Wednesday, June 15, 2011

Sang Penakluk Konstantinopel (part-1)


Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, beliau berkata kepada para sahabatnya dan umat muslim yang lain:
Konstantinopel pasti akan jatuh ke tangan kalian (muslim), pemimpinnya adalah pemimpin yang terbaik dan pasukannya adalah pasukan yang terbaik (HR Ahmad)

Sejak saat itulah, para muslim bermimpi untuk merebut Konstantinopel, dan menjadi bagian manusia terbaik seperti yang disebutkan oleh sang Nabi. Namun, Konstantinopel adalah ibukota Byzantine, Romawi Timur. Adikuasa di masa itu.
Dalam legenda Turki, tahun 1432 adalah tahun yang sarat dengan isyarat. Pada tahun itu, kuda-kuda melahirkan anak kembar, pohon berbuah lebih ranum, dan bintang berekor melintasi langit Konstantinopel di sore hari. Pada malam tanggal 19 maret tahun itu, Sultan Murat menunggu berita di Istana Kerajaan di Edirne tentang kelahiran anaknya. Tak bisa tidur, dia mulai membaca Al-Qur’an. Dia baru saja menyelesaikan surat al-Fath, ayat-ayat yang menjanjikan kemenangan pada umat muslim, ketika seorang petugas memberitahukan kabar kelahiran anaknya. Anak itu dinamai Mehmet, seperti nama ayah Sultan Murat, merupakan Turkinisasi dari kata Muhammad. Mehmet adalah putra ketiga Sultan Murat, dua saudara tirinya jauh lebih tua, dan anak ini bukanlah kesayangan bapaknya.
Di jaman ini, kekuasaan dinasti Ottoman (Usmani) sudah meliputi sebagian wilayah Anatolia dan sebagian wilayah Balkan. Sementara Konstantinopel terjepit di tengah-tengah. Seperti ilustrasi kasar di bawah. Dan ibukota Usmani di pindahkan ke bagian eropa, di kota Edirne (sebelumnya di kota Bursa, Anatolia). Kekuasaan penguasa Usmani pun sudah tidak seperti ketika di awal mereka berdiri, mereka sudah mulai mengikuti (atau meniru) tata cara monarki kerajaan yang ada di sekitar mereka, terutama Byzantium. Para penerus kekuasaan, pangeran-pangeran, dididik secara formal, untuk menduduki jabatan-jabatan penting, dan persiapan untuk menjadi Sultan di kemudian hari.

Wilayah Usmani di masa kelahiran Sultan Mehmet
Untuk melindungi anak-anaknya dari usaha pembunuhan dan untuk mengajari mereka seni memimpin sebuah monarki, sultan menunjuk putra-putranya yang masih berusia dini untuk memerintah sebuah provinsi dengan pengawasan ketat tutor-tutor pilihan. Mehmet menghabiskan tahun pertamanya di Harem Istana di Edirne, kemudian di saat baru berusia 2 tahun dia sudah dipisahkan dengan ibunya dan dikirim ke Amasya di Anatolia (provinsi tertimur kekuasaan Usmani masa itu) untuk persiapan pendidikan dasarnya. Pada saat yang bersamaan, kakak tiri tertuanya, Ahmet, adalah gubernur di Amasya. Pada masa-masa ini dan sebelumnya, para penerus kekuasaan Usmani banyak yang menjadi incaran pembunuhan. Apalagi semenjak Usmani berhasil menaklukan wilayah-wilayah Balkan yang mayoritas Kristen. Pada 1437, Ahmet tiba-tiba tewas di Amasya. Kemudian posisinya digantikan oleh adiknya Ali. Di masa ini pula, Sultan Murat makin memperkuat pasukan khususnya yang disebut Janisari. Pasukan Janisari ini direkrut dari anak-anak (usia 8-16 tahun) dari wilayah taklukan kristen, mereka dilatih seni berperang dan didoktrin dengan ajaran Islam kemudian mereka menjadi muslim. Janisari adalah pasukan elit pengawal Sultan. Di saat ini juga, Sultan Murat mulai menerima para penasehat dan pejabat Istana yang berasal dari wilayah-wilayah taklukan non Turki.

