa lokasi tujuan tur, yang
menjadikan saya tertarik sebenarnya hanyalah ingin melihat suku
berleher panjang secara langsung. Setelah dari pemberhentian pertama,
yang hanya berupa taman dengan koleksi bunga anggrek dan kupu-kupu
yang menurut saya tidak seberapa, kami dibawa ke tempat suku berleher
panjang. Sekitar satu setengah jam dari kota Chiang Mai.
Suku Karen yang wanitanya mengenakan
cincin di leher. Semakin banyak cincin memperlihatkan derajat wanita
tersebut untuk menarik perhatian para lelaki di sukunya. Ada juga
yang mengatakan itu untuk menghindari gigitan binatang buas di leher.
Tapi saya lebih setuju pendapat pertama. Suku Karen asalnya dari
wilayah Myanmar (Burma) yang kemudian banyak beremigrasi ke wilayah
utara perbatasan Thailand-Myanmar untuk menghindari perang di
Myanmar.
Ketika berkunjung ke salah satu lokasi
perkampungan mereka, dimana kita harus bayar tiket masuk (yang sudah
termasuk dalam paket tur), saya hanya melihat ada sekitar belasan
rumah panggung saja. Di dalamnya suku Karen ini sepertinya
disituasikan untuk menjadi atraksi turis. Setiap kali saya
mengarahkan kamera ke mereka, sepertinya mereka sudah biasa berpose
di depan kamera. Mungkin karena mereka sudah sadar bahwa sumber
pendapatan mereka hanyalah dari para turis. Di sini mereka juga
menjual barang-barang cenderamata 'titipan' yang banyak saya temui di
Bangkok.
Dari perkampungan suku Karen, kami
dibawa ke taman pelatihan Gajah. Di sini untuk pertama kalinya saya
naik Gajah. Lumayan seru karena jalur yang ditempuh medannya sangat
sulit. Jalur offroad menurut saya. Jalan kecil terjal dan becek serta
sungai diterabas Gajah. Gajah benar-benar binatang raksasa yang
tangguh di segala medan.
Di tur ini juga saya berkenalan dengan seorang bapak dari Perancis bernama Michel dan istrinya yang keturunan Jawa bernama ibu Sukinem. Pak Michel memanggilnya Suki. Mereka tinggal di wilayah Perancis di Kaledonia Baru, lokasinya sebelah timur Australia. Ibu Sukinem ini tidak tahu berbahasa Indonesia karena lahir dan besar di Kaledonia Baru, setelah orang tuanya merantau ke sana. Ibu Sukinem berlatar pendidikan Perancis di Kaledonia Baru, hanya mengerti sedikit bahasa Jawa. Terakhir kali beliau ke Indonesia 20 tahun yang lalu ketika ayahnya meninggal di Jogjakarta. Ayah ibu Sukinem memutuskan kembali ke kampung halaman dan menghabiskan sisa hidupnya di sana. Ketika saya tanya apakah tidak terpikir untuk kembali dan tinggal di Indonesia saja, beliau menjawab bahwa sulit baginya yang walaupun keturunan Indonesia tetapi tidak mengetahui banyak tentang Indonesia karena dari kecil dia sudah terdidik sebagai orang Perancis. Kata pak Michel, Ibu Sukinem punya saudara/i bernama Sukinah, Sukini dan Sukanto. Saya hanya tertawa dan menjawab bahwa nama itu benar-benar sangat kental Jawanya. Setelah baca-baca artikel tentang Kaledonia Baru, ternyata memang banyak warganya yang berasal dari keturunan pendatang Indonesia terutama dari Jawa, yang datang sebagai pekerja ketika pertambangan Timah sedang booming di sana.
Selanjutnya penyelenggara tur membawa
kami ke lokasi suku pegunungan dan air terjun yang ada di dekatnya.
Menurut saya sih, tidak terlalu bagus. Kami mendaki bukit yang
lumayan curam hanya untuk melihat beberapa rumah panggung yang
sedikit penghuninya. Air terjunnya juga tidak se-wah harapan saya.
Hanya berupa sungai dengan sedikit curam saja.
Kami mengakhiri tur tersebut dengan
naik perahu bambu menyusuri sungai dan melihat beberapa desa di tepi
sungai dan peternakan Gajah.
Keesokan harinya, saya akan terbang
kembali ke Bangkok pukul 2 siang. Jadi, paginya saya masih ada
kesempatan mengunjungi Wat Doi Suthep. Wat dengan chedi berlapis emas
yang dibangun di atas bukit di luar kota Chiang Mai, sekitar 17 KM
dari pusat kota. Saya menuju ke sana dengan menyewa sepeda motor yang
dipesankan oleh Stephan. Harga sewa sepeda motor matic 200 Baht dan
manual gear 150 Baht.
Untuk mencapai Doi Suthep tidak terlalu
sulit karena tinggal mengikuti jalan utama menuju bukit yang terletak
di Utara Barat laut dari arah pusat kota lama. Jalan menuju ke sana
beraspal sangat bagus dengan jalan lebar namun berkelok-kelok
melintasi bukit. Jalannya cocok untuk film Fast and Furious. Saya
butuh 40 menit untuk tiba di Doi Suthep setelah memacu motor dengan
kecepatan 40 Km/Jam saja. Jalan menuju ke sana kita juga akan melalui
kebun binatang Chiang Mai dan beberapa lokasi air terjun.
Wat Dhoi Suthep terletak di atas bukit
di mana kita bisa melihat kota Chiang Mai di bawahnya. Pemandanga ke
arah kota Chiang Mai sendiri kurang begitu bersih karena polusi
udara. Doi Suthep sendiri memang lebih mewah dibanding dengan wat
lain yang ada di pusat kota Chiang Mai. Dengan chedinya yang
berlapiskan emas. Saya melihat penganut Buddha Thailand berkeliling
seakan bertawaf mengelilingi chedi tersebut sambil memegang
persembahan berbentuk bunga dan melantunkan doa-doa.
Dari Lek Guesthouse saya naik songteaw
hanya dengan 60 baht mau mengantarkan saya ke bandara yang
letaknya memang tidak begitu jauh dari pusat kota. Hanya sekitar 15
menit. Penerbangan Chiang Mai ke Don Mueang Bangkok waktu
tempuhnya hanya satu jam.
Sempat berfoto bersama Stephan pemilik Lek Guesthouse sebelum pamitan.
Penampakan Lek Guesthouse
Sempat berfoto bersama Stephan pemilik Lek Guesthouse sebelum pamitan.
Penampakan Lek Guesthouse
Wassalam,
Takbir
2 comments:
bro....dulu ke suku karennya di daerah mana yah ?
saya baca-baca artikel kok banyak banget tempat suku karen yah ?
soalnya saya mau cobak berangkat sendiri pakek motor.
Ini yang dekat chaing mai. Dekat dari Doi Inthanon kalau tidak salah. Dulu saya pakai tour jadi tdk hapal jalan. Untuk masuk ke village bayar 300 THB.
Setau saya, di dekat Chiang Rai juga ada, di wilayah Myanmar juga ada.
Post a Comment