Pasukan Khusus Usmani, yang dikenal sebagai Janissari
Ali yang merupakan putra kesayangan Sultan Murat, juga tewas terbunuh oleh seorang yang menyelusup masuk ke kediamannya dan membunuhnya. Kematiannya sangat memukul Sultan Murat. Khawatir dengan kelangsungan penerusnya, akhirnya dia memanggil Mehmet muda yang masih kecil kembali ke Edirne dan langsung mengawasi pendidikannya. Pada saat itu, pangeran berusia sebelas tahun inilah satu-satunya pewaris masa depan Usmani. Sultan Murat sangat kecewa ketika melihat putranya ini kembali. Dia keras kepala, seenaknya, dan nyaris tak bisa dididik. Mehmet dengan enteng membangkang pada guru-gurunya terdahulu, tidak mau dihukum atau mempelajari Al-Qur’an. Murat memanggil seorang ulama terkenal bernama Ahmet Gurani, dan memerintahkannya untuk memaksa pangeran muda ini untuk tunduk dan patuh. Dengan tongkat di tangan, sang ulama menemui Mehmet. “Ayahanda Tuanku, mengirim saya untuk mengajari anda. Dia juga memerintahkan saya untuk memukul anda jika tidak patuh” kata sang Ulama kepada Mehmet. Mehmet tertawa mendengar ancaman ini, dan saat itu juga sang ulama langsung memukul. Mehmet langsung tunduk dan akhirnya mau belajar. Di bawah asuhan guru yang tidak bisa dibantah ini, Mehmet mulai mencerna isi Al-Qur’an, lalu memperluas wawasan pengetahuannya. Bocah ini kemudian memperlihatkan kecerdasan luar bisa yang dibarengi kemauan keras untuk berhasil. Dia jadi fasih beberapa bahasa, menguasai sejarah dan geografi, sangat tertarik dengan sains dan teknik, serta sastra dengan baik. Satu pribadi yang luar biasa pun akhirnya lahir.
Pada tahun 1440-an, kekuasaan dinasti Usmani menghadapi beberapa ancaman. Ancaman dari barat adalah kerajaan Kristen Hungaria dan dari timur penguasa-penguasa lokal diluar perbatasan Usmani yang melakukan pemberontakan. Serta dari dalam lingkungan Istana sendiri, dengan adanya usaha-usaha yang ingin mencongkel kedudukannya sebagai Sultan. Sultan Murat yakin bahwa hasutan-hasutan dari dalam Istananya merupakan usaha Konstantinopel untuk mencerai-beraikan kekuasaan Usmani yang memang sudah sangat mengancam mereka. Seorang pangeran Usmani, pangeran Orhan yang mengaku sebagai penerus yang sah, menantang Sultan Murat, mengadakan pemberontakan namun berhasil dihalau, yang kemudian dia lari berlindung di balik dinding Konstantinopel. Sultan Murat mulai berpikir bahwa kekuasaannya tidak akan aman dari ancaman, selama masih membiarkan Konstantinopel belum terkuasai. Yang menjadi salah satu pertimbangan Usmani untuk tidak menyerang Konstantinopel waktu itu adalah khawatir penyerangan Konstantinopel akan memicu bersatunya kerajaan-kerajaan Kristen barat dan memulai perang Salib baru. Ketika terjadi pemberontakan hebat di wilayah Anatolia oleh penguasa daerah Karaman, Sultan Murat kemudian memutuskan berangkat memimpin langsung pasukannya untuk menumpas mereka. Sebelumnya, untuk memastikan suksesi ke tangan Mehmet, dia pun mengangkat Mehmet jadi Sultan di saat usianya yang masih sangat muda, 12 tahun di bawah bimbingan para wazir kepercayaannya.
Mengetahui kepergian Sultan Murat ke Timur Anatolia, dan Edirne ditinggal oleh seorang penguasa bocah ingusan, Paus di Roma kemudian memaafkan kesalahan Raja Hungaria, Ladislas, atas pelanggaran perjanjian gencatan senjata, dan memerintahkan untuk mengirim pasukan untuk menguasai wilayah eropa yang dikuasai Usmani. Sementara dari Konstantinopel, Byzantium juga melepas Pangeran Orhan untuk menambah huru-hara di wilayah Usmani. Suasana di Edirne pun jadi kacau balau. Mehmet gagal untuk mengatasi serangan Hungaria dan pemberontakan Orhan. Sultan Murat di Timur kemudian mengadakan perjanjian gencatan senjata dengan penguasa Karaman dan bergegas kembali ke Edirne. Pasukan Sultan Murat menyeberangi Bosphorus kemudian menuju Varna, di dekat Laut Hitam, menghadapi pasukan salib pimpinan Ladislas. Hasilnya adalah kemenangan besar pasukan Usmani. Kepala Ladislas ditancapkan di ujung tombak sebagai tanda kemenangan. Kekalahan di Varna ini secara tidak langsung memadamkan keinginan barat untuk mengobarkan lagi perang salib, kerajaan-kerajaan kristen barat tidak pernah lagi bersatu untuk mengusir umat Muslim keluar dari Eropa. Laporan kehebatan pasukan Usmani di peperangan Varna ini, membawa awan pesimisme di barat. Mereka melihat bahwa dengan organisasi pasukan yang teratur dan tertib oleh Usmani, orang-orang Turki berada jauh di depan mereka. Dan di masa-masa itu pula lah, eropa sedang berada dalam masa-masa kegelapannya. Akhir peperangan Varna juga membuat Mehmet diturunkan posisinya sebagai Sultan, karena dianggap gagal, dan Murat kembali ke Edirne menjabat posisi Sultan. Mehmet dikirim ke wilayah Manisa di Anatolia bersama para penasihatnya. Tapi dia ikut mendampingi ayahnya ketika peperangan Kosovo yang kedua dan merupakan pengalaman pertamanya terjun ke medan perang sesungguhnya.
Sultan Murat menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di Edirne. Dia mengurangi ekspedisi militer dan lebih memilih menjaga perdamaian dari ancaman perang yang tak pasti. Namun, selama dia hidup, Konstantinopel tidak dapat bernapas dengan tenang. Ketika meninggal pada awal tahun 1451, kawan maupun lawan meratapinya. Penulis sejarah Yunani, Doukas menuliskan “Perjanjian damai yang dia lakukan secara suci dengan orang Kristen selalu ditaatinya. Kemarahannya tidak berumur panjang. Inilah sebabnya Tuhan Penguasa Perdamaian mengganjarnya dengan kematian yang tenang, bukan kematian dengan mata pedang”. Tapi sebenarnya, Sultan Murat juga konon meninggalkan wasiat bagi penerusnya untuk terus menegakkan jihad menaklukan Konstantinopel. Usmani tidak akan pernah tenang menghadapi ancaman sebelum mengusir Byzantium dari Konstantinopel dan menguasai kota itu.

Sultan Murat II

Mehmet kembali menjadi Sultan, saat itu berusia 19 tahun. Dari Manisa dia kembali ke Edirne dan disambut suasana berkabung. Para musuh-musuhnya merasa bahwa Usmani sedang dalam keadaan lemah, dipimpin oleh bocah ingusan yang pernah gagal sebagai Sultan sebelumnya, pemimpin lugu dan tidak berpengalaman. Namun mereka keliru. Mehmet berubah menjadi sosok yang ambisius, sekaligus cerdik dan berani. Dia digambarkan mempunyai sifat yang penuh rahasia dan selalu curiga pada orang lain. Dia hanya percaya pada kata hatinya, sering angin-anginan dan tidak terduga, sangat keras cenderung kejam namun tiba-tiba berubah jadi baik hati, tidak memaafkan penghinaan, namun disayangi karena dasar kesalehan yang dia jalani. Ciri utama kepribadiannya ketika dewasa sudah terbentuk, seorang calon penguasa sekaligus ilmuwan, ahli strategi militer obsesif yang gandrung dengan syair-syair Persia dan kegiatan bertaman, kesatria Islam yang sangat penyayang kepada rakyatnya yang non-muslim dan menikmati pergaulan dengan orang asing dan sekaligus seorang pemikir agama yang tidak ortodoks... (Bersambung ke part-2)

Patung Sultan Fatih Mehmet di taman kota dekat Mesjid Fatih Mehmet


Wassalam,
Takbir







No comments: